“Valley!
Valley! Bangun!” seruan itu masih terdengar sayup. Namun ketika tubuhku
diguncang paksa, kesadaran datang dengan cepat.
“Leya?”
tanyaku masih duduk di tempat tidur.
“Bangun,
Valley. Apa maksudmu memberitahu ayahku tentang yang kita lakukan kemarin? Kau
sengaja kan biar aku kena marah?” terjang langsung Leya membuatku tak percaya, setega
itu dia menuduhku.
“Leya,
ayahmu yang tahu sendiri. Aku sama sekali tak memberitahunya.” suaraku masih
lemas.
“Tapi
kenapa kamu tidak bilang saja, kalau kita tidak melakukannya.”
“Aku...”
“Kenapa?
Kau kehabisan kata-kata lagi kan? Kau tega, Valley. Ayahku tak berhenti memberi
pidato yang membuatku muak.”
Aku
terdiam, tak mampu melawan. Tubuhku masih lemas untuk bergerak lepas.
“Apa
susahnya untuk berbohong satu kali saja.” Leya beranjak dari kamarku dengan
gerutuan yang masih terdengar sampai di luar kamar.
Aku
menumpu jidat sambil menggeleng pelan. Kepalaku tiba-tiba terasa pusing.
Semalam mendapat teguran dari Leerkon, walaupun secara halus. Sekarang, hujatan
tanpa filter membangunkan paksa diriku.
Kubasuh
wajahku dengan air yang berasal dari keran kristal di sana, di kamar mandi yang
tak terlihat seperti kamar mandi. Mataku masih berwarna oranye terang. Rambutku
sedikit basah terkena basuhanku sendiri. Pikiranku masih melayang-lalang
memikirkan tindakanku kemarin. Melanggar kepercayaan Dirvas untuk tidak membawa
orang lain masuk ke dalam ruang rahasia.
Aku
menghadap cermin dan menatap mataku sendiri. Aku harus bagaimana? Leerkon juga
mulai ragu padaku. Walaupun dia tak mengatakannya, tapi dengan diambilnya kunci
itu dari tanganku, semuanya menjadi jelas. Leerkon sudah tak terlalu
mempercayaiku lagi.
Baiklah,
aku akan menghampiri Leerkon saat ini juga. Hari memang sudah pagi tapi mentari
belum nampak. Hanya cahaya putih bening memasuki jendela. Kurapikan sedikit
gaun sutra biru muda yang kukenakan, lalu keluar kamar menghampiri Leerkon.
Kamarku
dan Leya berdekatan. Ketika melintasi kamarnya, kamarnya tertutup rapat dan tak
ada suara apapun yang terdengar dari dalam. Aku terus berjalan menuju kamar Leerkon
yang berada di lantai tepat di bawah kamar Dirvas. Karena tak mau lama-lama,
aku memakai sihir menuju kamar Leerkon dengan sangat cepat.
Koridor
dan tangga demi tangga terlihat hanya sekilas kulintasi. Meskipun dalam laju
yang tak lambat, aku masih bisa melihat suasana dalam istana masih sangat sepi.
Dan, tibalah aku di depan pintu kamar Leerkon.
Aku
sempat menoleh ke tangga yang ada di samping kananku. Tangga itu berhubungan
langsung dengan ruangan pribadi Dirvas. Kuhembuskan napas panjang, dan berusaha
mengatur volume suara.
“Leerkon,”
panggilku sambil mengetuk pintu. Jumlah ketukanku lebih banyak dibanding
panggilanku padanya. “Leerkon,” panggilku tapi Leerkon yang menjawab.
“Tuan
Leerkon sedang ada di ruang kerjanya, Valley.” seorang pelayan istana berbaju
kemeja putih yang tertutup rompi coklat melintas di belakangku. Aku sedikit
terkejut.
“Oh
Leerkon ada di ruangannya. Baiklah, terima kasih, Uno,” jawabku sambil memamerkan
senyum. Uno yang salah satu pelayan istana ternyata naik menuju ruangan Dirvas.
Setelah dia menghilang dari balik tembok, secepat mungkin aku berlari dan turun
ke ruang kerja pribadi Leerkon. Tepat di sekitar pintu ruang bawah tanah.
Dua
sisi pintu lebar terbuka. Aku melihat Leerkon dengan baju kuning gading yang
menutupi seluruh tubuhnya. Dia duduk di kursi besar di belakang meja kotak yang
berjajar beberapa buku. Leerkon menerawang keberandaanku yang masih berdiri di
depan pintu. Sontak kulihat lehernya dengan tatapan elang, ia memakai kunci
ruang rahasia. Aku melangkah pelan, tak secepat tadi lagi menghampiri Leerkon.
“Ada
apa, Valley?” Leerkon berdiri dari kursinya.
Beberapa
langkah lagi aku sampai tepat di depannya. “Leerkon, aku ingin meminta satu
hal. Tolong dengarkan,” pintaku lembut
“Silahkan,
Gadis Suci.”
“Leerkon,
tolong. Izinkan aku untuk memegang kembali kuncit itu.” aku menujuk tengah dada
Leerkon dari jauh. “Aku janji tidak akan lagi membawa siapapun masuk ke dalam sana.”
tiba-tiba suaraku sedikit parau.
Leerkon
mengembungkan dada lalu mengempiskannya. Dia menunduk lalu memandangku tajam. “Apa
kau yakin bisa memegang kata-katamu sendiri, Valley?”
“Aku
janji, Leerkon. Aku janji. Julukan Gadis Suci akan kupertanggung jawabkan
dengan tindakanku sendiri,” jawabku tegas. Leerkon memandangku cukup lama
dengan tatapan sayunya. “Mestinya kau tak usah memarahi Leya, Leerkon. Dia
hanya meminta, sedangkan aku yang mengabulkannya,” sambungku di tengah diam
kami berdua.
“Apa
maksudmu? Memarahi Leya? Aku hanya menasehati dia. Itupun dengan kalimat yang halus
dan tak berkesan menegur.”
“Tapi
tadi Leya...” ucapanku terhenti. Aku berpikir, apa gunanya aku memberitahu Leerkon
terhadap sikap Leya tadi padaku. Tidak ada gunanya, hanya memperburuk keadaan
saja.
“Jangan
pikirkan tentang Leya, Valley. Memang sifatnya seperti itu. Ini, ambillah
kembali. Aku percaya dengan janjimu barusan," kata Leerkon membuatku haru.
Kalung dengan liontin kunci itu dipakaikan lagi di leherku. Dengan senyum
sumringah kami berdua, aku diizinkan kembali untuk menjaga kunci ruang rahasia.
Kini
saatnya aku menemui Leya di kamarnya. Meluruskan semuanya. Aku sedikit tidak
terima Leya mengejutkanku dengan makian tak mengenakkan.
“Leya,”
panggilku seraya membuka pintu. Sontak Leya
bergerak cepat seperti menyembunyikan sesuatu di belakangnya. “Apa yang
kau sembunyikan?” tanyaku curiga.
“Apa
urusanmu? Hei, kau sangat tidak sopan masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu
dulu.” Leya melawan.
“Leya?
Ini aku Valley. Sejak kapan kau marah ketika aku masuk ke kamarmu?” aku
terkejut melihat reaksi Leya.
“Sejak
saat ini.” Leya memajukan dagunya, “Apa yang kau mau dariku?”
“Leya?
Kenapa cara berbicaramu terdengar tak sopan? Maaf kalau aku menganggumu. Aku ke
mari untuk mengatakan kalau ayahmu sama sekali tidak marah padamu. Kau tenang
saja.”
“Cuma
itu kan? Baiklah, silahkan keluar dari Kamarku,” ketus Leya.
“Leya?”
“Kenapa?”
Sejenak
aku memandangnya kecewa, lalu berlari cepat meninggalkan kamarnya. Kenapa Leya
semakin tak beretika padaku? Apa dia masih sakit hati Leerkon tahu tentang dia
yang masuk di ruang rahasia.
****
Dibantu
beberapa koki istana, aku membuat sebuah eksperimen di sini. Eksperimen
berbahan tepung terigu dan di sulap menjadi kue manis yang sangat legit. Aku,
Viola, dan Ladyna yang membuatnya. Cupcake
berbagai warna. Cantik sekali. Aku taruh di sebuah baki aluminium lebar.
Dan tada! Aku siap membagikannya di
seluruh penjuru istana. Masing-masing dari kami memegang satu baki. Dengan
antusias yang tak tertahan lagi, kami pun berpencar menyebarkan kemanisan cupcake ini.
Senyumku
semakin lama semakin lebar, melewati koridor istana dengan penuh ceria. Seorang
pelayan yang membawa rak penuh alat pembersih pun kubiarkan memilih satu cupcake. Kulanjutkan perjalanan menuju
lantai bawah. Di sana ada Leerkon. Kukejutkan dia yang sedang berkonstrasi
membaca buku. Lagi dan lagi, kubagikan cupcake
manis ini padanya.
Nah,
tiba saatnya aku keluar istana. Halaman depan yang luas dan sinar mentari yang
tak menyengat. Beberapa pelayan sepertinya telah mengetahui apa yang aku bawa.
Mereka semua berjalan cepat menghampiriku sambil berbondong-bondong memilih cupcake.
Aku
pun ikut menikmati satu cupcake
karena mendapat suapan dari Orlando, salah satu pelayan juga. Tawa kami pun
menggelegar seantero istana. Walaupun hanya satu cupcake yang mereka cicipi, ekpresi sangat puas terpampang nyata di
wajah mereka.
Kesenangan
kami tiba-tiba rontok saat sebuah guntur menggelegar di tengah cuaca cerah
siang ini.
Aku
menengadah ke atas langit. Awan hitam hanya mengelebat di atas istana.
Gunturpun tak mau kalah ikut memicu kepanikan. Aku merasakan sebuah kekuatan
sihir yang dahsyat, dan berasal dari.... Secepatnya aku berlari menuju kamar
Leya. Orlando dan Benedict yang juga pelayan istana mengikutiku dari belakang.
Kekuatan
sihir apa ini? Jantungku langsung berdebar kencang dan bulu kudukku menari tak
karuan. Aku terhenti di ujung koridor ketika melihat Leerkon telah berdiri di
depan pintu kamar Leya.
“Leerkon,”
panggilku seraya berjalan cepat yang diikuti oleh Orlando dan Benedict.
“Kau
juga merasakannya?” Leerkon menyambutku.
“Tentu
saja. Energinya sungguh dahsyat. Aku mulai takut terjadi apa-apa dengan Leya.”
“Izinkan
kami berdua,” kata Orlando bersiap mendobrak pintu bersama Benedict. Mereka
menghempas bahu masing-masing beberapa kali. Suara gaduh pun tak dapat
dihindari. Aku mulai khawatir kalau Dirvas merasa terganggu dengan hal ini.
Dirvas?
“Leerkon,
bila kita merasakan energi itu, Dirvas juga bisa merasakannya bukan?” ujarku
cepat.
“Benar,
mungkin Dirvas sebentar lagi akan...” ucapan Leerkon terhenti, “Menuju ke
mari,” desahnya melihat Dirvas yang melesat berlari dan telah muncul di
belakang kami.
“Yang
mulia,” tuturku sedikit menunduk. Orlando dan Benedict menghentikan dobrakannya
dan mengganti pose sama sepertiku.
“Izinkan
aku.” Dirvas berdiri Di depan pintu. Tanpa tersentuh dan tanpa didobrak sedikit
pun, pintu kamar Leya tiba-tiba terbuka. Aku sedikit terperangah melihat
keahliannya. Dirvas mengambil langkah lebih dulu menyentuh isi kamar Leya.
Setelah itu, barulah kami mengikutinya dari belakang.
Dirvas
tampak tenang sambil menerawang seisi kamar Leya. Sedangkan aku hanya bisa
dikelilingi kebingungan. Leya ternyata sedang terlelap di tempat tidurnya.
Menutupi dirinya dengan selimut yang cuma menampakkan kepalanya. Dirvas
melanjutkan langkahnya mengelilingi kamar Leya. Leerkon sigap mengguncang tubuh
Leya. Menyuruhnya bangun dan berhenti membuat ayahnya malu.
“Biarkan
dia istirahat, Leerkon.” Dirvas bersuara sambil menatap jendela di depannya. “Baru
kali ini Leya tidur siang. Pasti dia sangat kelelahan,” sambungnya masih
membelakangi kami.
Aku
mengangguk melihat Leerkon. Leya hanya merubah posisi tidurnya tanpa terbangun
sama sekali. Aku semakin tak tahu apa yang terjadi. Dari mana asal energi besar
itu? Di kamar Leya tak Ada apapun yang mencurigakan. Energi itu juga telah
hilang dan tak terasa lagi. Awan hitam menakutkan di luar sana juga telah
tersapu oleh angin cerah. Semuanya baik-baik saja.
“Maafkan
kami telah menganggumu, Yang Mulia.” Leerkon menunduk ketika Dirvas mulai
berjalan keluar kamar.
Tawa
Dirvas melesak pelan. Senyumnya terukir di wajah tampannya. “Kau tak perlu
meminta maaf, Leerkon. Aku senang tak terjadi apa-apa di sini,” balas Dirvas
seketika berlari meninggalkan kami. Secepat kilat Dirvas berpindah dari satu
tempat ke tempat sebelumnya ia berada.
****
Aku
berdiam diri di beranda halaman belakang istana. Menikmati angin senja yang
sedang memainkan gaunku. Tawa kecil di ujung sana mulai terdengar, berasal dari
beberapa pelayan yang asyik bercengkrama. Aku menoleh ke belakang dan menghadap
ke jendela kamar Dirvas. Jendela hitam yang tak terlihat area dalamnya.
Walaupun dengan tatapan elang, aku tak dapat menembus jendela itu.
Mataku
menerawang jauh di depan. Jauh di belakang istana ada sebuah hutan yang dihuni
beberapa penduduk Larza. Penglihatan elangku seakan tak terbatas bila tak ada
penghalang benda padat. Aku bisa menangkap burung pipit kuning yang terbang
pelan di penglihatanku. Tupai yang berlari kencang mencari makanan. Dan,
beberapa rumah penduduk yang terbuat dari kayu.
Tak
lama kemudian, di tengah tatapan elangku, aku melihat seorang pria yang
menatapku tajam. Karena terkejut dengan tatapan seramnya, kupatahkan tatapan
elangku dan kembali seperti semula. Siapa itu tadi? Aku yakin dia seorang pria
tapi wujudnya sulit kuingat lagi. Hanya sedetik aku melihatnya. Kucoba
mengaktifkan lagi pandangan jauhku. Pria itu sudah menghilang. Aku menoleh ke
sisi yang lain, pria yang tadi menangkapku sedang menatapnya tak terlihat lagi.
“Valley,”
panggil seseorang dari sisi kiriku.
“Leya?”
aku sedikit tak percaya dia Leya, sedang berdiri di luar beranda sambil
menatapku sayu. “Kau mau kemana Leya?” tanyaku melihat pakaiannya tak seperti
biasa. Apalagi tongkat sihir dan pedang bajanya ikut serta ia bawa.
“Aku
ingin ke suatu tempat, Valley. Hanya untuk menenangkan diri,” ujarnya lembut
kemudian duduk di sampingku. Leya memakai gaun yang sama seperti persta Dirvas
waktu itu.
“Menenangkan
diri? Ke mana? Aku ikut,” sambungku.
“Tidak
usah, Valley. Kau mengerti kan arti menenangkan diri? Aku menemuimu hanya ingin
meminta maaf. Maaf aku telah menuduhmu macam-macam. Aku telah memarahimu tanpa
tahu sebab yang jelas.”
“Aku...”
“Aku
tahu kau tidak mempermasalahkannya tapi menurutku, aku sudah sangat keterlaluan.
Maafkan aku, Valley,” Leya memelukku sejenak lalu melepaskannya.
Hatiku
terasa lebih tenang dari sebelumnya. Sangat jarang Leya memelukku dan
mengatakan kata maaf, “Berapa lama kau pergi, Leya?” tanyaku
“Tidak
lama, mungkin cuma beberapa hari. Oh iya, kalau ayah menanyai keberadaanku,
bilang saja yang tadi aku katakan. Pergi ke suatu tempat untuk menenangkan
diri.”
“Kau
tidak memberitahu ayahmu?” aku melotot, “Katakan kau mau ke mana, Leya. Jadi
kami semua tidak khawatir.”
“Valley,
kalau ayahku tahu, dia tidak akan mau mengizinkanku pergi. Tenang saja, aku
tahu jalan pulang. Kau tahu sendiri kan aku Pembelah Angin? Jadi aku bisa
melindungi diriku sendiri. Lagipula aku hanya berkeliling Larza. Tempat yang
paling aman di Lemuira.” Leya membela diri dan membuatku bungkam tak bisa lagi
melarangnya.
Sebenarnya
berat melepas Leya sendirian. Tapi biarlah, mungkin Leya memang sangat butuh
ketenangan. “Jaga dirimu, Valley. Cepat kembali,” desahku.
Leya bangkit dengan
ulasan senyum tipisnya. Angin menyambarku seiring laju lari Leya meninggalkan
istana. Aku masih memandangnya berlari di padang rumput luas di depanku. Dan tak
lama, dia menghilang di balik pepohonan di tengah hutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar