Sabtu, 22 Juni 2013

My Eun Seo


Hobi traveling-ku dimulai saat aku nonton film. Mau itu film yang berlatar Amerika, Inggris, maupun Indonesia. Rasa penasaranku cepat banget menggebu bila mendapat satu tempat yang menakjubkan. Hhmm,, mungkin sudah darah traveling kali ya. Ayah ibuku juga juga sama. Adik dan kakakku apalagi.
Tapi kali ini, karena abis nonton drama Korea, aku mutusin untuk traveling ke sana. Mumpung libur sekolah dan ayah ibu juga ngizinin aku buat terbang sendiri. Inilah saatnya. Aku akan ke Korea. Paling tidak cuma dua kali setahun, tiga kali paling banyak kalau tujuannya ke luar negeri. Dan, Korea adalah negeri bermata sipit pertama yang kudatangi. Kenalin, namaku Hardy. Aku adalah seorang traveler.
Pesawatku mendarat di Bandara Incheon. Hal yang aku dapati pertama kali adalah dingin dan suasana yang sangat amat baru. Senyumku spontan terulas melihat suasana asing namun menyenangkan. Jaket parasut hitam tebal melekat di badanku. Di tambah ransel gede dan satu koper yang mengikuti kemana aku pergi.
Hotel Somerset Seoul menjadi tempat persinggahanku. Aku memilih menaiki bus saja biar uang peganganku nggak terkuras. Nggak asyik banget gitu kalau aku baru sampai di hotel terus tidur. Ya, aku langsung jalan aja. Mumpung masih tengah hari di sini.
Beda banget loh tengah hari di Indonesia sama di sini. Seandainya tengah hari begini mulu, aku yakin pedagang es krim pada bangkrut. Tepi jalan sepi berhias serakan salju yang kadang terasa licin. Kumasukkan kedua tangan ke dalam saku celana sambil menatap kiri kanan pemandangan kota. Lalu lalang kendaraan terbilang nggak sepi, nggak ramai juga. Asri banget deh. Siapapun betah ada di sini.
Telah melewati perjalanan jauh, ternyata perutku udah merengek minta diisi. Penciumanku tiba-tiba menajam, mengintai tempat makan apa yang pas untuk usus orang sepertiku.
Hongik Sootbul Kalbi. Tempat makan yang berhasil merayuku dengan pemandangan luarnya. Baiklah akan kueksekusi salah satu makanan di dalamnya.
Lagi-lagi seperti ini setiap aku sedang traveling keluar negeri. Kendala bahasa yang buatku kadang geram sendiri. Orang Korea dikit banget yang tahu Bahasa Inggris. Terpaksa untuk sementara waktu aku jadi kayak siswa di sekolah luar biasa, pake bahasa isyarat. Geram barusan terbayar impas dengan penyajian makanan di sini. Tak nyesel deh aku mampir walaupun bahasa Korea-ku amburadul.
Cobaan berikutnya terjadi lagi. Tepat saat aku ingin membayar ongkos makan. Aku punya mata uang Korea tapi nggak ngerti apa yang wanita paruh baya ini bilang. Dia nggak berhenti ngoceh sambil nunjukin angka lia di tangan kanan, dan angka tiga di tangan kirinya.
“Boleh aku bantu?” seorang gadis menghampiriku. Aku terperangah, syukurlah aku ketemu orang yang bisa bahasa Indonesia yang lagi makan di sini juga.
“Tentu. Tolong,” pintaku dengan senyum yang berusaha kubuat semanis mungkin. Dengan fasihnya gadis yang terlihat seperti seumuranku menjadi penerjemah dadakan. Belum genap sehari di Seoul aku sudah kalang kabut nggak ngerti bahasa.
“Makasi ya bantuannya,” ujarku telah berada di luar Hongik bareng dia.
“Nggak apa-apa. Aku senang bisa ketemu orang Indonesia. Kamu sempat buatku ketawa ngelihat gaya lucu kamu ngartiin bahasa isyarat,” tambahnya sambil tertawa kecil.
Spontan tanganku menggaruk kepala. Padahal nggak gatal sama sekali. “Oh iya, kenalin, namaku Hardy,” lanjutku menyodorkan tangan.
Dia sejenak menatap tanganku agak lama, lalu beralih memandangku dengan senyum lembut, “Aku Fenny,” balasnya.
Tiba-tiba aku tertegun. Aku baru sadar, rambut, mata layu, senyum tipis, pokoknya hampir semua yang ada padanya mirip banget sama salah satu bintang serial Korea legendaris.
“Eun Seo.” nggak sadar nama itu melesak keluar dari mulutku.
“Sorry? Eun apa?”
“Nggak, aku lihat mukamu nggak asing. Mirip artis Korea terkenal, tapi versi remajanya.”
Fenny cekikian, “Aku udah bosan menghitung orang yang bilang seperti itu.”
“Oh jadi banyak yang bilang juga? Hhmm,, aku nggak heran sih.”
“Udah, kita jalan yuk. Mau nggak aku bawa ke suatu tempat? Kayaknya ngelihat kamu nggak bisa bahasa Korea walaupun hal yang dasar, kelihatan banget ini pertama kalimu ke mari,” tebaknya jitu.
“Wow, kau pembaca pikiran ya?”
“Nggak lah,” Fenny sekali lagi tertawa, “Udah, ayo ikut aku,” lanjutnya berlari kecil mendahuluiku.
“Kemana?”
“Ikut aja,” katanya berbalik menungguku berjalan seiring dengannya.
Lucu sih kelihatannya. Kita bertemu karena ketidaksengajaan. Karena kemampuan bahasaku yang terbatas. Dan, karena mungkin emang takdirnya.
Udara semakin dingin. Di Indonesia saat ini sedang musim hujan. Di Korea seperti yang aku lihat sekarang, dinginnya meraja lela hingga memaksaku dan Fenny untuk memasang pakaian tebal di badan. Lihat dia, jaket wol putih yang ia kenakan persis banget seperti bintang film itu. Sorot matanya nggak terlalu tajam, dan senyum khasnya. Persis banget Eun Seo. Apa aku harus manggil dia Eun Seo aja ya?
Tenyata Fenny sedang menjenguk neneknya yang lagi sakit di sini. Dia juga tinggal di Indonesia. Tapi semenjak neneknya sakit keras, Indonesia udah cukup jarang ia jamahi lagi. Itu seperti yang dia bilang.
Hhm, mataku terbelalak melihat Eun Seo membawaku kemari. Sebuah tempat yang begitu menakjubkan dan terlihat sangat tidak asing.
“Selamat datang di Nami Island,” ujar riang Fenny sambil merentangkan tangan menyambut kedatanganku. Mulutku menganga karena kagumnya. Sebuah pohon yang menjulang tinggi, berjajar rapi membentuh pola garis lurus. Tanah yang kupijaki masih tak sepenuhnya tertutup salju. Berjalan berdampingan dengan Eun Seo membuatku makin tenang. Sebab ada penunjuk jalan yang pasti buatku.
“Hardy, ayo kita kesana,” spontan Fenny meraih tanganku. Aku terdiam melihat hangat tangannya menyentuhku. Langkah Fenny ikut terhenti melihatku. Ia sadar telah mengenggamku dengan sangat erat, lalu melepaskannya dan meminta maaf berulang-ulang.
“Kita mau kemana?” tanyaku berusaha mengusir canggung di antara kami.
“Lihat di sana!” riang Fenny menunjuk sebuah patung batu besar. Aku melangkah mendekat tak melepas pandangan dari patung itu. Semakin dekat dan dekat.
“Ini...”
“Ya, ini patung pemain film Winter Sonata itu. Keren kan?” sambung Fenny.
“Wow, aku...” spechless aku jadinya, “Makasi banget udah bawa aku ke mari. Ini salah satu tempat yang pengin banget aku lihat. Pantesan dari tadi aku ngerasa nggak asing.”
“Ini juga salah satu tempat favoritku, Dy.”
“Oke, aku fotoin ya. Coba berdiri di sana,” ujarku tiba-tiba.
“Ah nggak usah, Dy. Aku malu,” elaknya menggeleng
“Nggak apa-apa -apa. Kamu cantik kok. Mirip Eun Seo,” teduhku berhasil meluluhkannya. Eun Seo atau Fenny berdiri membelakangi patung Winter Sonata. Tangan kanannya menyentuh persendian siku kiri. Senyum Fenny yang terlihat halus kembali membuatku tertegun. 
Apa yang kurasakan ini? Seperti.... Ah sudah. Aku melanjutkan jepretan kamera digital bawaanku. Beberapa kali foto hingga Eun Seo memaksa untuk berhenti. Oke, aku nurut.
“Nanti foto kamu aku print ya. Terus hasilnya aku kasih ke kamu.”
“Beneran?”
“Iya, tapi besok-besok kita bisa ketemu lagi kan?” tanyaku. Fenny terdiam. Senyumnya tak merekah seperti tadi, seperti memikirkan sesuatu. “Fen, kamu nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa kok,” Fenny menggeleng paksa kepalanya, “Ayo, kita ke tempat lain lagi. Yang ini nggak kalah seru.” Fenny kembali antusias.
“Wah, ada lagi?”
N Seoul Tower. Sebuah menara tinggi, seperti gondola. Naik sangat tinggi hingga kita dapat melihat pemandangan Seoul dengan jelas.
“Fenny,” ujarku kembali terperangah, masih berada di pintu masuk. Aku menengadah ke atas melihat menara yang amat tinggi itu. “Fenny, ini seperti di salah satu serial korea terkenal.”
Boys Before Flower kan?” sambungnya nyegir.
“Iya, betul banget. Ayo kita naik.” antuasiasku memasuki wilayah N Seoul Tower. “Tunggu dulu. Fen, dari tadi bapak itu kok ngikutin kita terus ya?” tunjukku pada seorang pria paruh baya yang memakai jas rapih seperti mengintai pergerakan kami.
“Yang mana? Ah mungkin perasaan kamu aja. Ayo kita naik,”
Perhatianku pada pria asing itu buyar, “Yuk.”
Satu gondola isinya hanya aku dan Eun Seo. Kami larut dalam tawa, melihat kembali hasil jempretan saat di Nami Island.  Ditambah foto kami berdua. Aku yang memegang kamera dan mengarahkannya sambil meretangkan tangan di udara.
“Lihat, Fen. Keren banget,” kagumku sontak berdiri menghadap kaca bening. Di depan mataku hanya ada ujung puncak gedung-gedung Seoul. “Fen, lihat ini,” panggilku lagi masih belum di susul Fenny. “Fenny! Kamu nggak apa-apa?” tanyaku panik melihat fenny merintih sakit di kepalanya. “Fen?” 
“Iya aku nggak apa-apa. Cuma sedikit mengantuk.” Fenny bangkit. Ia seperti berusaha menahan sakit.
“Beneran kamu nggak apa-apa? Kamu udah makan kan?”
“Iya, Hardy. Ayo, katanya kamu mau lihat pemandangan Seoul. Itu.” Fenny kembali bersemangat.
Senyumku bangkit melihatnya yang ikut bangkit. Nggak tahu kenapa suasana seakan mendukung banget buat bangkitin romantis saat ini. Aku spontan memandang Fenny. Senyum tipisnya merekah perlahan. Matanya tertutup seperti menikmati terpaan mentari. Nggak lama, kepala Fenny terjatuh di lenganku. Dia bersandar tanpa merasa canggung. Aku sempat kaku namun genggaman tangannya di lenganku membuatku dapat mengartikan, dia tak ingin aku mengelak.
“Makasi udah mau nemenin aku kemari, Hardy,” desah Fenny. Suaranya lebih kecil dari yang tadi. Aku menghela napas panjang dan membalas ucapannya.
****
Pagi hari di Seoul. Dingiiin banget. Tapi aku dan Eun Seo udah janjian buat ketemu lagi. Kemarin kami nggak lupa dong mengabadikan moment bahagia. Dengan potret kami Berdua. Sesuai janjinya ia mau menemuiku tepat di patung Winter Sonata di Nami Island. Bingung juga, kok Fenny mau ketemuan di pagi yang dingin banget kayak gini ya? Tapi nggak apalah.
Satu album foto-foto kami kemarin juga udah jadi. Aku sengaja begadang untuk membuat album sederhana ini. Rencananya mau kasih dia, sebagai kenang-kenangan. Soalnya beberapa hari lagi aku harus balik ke Indonesia.
Matahari semakin meninggi namun Fenny belum datang juga. Nggak bisa dipungkiri, aku kangen mau ngelihat wajah Eun Seo yang terbingkai indah di tekstrur wajahnya.
Berjam-jam aku menunggu tapi Fenny belum menampakkan diri. Aku mulai resah hingga seorang pria menghampiriku. Pria paruh baya yang ngikutin aku dan Fenny sejak kemarin.
“Siapa kau?” aku terkejut, khawatir pria ini berbuat macam-macam.
“Aku salah satu pengasuh Fenny. Maaf telah mengejutkanmu. Aku hanya ingin menyampaikan Fenny tidak bisa datang,” jawabnya dengan raut cemas, “Tepatnya tak akan pernah datang.”
“Apa maksudmu?”
“Beberapa jam setelah dia pulang kemarin, ketika jalan bersamamu, Fenny telah menghembuskan napas terakhir.”
Waktu seakan berhenti. Ini tidak mungkin terjadi. Kemarin Fenny kelihatan baik-baik saja.
“Tidak! Kau jangan mengada-ngada.” aku masih tak terima.
“Fenny menderita leukimia stadium akhir. Dokter tak bisa melakukan apa-apa lagi. Kita semua hanya menungu waktu. Dan kata dokter, kita harus menuruti semua permintaannya. Sebab, mungkin itu permintaannya yang terakhir.”
Kelopak mataku berkaca-kaca. Tidak mungkin sosok Eun Seo yang kukenal, senasib dengan Eun Seo yang ada di film. Dia meninggal karena penyakit yang sama dengan Eun Seo.
“Apa dia punya permintaan terakhir?” tanyaku dengan tangis yang berusaha kutahan.
“Dia mau kau menemaninya hingga pemakanan selesai. Dan dia mau kau menyimpan foto-foto itu sebagai pengingat akan dirinya nanti. Satu lagi, kami semua berterima kasih padamu. Kau telah membuat akhir bahagia dalam hidup Fenny,” tutupnya.
Pikiranku seketika dipenuhi oleh Fenny. Sekejap aku mengenalnya, sekejap pula ia pergi. Kubuka pelan tiap lembar album foto yang sengaja kubuat untuknya. Memoriku seakan mundur melihat senyumku dan senyumnya menyatu dalam satu frame.
Hingga sampai pada foto Fenny di halaman terakhir. Di sini, tepat di depan patung batu hitam. Senyum dan sorot matanya membuatku kalah. Aku kalah tak dapat membaca sosoknya. Aku kalah tak peka menyaksikan perjuangannya. Perjuangan untuk melawan sakit yang menyiksa ditiap hembusan napasnya.
Apa arti dari semua ini? Kau pergi memberiku setitik cinta atau aku hadir sebagai pemberi bahagia di saat terakhirmu? Apakah kau yang jauh di sana juga merasakan hal yang sama denganku? Walaupun semua ini telah terjadi. Walaupun kita telah terpisah oleh jarak yang tak kutahu batasnya. Di sini, aku telah terlajur menautkan dirimu sebagai Eun Seo-ku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar