Hobi
traveling-ku dimulai saat aku nonton
film. Mau itu film yang berlatar Amerika, Inggris, maupun Indonesia. Rasa
penasaranku cepat banget menggebu bila mendapat satu tempat yang menakjubkan.
Hhmm,, mungkin sudah darah traveling kali ya. Ayah ibuku juga juga sama. Adik
dan kakakku apalagi.
Tapi
kali ini, karena abis nonton drama Korea, aku mutusin untuk traveling ke sana. Mumpung libur sekolah
dan ayah ibu juga ngizinin aku buat terbang sendiri. Inilah saatnya. Aku akan
ke Korea. Paling tidak cuma dua kali setahun, tiga kali paling banyak kalau
tujuannya ke luar negeri. Dan, Korea adalah negeri bermata sipit pertama yang
kudatangi. Kenalin, namaku Hardy. Aku adalah seorang traveler.
Pesawatku
mendarat di Bandara Incheon. Hal yang
aku dapati pertama kali adalah dingin dan suasana yang sangat amat baru. Senyumku
spontan terulas melihat suasana asing namun menyenangkan. Jaket parasut hitam
tebal melekat di badanku. Di tambah ransel gede dan satu koper yang mengikuti kemana
aku pergi.
Hotel
Somerset Seoul menjadi tempat
persinggahanku. Aku memilih menaiki bus saja biar uang peganganku nggak
terkuras. Nggak asyik banget gitu kalau aku baru sampai di hotel terus tidur.
Ya, aku langsung jalan aja. Mumpung masih tengah hari di sini.
Beda
banget loh tengah hari di Indonesia sama di sini. Seandainya tengah hari begini
mulu, aku yakin pedagang es krim pada bangkrut. Tepi jalan sepi berhias serakan
salju yang kadang terasa licin. Kumasukkan kedua tangan ke dalam saku celana
sambil menatap kiri kanan pemandangan kota. Lalu lalang kendaraan terbilang
nggak sepi, nggak ramai juga. Asri banget deh. Siapapun betah ada di sini.
Telah
melewati perjalanan jauh, ternyata perutku udah merengek minta diisi.
Penciumanku tiba-tiba menajam, mengintai tempat makan apa yang pas untuk usus
orang sepertiku.
Hongik Sootbul Kalbi.
Tempat makan yang berhasil merayuku dengan pemandangan luarnya. Baiklah akan
kueksekusi salah satu makanan di dalamnya.
Lagi-lagi
seperti ini setiap aku sedang traveling keluar
negeri. Kendala bahasa yang buatku kadang geram sendiri. Orang Korea dikit
banget yang tahu Bahasa Inggris. Terpaksa untuk sementara waktu aku jadi kayak
siswa di sekolah luar biasa, pake bahasa isyarat. Geram barusan terbayar impas
dengan penyajian makanan di sini. Tak nyesel deh aku mampir walaupun bahasa Korea-ku
amburadul.
Cobaan
berikutnya terjadi lagi. Tepat saat aku ingin membayar ongkos makan. Aku punya
mata uang Korea tapi nggak ngerti apa yang wanita paruh baya ini bilang. Dia
nggak berhenti ngoceh sambil nunjukin angka lia di tangan kanan, dan angka tiga
di tangan kirinya.
“Boleh
aku bantu?” seorang gadis menghampiriku. Aku terperangah, syukurlah aku ketemu
orang yang bisa bahasa Indonesia yang lagi makan di sini juga.
“Tentu.
Tolong,” pintaku dengan senyum yang berusaha kubuat semanis mungkin. Dengan
fasihnya gadis yang terlihat seperti seumuranku menjadi penerjemah dadakan.
Belum genap sehari di Seoul aku sudah kalang kabut nggak ngerti bahasa.
“Makasi
ya bantuannya,” ujarku telah berada di luar Hongik
bareng dia.
“Nggak
apa-apa. Aku senang bisa ketemu orang Indonesia. Kamu sempat buatku ketawa
ngelihat gaya lucu kamu ngartiin bahasa isyarat,” tambahnya sambil tertawa
kecil.
Spontan
tanganku menggaruk kepala. Padahal nggak gatal sama sekali. “Oh iya, kenalin,
namaku Hardy,” lanjutku menyodorkan tangan.
Dia
sejenak menatap tanganku agak lama, lalu beralih memandangku dengan senyum
lembut, “Aku Fenny,” balasnya.
Tiba-tiba
aku tertegun. Aku baru sadar, rambut, mata layu, senyum tipis, pokoknya hampir
semua yang ada padanya mirip banget sama salah satu bintang serial Korea legendaris.
“Eun
Seo.” nggak sadar nama itu melesak keluar dari mulutku.
“Sorry?
Eun apa?”
“Nggak,
aku lihat mukamu nggak asing. Mirip artis Korea terkenal, tapi versi
remajanya.”
Fenny
cekikian, “Aku udah bosan menghitung orang yang bilang seperti itu.”
“Oh
jadi banyak yang bilang juga? Hhmm,, aku nggak heran sih.”
“Udah,
kita jalan yuk. Mau nggak aku bawa ke suatu tempat? Kayaknya ngelihat kamu
nggak bisa bahasa Korea walaupun hal yang dasar, kelihatan banget ini pertama
kalimu ke mari,” tebaknya jitu.
“Wow,
kau pembaca pikiran ya?”
“Nggak
lah,” Fenny sekali lagi tertawa, “Udah, ayo ikut aku,” lanjutnya berlari kecil
mendahuluiku.
“Kemana?”
“Ikut
aja,” katanya berbalik menungguku berjalan seiring dengannya.
Lucu
sih kelihatannya. Kita bertemu karena ketidaksengajaan. Karena kemampuan
bahasaku yang terbatas. Dan, karena mungkin emang takdirnya.
Udara
semakin dingin. Di Indonesia saat ini sedang musim hujan. Di Korea seperti yang
aku lihat sekarang, dinginnya meraja lela hingga memaksaku dan Fenny untuk
memasang pakaian tebal di badan. Lihat dia, jaket wol putih yang ia kenakan
persis banget seperti bintang film itu. Sorot matanya nggak terlalu tajam, dan
senyum khasnya. Persis banget Eun Seo. Apa aku harus manggil dia Eun Seo aja
ya?
Tenyata
Fenny sedang menjenguk neneknya yang lagi sakit di sini. Dia juga tinggal di
Indonesia. Tapi semenjak neneknya sakit keras, Indonesia udah cukup jarang ia
jamahi lagi. Itu seperti yang dia bilang.
Hhm,
mataku terbelalak melihat Eun Seo membawaku kemari. Sebuah tempat yang begitu
menakjubkan dan terlihat sangat tidak asing.
“Selamat
datang di Nami Island,” ujar riang
Fenny sambil merentangkan tangan menyambut kedatanganku. Mulutku menganga
karena kagumnya. Sebuah pohon yang menjulang tinggi, berjajar rapi membentuh
pola garis lurus. Tanah yang kupijaki masih tak sepenuhnya tertutup salju.
Berjalan berdampingan dengan Eun Seo membuatku makin tenang. Sebab ada penunjuk
jalan yang pasti buatku.
“Hardy,
ayo kita kesana,” spontan Fenny meraih tanganku. Aku terdiam melihat hangat
tangannya menyentuhku. Langkah Fenny ikut terhenti melihatku. Ia sadar telah
mengenggamku dengan sangat erat, lalu melepaskannya dan meminta maaf
berulang-ulang.
“Kita
mau kemana?” tanyaku berusaha mengusir canggung di antara kami.
“Lihat
di sana!” riang Fenny menunjuk sebuah patung batu besar. Aku melangkah mendekat
tak melepas pandangan dari patung itu. Semakin dekat dan dekat.
“Ini...”
“Ya,
ini patung pemain film Winter Sonata
itu. Keren kan?” sambung Fenny.
“Wow,
aku...” spechless aku jadinya, “Makasi
banget udah bawa aku ke mari. Ini salah satu tempat yang pengin banget aku
lihat. Pantesan dari tadi aku ngerasa nggak asing.”
“Ini
juga salah satu tempat favoritku, Dy.”
“Oke,
aku fotoin ya. Coba berdiri di sana,” ujarku tiba-tiba.
“Ah
nggak usah, Dy. Aku malu,” elaknya menggeleng
“Nggak
apa-apa -apa. Kamu cantik kok. Mirip Eun Seo,” teduhku berhasil meluluhkannya.
Eun Seo atau Fenny berdiri membelakangi patung Winter Sonata. Tangan kanannya menyentuh persendian siku kiri.
Senyum Fenny yang terlihat halus kembali membuatku tertegun.
Apa
yang kurasakan ini? Seperti.... Ah sudah. Aku melanjutkan jepretan kamera
digital bawaanku. Beberapa kali foto hingga Eun Seo memaksa untuk berhenti.
Oke, aku nurut.
“Nanti
foto kamu aku print ya. Terus hasilnya aku kasih ke kamu.”
“Beneran?”
“Iya,
tapi besok-besok kita bisa ketemu lagi kan?” tanyaku. Fenny terdiam. Senyumnya
tak merekah seperti tadi, seperti memikirkan sesuatu. “Fen, kamu nggak
apa-apa?”
“Nggak
apa-apa kok,” Fenny menggeleng paksa kepalanya, “Ayo, kita ke tempat lain lagi.
Yang ini nggak kalah seru.” Fenny kembali antusias.
“Wah,
ada lagi?”
N Seoul Tower.
Sebuah menara tinggi, seperti gondola. Naik sangat tinggi hingga kita dapat
melihat pemandangan Seoul dengan jelas.
“Fenny,”
ujarku kembali terperangah, masih berada di pintu masuk. Aku menengadah ke atas
melihat menara yang amat tinggi itu. “Fenny, ini seperti di salah satu serial
korea terkenal.”
“Boys Before Flower kan?” sambungnya
nyegir.
“Iya,
betul banget. Ayo kita naik.” antuasiasku memasuki wilayah N Seoul Tower. “Tunggu dulu. Fen, dari tadi bapak itu kok ngikutin
kita terus ya?” tunjukku pada seorang pria paruh baya yang memakai jas rapih
seperti mengintai pergerakan kami.
“Yang
mana? Ah mungkin perasaan kamu aja. Ayo kita naik,”
Perhatianku
pada pria asing itu buyar, “Yuk.”
Satu
gondola isinya hanya aku dan Eun Seo. Kami larut dalam tawa, melihat kembali
hasil jempretan saat di Nami Island. Ditambah foto kami berdua. Aku yang memegang
kamera dan mengarahkannya sambil meretangkan tangan di udara.
“Lihat,
Fen. Keren banget,” kagumku sontak berdiri menghadap kaca bening. Di depan
mataku hanya ada ujung puncak gedung-gedung Seoul. “Fen, lihat ini,” panggilku
lagi masih belum di susul Fenny. “Fenny! Kamu nggak apa-apa?” tanyaku panik
melihat fenny merintih sakit di kepalanya. “Fen?”
“Iya
aku nggak apa-apa. Cuma sedikit mengantuk.” Fenny bangkit. Ia seperti berusaha
menahan sakit.
“Beneran
kamu nggak apa-apa? Kamu udah makan kan?”
“Iya,
Hardy. Ayo, katanya kamu mau lihat pemandangan Seoul. Itu.” Fenny kembali
bersemangat.
Senyumku
bangkit melihatnya yang ikut bangkit. Nggak tahu kenapa suasana seakan
mendukung banget buat bangkitin romantis saat ini. Aku spontan memandang Fenny.
Senyum tipisnya merekah perlahan. Matanya tertutup seperti menikmati terpaan
mentari. Nggak lama, kepala Fenny terjatuh di lenganku. Dia bersandar tanpa
merasa canggung. Aku sempat kaku namun genggaman tangannya di lenganku
membuatku dapat mengartikan, dia tak ingin aku mengelak.
“Makasi
udah mau nemenin aku kemari, Hardy,” desah Fenny. Suaranya lebih kecil dari
yang tadi. Aku menghela napas panjang dan membalas ucapannya.
****
Pagi
hari di Seoul. Dingiiin banget. Tapi aku dan Eun Seo udah janjian buat ketemu
lagi. Kemarin kami nggak lupa dong mengabadikan moment bahagia. Dengan potret
kami Berdua. Sesuai janjinya ia mau menemuiku tepat di patung Winter Sonata di Nami Island. Bingung juga, kok Fenny mau ketemuan di pagi yang
dingin banget kayak gini ya? Tapi nggak apalah.
Satu
album foto-foto kami kemarin juga udah jadi. Aku sengaja begadang untuk membuat
album sederhana ini. Rencananya mau kasih dia, sebagai kenang-kenangan. Soalnya
beberapa hari lagi aku harus balik ke Indonesia.
Matahari
semakin meninggi namun Fenny belum datang juga. Nggak bisa dipungkiri, aku
kangen mau ngelihat wajah Eun Seo yang terbingkai indah di tekstrur wajahnya.
Berjam-jam
aku menunggu tapi Fenny belum menampakkan diri. Aku mulai resah hingga seorang
pria menghampiriku. Pria paruh baya yang ngikutin aku dan Fenny sejak kemarin.
“Siapa
kau?” aku terkejut, khawatir pria ini berbuat macam-macam.
“Aku
salah satu pengasuh Fenny. Maaf telah mengejutkanmu. Aku hanya ingin menyampaikan
Fenny tidak bisa datang,” jawabnya dengan raut cemas, “Tepatnya tak akan pernah
datang.”
“Apa
maksudmu?”
“Beberapa
jam setelah dia pulang kemarin, ketika jalan bersamamu, Fenny telah
menghembuskan napas terakhir.”
Waktu
seakan berhenti. Ini tidak mungkin terjadi. Kemarin Fenny kelihatan baik-baik
saja.
“Tidak!
Kau jangan mengada-ngada.” aku masih tak terima.
“Fenny
menderita leukimia stadium akhir. Dokter tak bisa melakukan apa-apa lagi. Kita
semua hanya menungu waktu. Dan kata dokter, kita harus menuruti semua
permintaannya. Sebab, mungkin itu permintaannya yang terakhir.”
Kelopak
mataku berkaca-kaca. Tidak mungkin sosok Eun Seo yang kukenal, senasib dengan
Eun Seo yang ada di film. Dia meninggal karena penyakit yang sama dengan Eun
Seo.
“Apa
dia punya permintaan terakhir?” tanyaku dengan tangis yang berusaha kutahan.
“Dia
mau kau menemaninya hingga pemakanan selesai. Dan dia mau kau menyimpan foto-foto
itu sebagai pengingat akan dirinya nanti. Satu lagi, kami semua berterima kasih
padamu. Kau telah membuat akhir bahagia dalam hidup Fenny,” tutupnya.
Pikiranku
seketika dipenuhi oleh Fenny. Sekejap aku mengenalnya, sekejap pula ia pergi.
Kubuka pelan tiap lembar album foto yang sengaja kubuat untuknya. Memoriku
seakan mundur melihat senyumku dan senyumnya menyatu dalam satu frame.
Hingga
sampai pada foto Fenny di halaman terakhir. Di sini, tepat di depan patung batu
hitam. Senyum dan sorot matanya membuatku kalah. Aku kalah tak dapat membaca
sosoknya. Aku kalah tak peka menyaksikan perjuangannya. Perjuangan untuk
melawan sakit yang menyiksa ditiap hembusan napasnya.
Apa
arti dari semua ini? Kau pergi memberiku setitik cinta atau aku hadir sebagai
pemberi bahagia di saat terakhirmu? Apakah kau yang jauh di sana juga merasakan
hal yang sama denganku? Walaupun semua ini telah terjadi. Walaupun kita telah
terpisah oleh jarak yang tak kutahu batasnya. Di sini, aku telah terlajur
menautkan dirimu sebagai Eun Seo-ku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar