Senja
mulai berdatangan. Deruh ombak masih tak hilang. Cuaca menyengat lenyap seiring
jingga yang tersenyum. Aku menepikan gerobakku. Mengambil posisi strategis di
pinggir jalan dan pinggir pantai. Sejak dari tadi, lalu lalang kendaraan tak
henti ubahnya. Pagi, siang dan saat ini sore menjelang malam. Masih tetap padat
seperti biasa. Disinilah tempatku tiap hari membanting tulang. Merubah keringat
menjadi uang. Dan mengubah hampa menjadi ada.
Pantai
Losari. Tidak bosan aku disini. Tempatku menjual kuliner khas kota kelahiranku.
Makassar. Kota anging mamiri. Aku menjual pisang epe'. Beruntung aku diberi
kesempatan sebagai penghubung antara ingin konsumen dan cita rasa unik dari
produk yang aku sediakan.
Aku
duduk disebuah beton yang dibangun memanjang sepanjangan pinggir pantai. Pantai
losari bukannlah pantai pada umumnya. Tidak sama dengan pantai Bira yang ada di
bulukumba atau pantai kuta yang ada di Bali. Pantai Losari tak berpasir. Hanya
beton yang menjadi peyangga air yang merembes ke daratan. Yang unik dari
tempatku berdagang ini adalah aksesnya yang sangat mudah. Tepat dipinggir jalan
pusat kota Makassar.
Jadi
siapa saja bisa mampir dan menikmati suasana indah di Pantai Losari. Gerobakku
tempatnya jauh dari anjungan. Anjungan yang kumaksud adalah lantai beton yang
menjadi pusat dari pantai Losari ini. Disana banyak berkumpul warga yang hendak
bersantai atau melihat senja yang perlahan menghilang.
Aku
yakin, saat berada di anjungan tersebut, semua orang tahu kalau mereka sedang
berada di Pantai Losari. Terutama bagi para turis asing. Di anjungan tersebut
terdapat berbagai macam huruf yang berdiri tegak menghadap jalan dan
membelakangi pantai. Tulisannya 'PANTAI LOSARI'. Cukup besar ukurannya. Hampir
tiga meter.
“Mas, pisang epe' ta dua (Mas, pisang
epe'nya dua porsi)” pinta sepasang anak muda yang muncul dari samping
gerobakku.
“Oh iye, mauki rasa apa? (Oh iya, mau
rasa apa?)” tanyaku kembali saat remaja yang terlihat seperti sepasang kekasih
ini merapat duduk di beton tempatku tadi.
Mereka
berdua terlihat membisik, “Yang coklat mo
mas! Dua nah (Yang coklat saja, mas. Dua ya!)” lelaki yang menjadi
penjawab. Aku mulai membuat pesanan mereka. Pelanggan pertama ketika tak lama
aku bertengger di tempatku.
Kukupas
pisang raja yang belum terlalu matang dan belum terlalu mentah. Aku membakar di
tungku beberapa saat. Setelah aromanya tercium, aku mengambil dua balok
sederhana yang biasa aku gunakan. Aku menjepitnya hingga pisang ini gepeng.
Sama seperti namanya 'epe' dalam bahasa Makassar artinya jepit. Jadi pisang
epe' itu adalah pisang jepit. Setelah pisang gepeng tak seperti tadi lagi, aku
menaruhnya di piring kecil. Melumurinya dengan gula merah yang dicairkan. Kebanyakan
orang lebih sering mengatakan gula jawa. Rasa coklat menjadi pilihan mereka.
Coklat cair aku kembali lumurkan. Dan siap untuk disantap.
Saat
aku sibuk merapikan kulit pisang yang ada di gerobakku, seorang wanita
mengejutkanku dengan kehadirannya secara tiba-tiba. Namun kejutku itu berubah
riang karena aku tahu, ada pembeli baru lagi. Seorang wanita dengan kulit putih
bersih. Rambutnya terurai rapih. Dia memakai sweeter coklat muda dan jeans biru
gelap.
Wanita
ini terus melihatku merapikan gerobak. Dia tak bergeming. Hanya memandangku
bekerja.
“Mauki pisang
epe'? (Mau beli pisang epe'?)” tanyaku
berusaha menghilangkan heran.
Sejenak
dia terdiam, lalu memandang mataku perlahan “Iye'
pesanka satu. Yang rasa keju. (Iya, pesan satu porsi. Yang rasa keju)”
jawabnya sambil mengukir senyum tipis.
“Duduk miki disana!
(kalau gitu, mbak duduk saja disana!)” seruku halus menunjuk tempat sepasang
kekasih tadi berduaan.
“Nda mauka.
Mauka lihatki bikin pisang epe' saja! (saya tidak
mau. Saya mau lihat anda membuat pisang epe saja!)” tolaknya dengan nada sayu.
“Iye pade.
Kitaji (Iya, terserah mbak kalau begitu)"
jawabku melayangkan senyum.
Perkataan
wanita ini benar-benar ia lakukan. Dia tidak juga beranjak dari tempatnya
berdiri. Menyandarkan pipinya di salah satu tiang gerobakku.
Tak
memakan waktu lama, satu porsi pisang epe' yang dilumuri gula merah dan parutan
keju yang menutup hampir seluruh permukaan pisang siap dihidangkan.
“Mauki makan
dimana? (Mbak mau makan dimana?)” tanyaku
bersedia membawakan pesanannya.
“Mauka ditemani
sama kita mas. Disana mo saja! (saya mau ditemani makan
dengan mas. Disana saja!)” pinta yang membuatku terkejut. Baru kali ini ada
pembeli yang memintaku menemaninya makan.
“Tapi mauka juga
jaga gerobakku (Tapi saya sedang menjaga jualan
saya, Mbak)” elakku.
“Satu kali mo,
Mas. Kubayarki juga karena sudah temanika (Satu
kali saja, Mas. Saya akan membayar mas karena telah menemani saya)” wanita ini
masih tetap bersih keras membujukku. Bujukan halus dan tatapan sayunya masih
tak hilang.
Baik,
aku akan menuruti permintaannya. Aku memanggil rekan se-profesiku dan meminta
tolong untuk memantau gerobak milikku.
“Disitu miki
duduk! (Kita duduk disitu saja!)” ujar wanita
ini mendarat layu di kursi beton hampa. Aku ikut di sampingnya. Piring kecil
berisi pisang epe' pesanannya aku berikan. Senyum tipis ia tampakkan lagi saat
tangannya menengadah menerima pemberianku. Senja masih membuka mata. Rasa
gugupku mulai berdatangan.
“Mbak,
dari mana?” tanyaku menghentikan kaku yang sebentar lagi menghampiriku.
Kepalanya
berbalik pelan. Sejenak kuberpikir dia tidak memiliki banyak tenaga untuk
banyak bergerak.
“Aku
datang dari jauh. Aku kemari untuk mencari sesuatu untuk menghilangkan beban
hidupku.” jelasnya sedikit membuatku penasaran. Ingin bertanya apa yang menjadi
masalah hidpunya, tapi takut bila dinilai lancang. Jadi aku lebih memilih
menjawab meskipun tanyanya belum jelas.
“Hidup
itu cuma satu kali, Mbak. Jadi manfaatkan dengan baik. Bila hidup kita dipenuhi
beribu beban, jangan jadikan itu menjadi beban. Tapi, anggap semua itu adalah
kesan dan kenangan hidup yang akan membekas selamanya. Tiap detik sangat
berharga. Jadi jangan pernah menyia-nyiakannya.” aku ikut mengeluarkan
statement yang tak kusadari berasal dari mulutku.
“Tapi
bagaimana kalau hidupmu yang sekarang sangatlah buruk? Dan bagaimana bila kamu
punya satu kesempatan untuk memulai hidup yang baru?”
“Itu
pertanyaan yang sudah pasti jawabannya. Bila hidupku saat ini sangatlah
menderita, dan aku memiliki kesempatan untuk mengubahnya, aku kuambil
kesempatan itu. Karena sangat langkah bila kesempatan mau datang lebih dari
satu kali.”
Angin
mulai berhembus. Pandanganku sedikit teralih melihat helai rambutnya
menari-nari menikmati hembusan ini. Tatapannya sayu memandang matahari. Hatiku mengeluarkan percikan yang
tak kusangka datangnya. Apa yang terjadi padaku? Rasa untuk memperhatikannya
semakin lama semakin tak mau hilang. Tatapan layunya membuat hasratku mekar
untuk menghiburnya. Senyum tipisnya membangkitkan tekadku yang tak kusangka,
bahwa aku akan membuat dia bahagia selama berada di sampingku.
“Nama
saya Dani. Nama mbak siapa?” tanyaku memberanikan diri.
Senyum
berhias gigi rata akhirnya ia munculkan. Sumringahnya lahir. Dia menyodorkan
tangan, “Rindu! Panggil saya Rindu!” jawabnya tanpa canggung. Aku menggapai
pelan tangannya dan menjabatnya tidak cukup erat. Tangannya sedikit Lebih kecil dari tanganku.
Lebih halus dari tanganku, juga lebih putih dari tanganku.
“Bolehkah
saya minta sesuatu lagi padamu, Dani?”
“Tentu
saja! Katakan apa yang kamu mau.”
“Bawa
aku ke anjungan. Temani aku melihat matahari terbenam lebih jelas lagi!”
jawabnya masih mendayu.
Kami
disambut dengan orang-orang yang telah berkumpul lebih duluan. Ternyata banyak
juga yang mau menyaksikan matahari terbenam sejelas ini. Aku memandang ke
barat, matahari terlihat bulat jelas berwarna jingga. Rindu sempat tertinggal
di belakangku. Ku tengadahkan lenganku menyentuh punggungnya dan membiarkannya
berjalan sedikit di depanku.
Aku
melewati hamparan manusia di sekelilingku. Bangku-bangku keras yang terbuat
dari beton dipenuhi pengunjung. Pengamen anak kecil sibuk menyanyi dan berlari
dengan riang. Tiang berbentuk layar tepat di tengah anjungan menjulang kokoh.
Pedagang asongan tidak mau kalah ikut unjuk gigi disini. Di depanku telah
terpampang antribut utama bertuliskan 'Pantai Losari' senyum Rindu mekar.
Kubalas senyumannya dan berjalan mendekati tepi anjungan.
Di
tepi anjungan dia merapat dan duduk di pinggir beton. Di bawah masih ada
dermaga dari plastik berbentuk puzzle yang terapung. Aku hendak mengajaknya di
dermaga itu, tapi dia lebih memilih duduk di tempatnya sekarang. Rindu bilang,
disini ia sudah bisa melihat matahari terbenam dengan jelas.
Riuh
terdengar dari berbagai sudut. Bincang-bincang orang sekitar terdengar dengan
jelas. Ada yang sibuk bergaya di depan kamera. Mengabadikan gambar mereka di
anjungan ini. Dari tempatku sekarang, bila mataku memandang tepat kearah
pantai, di sebelah kiri terbentang jalan raya. Sebuah masjid tepat di tengah
pantai juga ikut menampakkan diri. Disini kami menyebutnya masjid terapung.
Mataku
tak tertuju pada matahari terbenam itu. Pandanganku lebih teralih ke Rindu. Aku
senang melihat ingin dia terpenuhi. Kedipan mata sayu masih ia perlihatkan
seiring pandanganya ke senja yang mulai menghilang. Aku lebih memilih diam.
Menikmati Rindu yang sedang menikmati saat ini.
****
Kehadiran
Rindu kemarin mengubah suasana hatiku saat ini. Sepanjang malam pikiranku
dipenuhi dengan namanya. Saat ia pulang dan beranjak menjauh dariku, seakan
tanganku ingin bergerak dan mencegahnya untuk pergi. Rindu ingin bertemu
dengannya sekali lagi. Aku mengakui, cintaku telah tumbuh. Sepertinya ini
salah. Cintaku terlalu cepat untuk datang. Tapi dirinya terus membayangiku.
Saat
melihat sepasang kekasih menyantap pisang epe', kepalaku tersentak mengingat
Rindu. Aku menggelengkan kepala saat lamunanku sudah melewati batas. Apa yang
aku lakukan? Aku tidak boleh seperti ini! Dia hanya pembeli biasa yang kutemui.
Datang sekali dan begitu saja pergi dan tak kembali.
“Mas! Manami
pisang epe' ku? (Mas, mana pisang epe' pesanan
saya?)” tanya dengan lantang pembeliku yang duduk disana. Ini gara-gara aku
yang terlalu banyak melamun.
“Iye. Ini
jadimi! (Iya, ini sudah jadi)” jawabku membawa
empat porsi pisang epe' yang beralaskan baki.
Belum
sempat melangkah jauh, tangan halus meraih pundakku. Aku terkejut, kepalaku
menoleh spontan. Senyumku bangkit. Risau dan gelisahku terusir melihat
kehadiran Rindu secara tiba-tiba.
“Tunggu sebentar
nah (Tunggu sebentar ya!)” ujarku pada
Rindu sambil berjalan cepat mengantarkan pesanan pembeliku.
Rindu
datang lagi! Kini dia memakai sweeter biru muda dan jeans biru gelap seperti
yang ia pakai kemarin. Senyum tipisnya kembali menabrak pandanganku. Aku tidak
bisa menahan bahagiaku melihat dia sekali lagi.
“Mauki pesan
pisang epe' lagi? (Mau pesan pisang epe' lagi?)”
tanyaku dengan sumringah yang tak berhenti hilang.
Rindu
mengangguk pelan. Matanya iku berkedip lambat. Tapi senyum tulusnya tak bisa menghilangkan
pesona cantiknya. “Mauka kayak kemarin.
Temanika makan pisang epe' baru sama-samaki lihat matahari terbenam. Boleh ji
mas? (Aku mau seperti kemarin. Temani aku makan pisang epe' lalu
menyaksikan matahari terbenam. Boleh kan?)” pintanya seakan takut aku menolak.
Dan
aku tak akan menolak. Sekarang aku membuat dua porsi pisang epe'. Satu untukku
dan satu untukknya. Lagi-lagi Rindu tak sanggup menghabiskan pisang epe'
miliknya. Beda denganku. Piringku bersih tanpa noda saos gula merah sama
sekali. Kami berlanjut menuju anjungan. Warga yang mampir masih sepadat hari
sebelumnya.
Tempat
yang sama seperti kemarin. Kami duduk bersebelahan. Lebih dekat. Telah beda
yang kurasakan. Bukan kaku atau canggung. Melainkan nyaman tiada tara berada di
dekatnya. Perlahan sang surya lenyap. Perlahan pula kepala Rindu bersandar di
bahuku. Sejenak aku terkejut. Namun tak bisa aku elak. Hatiku merasa sangat
tentram. Dia mempercayakanku menjadi sandarannya. Dia cukup merasa nyaman untuk
menjadikanku sebagai orang yang selalu menemaninya.
“Andai
tiap hari seperti ini.” ujar Rindu tiba-tiba. Dia masih bersandar di bahuku. “Mas
Dani, sepertinya aku tidak bisa menjauh lagi darimu.” sambung Rindu dengan
suara lemas.
“Kalau
begitu jangan. Jangan biarkan dirimu pergi meninggalkanku.”
“Tapi
ini kehidupan mas. Ada pertemuan dan ada perpisahan.”
“Apa
maksud kamu?” tanyaku sedikit terkejut. Aku benci bila apa yang kutangkap ini
benar.
“Izinkan
aku untuk tetap bersandar padamu, Mas. Setelah sekian lama, baru kali ini aku
merasakan lagi hangatnya tubuh seorang lelaki. Lelaki yang kucintai.”
Kelanjar
mataku mengembang. Air mataku membujuk untuk terjun bebas. Namun aku lebih kuat
menahannya. Tanganku kulingkarkan di pundaknya. Spontan kulakukan sebagai bukti
perlindunganku padanya.
“Tetap
bersamaku, Rindu!” kataku singkat.
Kembali
kami terdiam melihat indahnya matahari terbenam. Dalam hitungan menit, ubun ubun
mentari menghilang diujung air laut.
“Kenapa
aku menemukanmu disaat semuanya akan berakhir?” tutur Rindu memecah tanyaku.
“Sebenarnya
apa maksud dari perkataanmu?”
“Baru
dua hari kita bertemu, namun seakan aku telah mengenalmu selama dua tahun. Baru
dua hari kita ketemu tapi kamu belum mengetahui semua tentangku.”
“Kalau
begitu katakan semuanya tentang dirimu!”
“Sebentar
lagi waktuku akan habis. Waktuku tinggal sedikit untuk menempati tempat
tinggalku saat ini. Namun aku punya satu kesempatan untuk merubah semuanya.
Seperti yang aku ceritakan kemarin. Hidupku terbebani oleh penyakitku saat ini.
Perlahan tapi pasti, penyakit ini akan memisahkan raga dan nyawaku.”
“Tidak!
Kamu tidak boleh meninggalkanku begitu saja, Rindu. Kenapa kamu membuatku jatuh
cinta dan begitu saja ingin pergi? Satu kesempatan. Iya, dimana satu kesempatan
yang pernah kamu katakan?”
“Bila
aku mengambil kesempatan itu, kita tak akan bisa bersama. Seorang pengusaha
kaya. Dia sangat tampan dan sangat mencintaiku. Dia akan menyembuhkanku,
membawaku ke rumah sakit paling mahal agar aku sembuh. Tapi menikah dengannya
adalah syarat yang harus aku penuhi.”
“Kalau begitu, ambillah kesempatan itu, Rindu.
Kamu tidak akan sembuh bila terus bersamaku. Pergilah! Jauh lebih sakit bila
kau benar-benar tak ada. Lebih dari cukup buatku untuk mencintaimu dari jauh.
Aku yakin dia akan membuatmu bahagia jauh lebih baik dari yang aku lakukan.
Ambillah kesempatan itu. Kesempatan untuk tetap bertahan hidup. Demi kamu dan
aku. Seiring berjalannya waktu, cinta yang ia rasakan akan tertular padamu
juga.” jelasku melepas Rindu. Bibirku menyentuh keningnya sebagai bukti
perpisahan dan bukti aku akan selalu ada untuk mencintainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar