Sabtu, 22 Juni 2013

Valley The Holy Maiden (Part 3)


“Valley! Valley! Bangun!” seruan itu masih terdengar sayup. Namun ketika tubuhku diguncang paksa, kesadaran datang dengan cepat.
“Leya?” tanyaku masih duduk di tempat tidur.
“Bangun, Valley. Apa maksudmu memberitahu ayahku tentang yang kita lakukan kemarin? Kau sengaja kan biar aku kena marah?” terjang langsung Leya membuatku tak percaya, setega itu dia menuduhku.
“Leya, ayahmu yang tahu sendiri. Aku sama sekali tak memberitahunya.” suaraku masih lemas.
“Tapi kenapa kamu tidak bilang saja, kalau kita tidak melakukannya.”
“Aku...”
“Kenapa? Kau kehabisan kata-kata lagi kan? Kau tega, Valley. Ayahku tak berhenti memberi pidato yang membuatku muak.”
Aku terdiam, tak mampu melawan. Tubuhku masih lemas untuk bergerak lepas.
“Apa susahnya untuk berbohong satu kali saja.” Leya beranjak dari kamarku dengan gerutuan yang masih terdengar sampai di luar kamar.
Aku menumpu jidat sambil menggeleng pelan. Kepalaku tiba-tiba terasa pusing. Semalam mendapat teguran dari Leerkon, walaupun secara halus. Sekarang, hujatan tanpa filter membangunkan paksa diriku.
Kubasuh wajahku dengan air yang berasal dari keran kristal di sana, di kamar mandi yang tak terlihat seperti kamar mandi. Mataku masih berwarna oranye terang. Rambutku sedikit basah terkena basuhanku sendiri. Pikiranku masih melayang-lalang memikirkan tindakanku kemarin. Melanggar kepercayaan Dirvas untuk tidak membawa orang lain masuk ke dalam ruang rahasia.
Aku menghadap cermin dan menatap mataku sendiri. Aku harus bagaimana? Leerkon juga mulai ragu padaku. Walaupun dia tak mengatakannya, tapi dengan diambilnya kunci itu dari tanganku, semuanya menjadi jelas. Leerkon sudah tak terlalu mempercayaiku lagi.
Baiklah, aku akan menghampiri Leerkon saat ini juga. Hari memang sudah pagi tapi mentari belum nampak. Hanya cahaya putih bening memasuki jendela. Kurapikan sedikit gaun sutra biru muda yang kukenakan, lalu keluar kamar menghampiri Leerkon.
Kamarku dan Leya berdekatan. Ketika melintasi kamarnya, kamarnya tertutup rapat dan tak ada suara apapun yang terdengar dari dalam. Aku terus berjalan menuju kamar Leerkon yang berada di lantai tepat di bawah kamar Dirvas. Karena tak mau lama-lama, aku memakai sihir menuju kamar Leerkon dengan sangat cepat.
Koridor dan tangga demi tangga terlihat hanya sekilas kulintasi. Meskipun dalam laju yang tak lambat, aku masih bisa melihat suasana dalam istana masih sangat sepi. Dan, tibalah aku di depan pintu kamar Leerkon.
Aku sempat menoleh ke tangga yang ada di samping kananku. Tangga itu berhubungan langsung dengan ruangan pribadi Dirvas. Kuhembuskan napas panjang, dan berusaha mengatur volume suara.
“Leerkon,” panggilku sambil mengetuk pintu. Jumlah ketukanku lebih banyak dibanding panggilanku padanya. “Leerkon,” panggilku tapi Leerkon yang menjawab.
“Tuan Leerkon sedang ada di ruang kerjanya, Valley.” seorang pelayan istana berbaju kemeja putih yang tertutup rompi coklat melintas di belakangku. Aku sedikit terkejut.
“Oh Leerkon ada di ruangannya. Baiklah, terima kasih, Uno,” jawabku sambil memamerkan senyum. Uno yang salah satu pelayan istana ternyata naik menuju ruangan Dirvas. Setelah dia menghilang dari balik tembok, secepat mungkin aku berlari dan turun ke ruang kerja pribadi Leerkon. Tepat di sekitar pintu ruang bawah tanah.


Dua sisi pintu lebar terbuka. Aku melihat Leerkon dengan baju kuning gading yang menutupi seluruh tubuhnya. Dia duduk di kursi besar di belakang meja kotak yang berjajar beberapa buku. Leerkon menerawang keberandaanku yang masih berdiri di depan pintu. Sontak kulihat lehernya dengan tatapan elang, ia memakai kunci ruang rahasia. Aku melangkah pelan, tak secepat tadi lagi menghampiri Leerkon.
“Ada apa, Valley?” Leerkon berdiri dari kursinya.
Beberapa langkah lagi aku sampai tepat di depannya. “Leerkon, aku ingin meminta satu hal. Tolong dengarkan,” pintaku lembut
“Silahkan, Gadis Suci.”
“Leerkon, tolong. Izinkan aku untuk memegang kembali kuncit itu.” aku menujuk tengah dada Leerkon dari jauh. “Aku janji tidak akan lagi membawa siapapun masuk ke dalam sana.” tiba-tiba suaraku sedikit parau.
Leerkon mengembungkan dada lalu mengempiskannya. Dia menunduk lalu memandangku tajam. “Apa kau yakin bisa memegang kata-katamu sendiri, Valley?”
“Aku janji, Leerkon. Aku janji. Julukan Gadis Suci akan kupertanggung jawabkan dengan tindakanku sendiri,” jawabku tegas. Leerkon memandangku cukup lama dengan tatapan sayunya. “Mestinya kau tak usah memarahi Leya, Leerkon. Dia hanya meminta, sedangkan aku yang mengabulkannya,” sambungku di tengah diam kami berdua.
“Apa maksudmu? Memarahi Leya? Aku hanya menasehati dia. Itupun dengan kalimat yang halus dan tak berkesan menegur.”
“Tapi tadi Leya...” ucapanku terhenti. Aku berpikir, apa gunanya aku memberitahu Leerkon terhadap sikap Leya tadi padaku. Tidak ada gunanya, hanya memperburuk keadaan saja.
“Jangan pikirkan tentang Leya, Valley. Memang sifatnya seperti itu. Ini, ambillah kembali. Aku percaya dengan janjimu barusan," kata Leerkon membuatku haru. Kalung dengan liontin kunci itu dipakaikan lagi di leherku. Dengan senyum sumringah kami berdua, aku diizinkan kembali untuk menjaga kunci ruang rahasia.


Kini saatnya aku menemui Leya di kamarnya. Meluruskan semuanya. Aku sedikit tidak terima Leya mengejutkanku dengan makian tak mengenakkan.
“Leya,” panggilku seraya membuka pintu. Sontak Leya  bergerak cepat seperti menyembunyikan sesuatu di belakangnya. “Apa yang kau sembunyikan?” tanyaku curiga.
“Apa urusanmu? Hei, kau sangat tidak sopan masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu dulu.” Leya melawan.
“Leya? Ini aku Valley. Sejak kapan kau marah ketika aku masuk ke kamarmu?” aku terkejut melihat reaksi Leya.
“Sejak saat ini.” Leya memajukan dagunya, “Apa yang kau mau dariku?”
“Leya? Kenapa cara berbicaramu terdengar tak sopan? Maaf kalau aku menganggumu. Aku ke mari untuk mengatakan kalau ayahmu sama sekali tidak marah padamu. Kau tenang saja.”
“Cuma itu kan? Baiklah, silahkan keluar dari Kamarku,” ketus Leya.
“Leya?”
“Kenapa?”
Sejenak aku memandangnya kecewa, lalu berlari cepat meninggalkan kamarnya. Kenapa Leya semakin tak beretika padaku? Apa dia masih sakit hati Leerkon tahu tentang dia yang masuk di ruang rahasia.
****
Dibantu beberapa koki istana, aku membuat sebuah eksperimen di sini. Eksperimen berbahan tepung terigu dan di sulap menjadi kue manis yang sangat legit. Aku, Viola, dan Ladyna yang membuatnya. Cupcake berbagai warna. Cantik sekali. Aku taruh di sebuah baki aluminium lebar. Dan tada! Aku siap membagikannya di seluruh penjuru istana. Masing-masing dari kami memegang satu baki. Dengan antusias yang tak tertahan lagi, kami pun berpencar menyebarkan kemanisan cupcake ini.
Senyumku semakin lama semakin lebar, melewati koridor istana dengan penuh ceria. Seorang pelayan yang membawa rak penuh alat pembersih pun kubiarkan memilih satu cupcake. Kulanjutkan perjalanan menuju lantai bawah. Di sana ada Leerkon. Kukejutkan dia yang sedang berkonstrasi membaca buku. Lagi dan lagi, kubagikan cupcake manis ini padanya.
Nah, tiba saatnya aku keluar istana. Halaman depan yang luas dan sinar mentari yang tak menyengat. Beberapa pelayan sepertinya telah mengetahui apa yang aku bawa. Mereka semua berjalan cepat menghampiriku sambil berbondong-bondong memilih cupcake.
Aku pun ikut menikmati satu cupcake karena mendapat suapan dari Orlando, salah satu pelayan juga. Tawa kami pun menggelegar seantero istana. Walaupun hanya satu cupcake yang mereka cicipi, ekpresi sangat puas terpampang nyata di wajah mereka.
Kesenangan kami tiba-tiba rontok saat sebuah guntur menggelegar di tengah cuaca cerah siang ini.
Aku menengadah ke atas langit. Awan hitam hanya mengelebat di atas istana. Gunturpun tak mau kalah ikut memicu kepanikan. Aku merasakan sebuah kekuatan sihir yang dahsyat, dan berasal dari.... Secepatnya aku berlari menuju kamar Leya. Orlando dan Benedict yang juga pelayan istana mengikutiku dari belakang.
Kekuatan sihir apa ini? Jantungku langsung berdebar kencang dan bulu kudukku menari tak karuan. Aku terhenti di ujung koridor ketika melihat Leerkon telah berdiri di depan pintu kamar Leya.
“Leerkon,” panggilku seraya berjalan cepat yang diikuti oleh Orlando dan Benedict.
“Kau juga merasakannya?” Leerkon menyambutku.
“Tentu saja. Energinya sungguh dahsyat. Aku mulai takut terjadi apa-apa dengan Leya.”
“Izinkan kami berdua,” kata Orlando bersiap mendobrak pintu bersama Benedict. Mereka menghempas bahu masing-masing beberapa kali. Suara gaduh pun tak dapat dihindari. Aku mulai khawatir kalau Dirvas merasa terganggu dengan hal ini. Dirvas?
“Leerkon, bila kita merasakan energi itu, Dirvas juga bisa merasakannya bukan?” ujarku cepat.
“Benar, mungkin Dirvas sebentar lagi akan...” ucapan Leerkon terhenti, “Menuju ke mari,” desahnya melihat Dirvas yang melesat berlari dan telah muncul di belakang kami.
“Yang mulia,” tuturku sedikit menunduk. Orlando dan Benedict menghentikan dobrakannya dan mengganti pose sama sepertiku.
“Izinkan aku.” Dirvas berdiri Di depan pintu. Tanpa tersentuh dan tanpa didobrak sedikit pun, pintu kamar Leya tiba-tiba terbuka. Aku sedikit terperangah melihat keahliannya. Dirvas mengambil langkah lebih dulu menyentuh isi kamar Leya. Setelah itu, barulah kami mengikutinya dari belakang.
Dirvas tampak tenang sambil menerawang seisi kamar Leya. Sedangkan aku hanya bisa dikelilingi kebingungan. Leya ternyata sedang terlelap di tempat tidurnya. Menutupi dirinya dengan selimut yang cuma menampakkan kepalanya. Dirvas melanjutkan langkahnya mengelilingi kamar Leya. Leerkon sigap mengguncang tubuh Leya. Menyuruhnya bangun dan berhenti membuat ayahnya malu.
“Biarkan dia istirahat, Leerkon.” Dirvas bersuara sambil menatap jendela di depannya. “Baru kali ini Leya tidur siang. Pasti dia sangat kelelahan,” sambungnya masih membelakangi kami.
Aku mengangguk melihat Leerkon. Leya hanya merubah posisi tidurnya tanpa terbangun sama sekali. Aku semakin tak tahu apa yang terjadi. Dari mana asal energi besar itu? Di kamar Leya tak Ada apapun yang mencurigakan. Energi itu juga telah hilang dan tak terasa lagi. Awan hitam menakutkan di luar sana juga telah tersapu oleh angin cerah. Semuanya baik-baik saja.
“Maafkan kami telah menganggumu, Yang Mulia.” Leerkon menunduk ketika Dirvas mulai berjalan keluar kamar.
Tawa Dirvas melesak pelan. Senyumnya terukir di wajah tampannya. “Kau tak perlu meminta maaf, Leerkon. Aku senang tak terjadi apa-apa di sini,” balas Dirvas seketika berlari meninggalkan kami. Secepat kilat Dirvas berpindah dari satu tempat ke tempat sebelumnya ia berada.
****
Aku berdiam diri di beranda halaman belakang istana. Menikmati angin senja yang sedang memainkan gaunku. Tawa kecil di ujung sana mulai terdengar, berasal dari beberapa pelayan yang asyik bercengkrama. Aku menoleh ke belakang dan menghadap ke jendela kamar Dirvas. Jendela hitam yang tak terlihat area dalamnya. Walaupun dengan tatapan elang, aku tak dapat menembus jendela itu.
Mataku menerawang jauh di depan. Jauh di belakang istana ada sebuah hutan yang dihuni beberapa penduduk Larza. Penglihatan elangku seakan tak terbatas bila tak ada penghalang benda padat. Aku bisa menangkap burung pipit kuning yang terbang pelan di penglihatanku. Tupai yang berlari kencang mencari makanan. Dan, beberapa rumah penduduk yang terbuat dari kayu.
Tak lama kemudian, di tengah tatapan elangku, aku melihat seorang pria yang menatapku tajam. Karena terkejut dengan tatapan seramnya, kupatahkan tatapan elangku dan kembali seperti semula. Siapa itu tadi? Aku yakin dia seorang pria tapi wujudnya sulit kuingat lagi. Hanya sedetik aku melihatnya. Kucoba mengaktifkan lagi pandangan jauhku. Pria itu sudah menghilang. Aku menoleh ke sisi yang lain, pria yang tadi menangkapku sedang menatapnya tak terlihat lagi.
“Valley,” panggil seseorang dari sisi kiriku.
“Leya?” aku sedikit tak percaya dia Leya, sedang berdiri di luar beranda sambil menatapku sayu. “Kau mau kemana Leya?” tanyaku melihat pakaiannya tak seperti biasa. Apalagi tongkat sihir dan pedang bajanya ikut serta ia bawa.
“Aku ingin ke suatu tempat, Valley. Hanya untuk menenangkan diri,” ujarnya lembut kemudian duduk di sampingku. Leya memakai gaun yang sama seperti persta Dirvas waktu itu.
“Menenangkan diri? Ke mana? Aku ikut,” sambungku.
“Tidak usah, Valley. Kau mengerti kan arti menenangkan diri? Aku menemuimu hanya ingin meminta maaf. Maaf aku telah menuduhmu macam-macam. Aku telah memarahimu tanpa tahu sebab yang jelas.”
“Aku...”
“Aku tahu kau tidak mempermasalahkannya tapi menurutku, aku sudah sangat keterlaluan. Maafkan aku, Valley,” Leya memelukku sejenak lalu melepaskannya.
Hatiku terasa lebih tenang dari sebelumnya. Sangat jarang Leya memelukku dan mengatakan kata maaf, “Berapa lama kau pergi, Leya?” tanyaku
“Tidak lama, mungkin cuma beberapa hari. Oh iya, kalau ayah menanyai keberadaanku, bilang saja yang tadi aku katakan. Pergi ke suatu tempat untuk menenangkan diri.”
“Kau tidak memberitahu ayahmu?” aku melotot, “Katakan kau mau ke mana, Leya. Jadi kami semua tidak khawatir.”
“Valley, kalau ayahku tahu, dia tidak akan mau mengizinkanku pergi. Tenang saja, aku tahu jalan pulang. Kau tahu sendiri kan aku Pembelah Angin? Jadi aku bisa melindungi diriku sendiri. Lagipula aku hanya berkeliling Larza. Tempat yang paling aman di Lemuira.” Leya membela diri dan membuatku bungkam tak bisa lagi melarangnya.
Sebenarnya berat melepas Leya sendirian. Tapi biarlah, mungkin Leya memang sangat butuh ketenangan. “Jaga dirimu, Valley. Cepat kembali,” desahku.
Leya bangkit dengan ulasan senyum tipisnya. Angin menyambarku seiring laju lari Leya meninggalkan istana. Aku masih memandangnya berlari di padang rumput luas di depanku. Dan tak lama, dia menghilang di balik pepohonan di tengah hutan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar