Sabtu, 22 Juni 2013

Melepas Rindu di Pantai Losari



Senja mulai berdatangan. Deruh ombak masih tak hilang. Cuaca menyengat lenyap seiring jingga yang tersenyum. Aku menepikan gerobakku. Mengambil posisi strategis di pinggir jalan dan pinggir pantai. Sejak dari tadi, lalu lalang kendaraan tak henti ubahnya. Pagi, siang dan saat ini sore menjelang malam. Masih tetap padat seperti biasa. Disinilah tempatku tiap hari membanting tulang. Merubah keringat menjadi uang. Dan mengubah hampa menjadi ada.
Pantai Losari. Tidak bosan aku disini. Tempatku menjual kuliner khas kota kelahiranku. Makassar. Kota anging mamiri. Aku menjual pisang epe'. Beruntung aku diberi kesempatan sebagai penghubung antara ingin konsumen dan cita rasa unik dari produk yang aku sediakan.
Aku duduk disebuah beton yang dibangun memanjang sepanjangan pinggir pantai. Pantai losari bukannlah pantai pada umumnya. Tidak sama dengan pantai Bira yang ada di bulukumba atau pantai kuta yang ada di Bali. Pantai Losari tak berpasir. Hanya beton yang menjadi peyangga air yang merembes ke daratan. Yang unik dari tempatku berdagang ini adalah aksesnya yang sangat mudah. Tepat dipinggir jalan pusat kota Makassar.
Jadi siapa saja bisa mampir dan menikmati suasana indah di Pantai Losari. Gerobakku tempatnya jauh dari anjungan. Anjungan yang kumaksud adalah lantai beton yang menjadi pusat dari pantai Losari ini. Disana banyak berkumpul warga yang hendak bersantai atau melihat senja yang perlahan menghilang.
Aku yakin, saat berada di anjungan tersebut, semua orang tahu kalau mereka sedang berada di Pantai Losari. Terutama bagi para turis asing. Di anjungan tersebut terdapat berbagai macam huruf yang berdiri tegak menghadap jalan dan membelakangi pantai. Tulisannya 'PANTAI LOSARI'. Cukup besar ukurannya. Hampir tiga meter.
Mas, pisang epe' ta dua (Mas, pisang epe'nya dua porsi)” pinta sepasang anak muda yang muncul dari samping gerobakku.
Oh iye, mauki rasa apa? (Oh iya, mau rasa apa?)” tanyaku kembali saat remaja yang terlihat seperti sepasang kekasih ini merapat duduk di beton tempatku tadi.
Mereka berdua terlihat membisik, “Yang coklat mo mas! Dua nah (Yang coklat saja, mas. Dua ya!)” lelaki yang menjadi penjawab. Aku mulai membuat pesanan mereka. Pelanggan pertama ketika tak lama aku bertengger di tempatku.
Kukupas pisang raja yang belum terlalu matang dan belum terlalu mentah. Aku membakar di tungku beberapa saat. Setelah aromanya tercium, aku mengambil dua balok sederhana yang biasa aku gunakan. Aku menjepitnya hingga pisang ini gepeng. Sama seperti namanya 'epe' dalam bahasa Makassar artinya jepit. Jadi pisang epe' itu adalah pisang jepit. Setelah pisang gepeng tak seperti tadi lagi, aku menaruhnya di piring kecil. Melumurinya dengan gula merah yang dicairkan. Kebanyakan orang lebih sering mengatakan gula jawa. Rasa coklat menjadi pilihan mereka. Coklat cair aku kembali lumurkan. Dan siap untuk disantap.
Saat aku sibuk merapikan kulit pisang yang ada di gerobakku, seorang wanita mengejutkanku dengan kehadirannya secara tiba-tiba. Namun kejutku itu berubah riang karena aku tahu, ada pembeli baru lagi. Seorang wanita dengan kulit putih bersih. Rambutnya terurai rapih. Dia memakai sweeter coklat muda dan jeans biru gelap.
Wanita ini terus melihatku merapikan gerobak. Dia tak bergeming. Hanya memandangku bekerja.
“Mauki pisang epe'? (Mau beli pisang epe'?)” tanyaku berusaha menghilangkan heran.
Sejenak dia terdiam, lalu memandang mataku perlahan “Iye' pesanka satu. Yang rasa keju. (Iya, pesan satu porsi. Yang rasa keju)” jawabnya sambil mengukir senyum tipis.
“Duduk miki disana! (kalau gitu, mbak duduk saja disana!)” seruku halus menunjuk tempat sepasang kekasih tadi berduaan.
“Nda mauka. Mauka lihatki bikin pisang epe' saja! (saya tidak mau. Saya mau lihat anda membuat pisang epe saja!)” tolaknya dengan nada sayu.
“Iye pade. Kitaji (Iya, terserah mbak kalau begitu)" jawabku melayangkan senyum.
Perkataan wanita ini benar-benar ia lakukan. Dia tidak juga beranjak dari tempatnya berdiri. Menyandarkan pipinya di salah satu tiang gerobakku.
Tak memakan waktu lama, satu porsi pisang epe' yang dilumuri gula merah dan parutan keju yang menutup hampir seluruh permukaan pisang siap dihidangkan.
“Mauki makan dimana? (Mbak mau makan dimana?)” tanyaku bersedia membawakan pesanannya.
“Mauka ditemani sama kita mas. Disana mo saja! (saya mau ditemani makan dengan mas. Disana saja!)” pinta yang membuatku terkejut. Baru kali ini ada pembeli yang memintaku menemaninya makan.
“Tapi mauka juga jaga gerobakku (Tapi saya sedang menjaga jualan saya, Mbak)” elakku.
“Satu kali mo, Mas. Kubayarki juga karena sudah temanika (Satu kali saja, Mas. Saya akan membayar mas karena telah menemani saya)” wanita ini masih tetap bersih keras membujukku. Bujukan halus dan tatapan sayunya masih tak hilang.
Baik, aku akan menuruti permintaannya. Aku memanggil rekan se-profesiku dan meminta tolong untuk memantau gerobak milikku.
“Disitu miki duduk! (Kita duduk disitu saja!)” ujar wanita ini mendarat layu di kursi beton hampa. Aku ikut di sampingnya. Piring kecil berisi pisang epe' pesanannya aku berikan. Senyum tipis ia tampakkan lagi saat tangannya menengadah menerima pemberianku. Senja masih membuka mata. Rasa gugupku mulai berdatangan.
“Mbak, dari mana?” tanyaku menghentikan kaku yang sebentar lagi menghampiriku.
Kepalanya berbalik pelan. Sejenak kuberpikir dia tidak memiliki banyak tenaga untuk banyak bergerak.
“Aku datang dari jauh. Aku kemari untuk mencari sesuatu untuk menghilangkan beban hidupku.” jelasnya sedikit membuatku penasaran. Ingin bertanya apa yang menjadi masalah hidpunya, tapi takut bila dinilai lancang. Jadi aku lebih memilih menjawab meskipun tanyanya belum jelas.
“Hidup itu cuma satu kali, Mbak. Jadi manfaatkan dengan baik. Bila hidup kita dipenuhi beribu beban, jangan jadikan itu menjadi beban. Tapi, anggap semua itu adalah kesan dan kenangan hidup yang akan membekas selamanya. Tiap detik sangat berharga. Jadi jangan pernah menyia-nyiakannya.” aku ikut mengeluarkan statement yang tak kusadari berasal dari mulutku.
“Tapi bagaimana kalau hidupmu yang sekarang sangatlah buruk? Dan bagaimana bila kamu punya satu kesempatan untuk memulai hidup yang baru?”
“Itu pertanyaan yang sudah pasti jawabannya. Bila hidupku saat ini sangatlah menderita, dan aku memiliki kesempatan untuk mengubahnya, aku kuambil kesempatan itu. Karena sangat langkah bila kesempatan mau datang lebih dari satu kali.”
Angin mulai berhembus. Pandanganku sedikit teralih melihat helai rambutnya menari-nari menikmati hembusan ini. Tatapannya sayu memandang  matahari. Hatiku mengeluarkan percikan yang tak kusangka datangnya. Apa yang terjadi padaku? Rasa untuk memperhatikannya semakin lama semakin tak mau hilang. Tatapan layunya membuat hasratku mekar untuk menghiburnya. Senyum tipisnya membangkitkan tekadku yang tak kusangka, bahwa aku akan membuat dia bahagia selama berada di sampingku.
“Nama saya Dani. Nama mbak siapa?” tanyaku memberanikan diri.
Senyum berhias gigi rata akhirnya ia munculkan. Sumringahnya lahir. Dia menyodorkan tangan, “Rindu! Panggil saya Rindu!” jawabnya tanpa canggung. Aku menggapai pelan tangannya dan menjabatnya tidak cukup erat.  Tangannya sedikit Lebih kecil dari tanganku. Lebih halus dari tanganku, juga lebih putih dari tanganku.
“Bolehkah saya minta sesuatu lagi padamu, Dani?”
“Tentu saja! Katakan apa yang kamu mau.”
“Bawa aku ke anjungan. Temani aku melihat matahari terbenam lebih jelas lagi!” jawabnya masih mendayu.
Kami disambut dengan orang-orang yang telah berkumpul lebih duluan. Ternyata banyak juga yang mau menyaksikan matahari terbenam sejelas ini. Aku memandang ke barat, matahari terlihat bulat jelas berwarna jingga. Rindu sempat tertinggal di belakangku. Ku tengadahkan lenganku menyentuh punggungnya dan membiarkannya berjalan sedikit di depanku.
Aku melewati hamparan manusia di sekelilingku. Bangku-bangku keras yang terbuat dari beton dipenuhi pengunjung. Pengamen anak kecil sibuk menyanyi dan berlari dengan riang. Tiang berbentuk layar tepat di tengah anjungan menjulang kokoh. Pedagang asongan tidak mau kalah ikut unjuk gigi disini. Di depanku telah terpampang antribut utama bertuliskan 'Pantai Losari' senyum Rindu mekar. Kubalas senyumannya dan berjalan mendekati tepi anjungan.
Di tepi anjungan dia merapat dan duduk di pinggir beton. Di bawah masih ada dermaga dari plastik berbentuk puzzle yang terapung. Aku hendak mengajaknya di dermaga itu, tapi dia lebih memilih duduk di tempatnya sekarang. Rindu bilang, disini ia sudah bisa melihat matahari terbenam dengan jelas.
Riuh terdengar dari berbagai sudut. Bincang-bincang orang sekitar terdengar dengan jelas. Ada yang sibuk bergaya di depan kamera. Mengabadikan gambar mereka di anjungan ini. Dari tempatku sekarang, bila mataku memandang tepat kearah pantai, di sebelah kiri terbentang jalan raya. Sebuah masjid tepat di tengah pantai juga ikut menampakkan diri. Disini kami menyebutnya masjid terapung.
Mataku tak tertuju pada matahari terbenam itu. Pandanganku lebih teralih ke Rindu. Aku senang melihat ingin dia terpenuhi. Kedipan mata sayu masih ia perlihatkan seiring pandanganya ke senja yang mulai menghilang. Aku lebih memilih diam. Menikmati Rindu yang sedang menikmati saat ini.
****
Kehadiran Rindu kemarin mengubah suasana hatiku saat ini. Sepanjang malam pikiranku dipenuhi dengan namanya. Saat ia pulang dan beranjak menjauh dariku, seakan tanganku ingin bergerak dan mencegahnya untuk pergi. Rindu ingin bertemu dengannya sekali lagi. Aku mengakui, cintaku telah tumbuh. Sepertinya ini salah. Cintaku terlalu cepat untuk datang. Tapi dirinya terus membayangiku.
Saat melihat sepasang kekasih menyantap pisang epe', kepalaku tersentak mengingat Rindu. Aku menggelengkan kepala saat lamunanku sudah melewati batas. Apa yang aku lakukan? Aku tidak boleh seperti ini! Dia hanya pembeli biasa yang kutemui. Datang sekali dan begitu saja pergi dan tak kembali.
“Mas! Manami pisang epe' ku? (Mas, mana pisang epe' pesanan saya?)” tanya dengan lantang pembeliku yang duduk disana. Ini gara-gara aku yang terlalu banyak melamun.
“Iye. Ini jadimi! (Iya, ini sudah jadi)” jawabku membawa empat porsi pisang epe' yang beralaskan baki.
Belum sempat melangkah jauh, tangan halus meraih pundakku. Aku terkejut, kepalaku menoleh spontan. Senyumku bangkit. Risau dan gelisahku terusir melihat kehadiran Rindu secara tiba-tiba.
“Tunggu sebentar nah (Tunggu sebentar ya!)” ujarku pada Rindu sambil berjalan cepat mengantarkan pesanan pembeliku.
Rindu datang lagi! Kini dia memakai sweeter biru muda dan jeans biru gelap seperti yang ia pakai kemarin. Senyum tipisnya kembali menabrak pandanganku. Aku tidak bisa menahan bahagiaku melihat dia sekali lagi.
“Mauki pesan pisang epe' lagi? (Mau pesan pisang epe' lagi?)” tanyaku dengan sumringah yang tak berhenti hilang.
Rindu mengangguk pelan. Matanya iku berkedip lambat. Tapi senyum tulusnya tak bisa menghilangkan pesona cantiknya. “Mauka kayak kemarin. Temanika makan pisang epe' baru sama-samaki lihat matahari terbenam. Boleh ji mas? (Aku mau seperti kemarin. Temani aku makan pisang epe' lalu menyaksikan matahari terbenam. Boleh kan?)” pintanya seakan takut aku menolak.
Dan aku tak akan menolak. Sekarang aku membuat dua porsi pisang epe'. Satu untukku dan satu untukknya. Lagi-lagi Rindu tak sanggup menghabiskan pisang epe' miliknya. Beda denganku. Piringku bersih tanpa noda saos gula merah sama sekali. Kami berlanjut menuju anjungan. Warga yang mampir masih sepadat hari sebelumnya.
Tempat yang sama seperti kemarin. Kami duduk bersebelahan. Lebih dekat. Telah beda yang kurasakan. Bukan kaku atau canggung. Melainkan nyaman tiada tara berada di dekatnya. Perlahan sang surya lenyap. Perlahan pula kepala Rindu bersandar di bahuku. Sejenak aku terkejut. Namun tak bisa aku elak. Hatiku merasa sangat tentram. Dia mempercayakanku menjadi sandarannya. Dia cukup merasa nyaman untuk menjadikanku sebagai orang yang selalu menemaninya.
“Andai tiap hari seperti ini.” ujar Rindu tiba-tiba. Dia masih bersandar di bahuku. “Mas Dani, sepertinya aku tidak bisa menjauh lagi darimu.” sambung Rindu dengan suara lemas.
“Kalau begitu jangan. Jangan biarkan dirimu pergi meninggalkanku.”
“Tapi ini kehidupan mas. Ada pertemuan dan ada perpisahan.”
“Apa maksud kamu?” tanyaku sedikit terkejut. Aku benci bila apa yang kutangkap ini benar.
“Izinkan aku untuk tetap bersandar padamu, Mas. Setelah sekian lama, baru kali ini aku merasakan lagi hangatnya tubuh seorang lelaki. Lelaki yang kucintai.”
Kelanjar mataku mengembang. Air mataku membujuk untuk terjun bebas. Namun aku lebih kuat menahannya. Tanganku kulingkarkan di pundaknya. Spontan kulakukan sebagai bukti perlindunganku padanya.
“Tetap bersamaku, Rindu!” kataku singkat.
Kembali kami terdiam melihat indahnya matahari terbenam. Dalam hitungan menit, ubun ubun mentari menghilang diujung air laut.
“Kenapa aku menemukanmu disaat semuanya akan berakhir?” tutur Rindu memecah tanyaku.
“Sebenarnya apa maksud dari perkataanmu?”
“Baru dua hari kita bertemu, namun seakan aku telah mengenalmu selama dua tahun. Baru dua hari kita ketemu tapi kamu belum mengetahui semua tentangku.”
“Kalau begitu katakan semuanya tentang dirimu!”
“Sebentar lagi waktuku akan habis. Waktuku tinggal sedikit untuk menempati tempat tinggalku saat ini. Namun aku punya satu kesempatan untuk merubah semuanya. Seperti yang aku ceritakan kemarin. Hidupku terbebani oleh penyakitku saat ini. Perlahan tapi pasti, penyakit ini akan memisahkan raga dan nyawaku.”
“Tidak! Kamu tidak boleh meninggalkanku begitu saja, Rindu. Kenapa kamu membuatku jatuh cinta dan begitu saja ingin pergi? Satu kesempatan. Iya, dimana satu kesempatan yang pernah kamu katakan?”
“Bila aku mengambil kesempatan itu, kita tak akan bisa bersama. Seorang pengusaha kaya. Dia sangat tampan dan sangat mencintaiku. Dia akan menyembuhkanku, membawaku ke rumah sakit paling mahal agar aku sembuh. Tapi menikah dengannya adalah syarat yang harus aku penuhi.”
 “Kalau begitu, ambillah kesempatan itu, Rindu. Kamu tidak akan sembuh bila terus bersamaku. Pergilah! Jauh lebih sakit bila kau benar-benar tak ada. Lebih dari cukup buatku untuk mencintaimu dari jauh. Aku yakin dia akan membuatmu bahagia jauh lebih baik dari yang aku lakukan. Ambillah kesempatan itu. Kesempatan untuk tetap bertahan hidup. Demi kamu dan aku. Seiring berjalannya waktu, cinta yang ia rasakan akan tertular padamu juga.” jelasku melepas Rindu. Bibirku menyentuh keningnya sebagai bukti perpisahan dan bukti aku akan selalu ada untuk mencintainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar