Sabtu, 22 Juni 2013

Benci Dalam Kardus

"Tulisan ini untuk ikut kompetisi @_PlotPoint: buku Catatan si Anak Magang Film “Cinta Dalam Kardus” yang tayang di bioskop mulai 13 Juni 2013."





Terserah kalian mau percaya atau tidak. Ini ceritaku. Yah, memang ceritaku. Tentang cinta dan benci yang terngiang kembali karena beberapa benda yang ternyata masih aku simpan. Benda-benda yang aku simpan di dalam sebuah kotak kardus persegi panjang. Kalian mau tahu dari mana asal semua benda ini? Dan mengapa benda ini masih ada sampai sekarang? Mari kita mulai.
Namanya Sabrina. Dia yang menjadi pelaku tunggal atas kehadiran benda-benda ini. Dua minggu lalu kami memutuskan untuk mengakhiri jalinan cinta yang kita jalani selama hampir setahun. Selama dua minggu itu aku dan dia benar-benar lost contact. Walaupun nomor ponselnya masih bertengger cantik di kontak ponselku.
Saat itu aku berniat beberes kamar. Tak sengaja kutemukan kotak itu di salah satu sudut kamar. Kubuka dan jreng!! Momen-momen itu kembali teringat. Momen di mana satu persatu Sabrina memberikan barang-barang ini padaku. Awalnya air mataku hampir menetes, namun seketika semuanya berganti menjadi benci mengingat hubungan kami yang gagal karena sifat menyebalkannya. Karena saking bencinya, aku nekat meraih ponsel dan melayangkan sms padanya.
“Lo nggak mau ambil barang-barang pemberian lo di sini? Bikin sumpek kamarku tahu nggak.” Aku tidak memikirkan lagi sehalus atau sekasar apapun aku mengatakan itu padanya. Benciku masih berbekas. Dan untunglah, pesan itu dia balas tanpa harus kutunggu berabad-abad lamanya.
“Untung aja lo sms. Gue hampir aja buang semua barang pemberian lo juga. Oke gue mau balikin.”
Sms-an dadakan itu akhirnya membuahkan hasil. Nanti sore di taman kota, kami janjian untuk mengembalikan masing-masing kotak berisi barang pemberian kita. Namun ada syarat yang ia tawarkan. Kami tidak boleh saling bertemu, apalagi bertatap muka. Yang jelas, kardus ini aku dan dia taruh di kursi taman, dan satu persatu dari kami mengambil kardus masing-masing tanpa bertemu sama sekali. Benci kuakui, idenya memang cemerlang.
Sore itu. Sesuai perjanjian, di taman kota. Aku bersembunyi di belakang pohon sambil menerawang jauh ke kursi taman. Masih kosong. Aku pun berlari ke arah kursi itu sambil membawa kota penuh barang pembawa kebencian ini. Kutaruh di kursi taman lalu kembali bersembunyi di belakang pohon. Kulayangkan sms ke Sabrina, melaporkan aku telah menaruhnya di tempat yang sudah menjadi kesepatakan. Sabrina membalas pesanku, ia mengatakan dia segera menaruh kardus punyanya juga. Aku tidak berani berbalik ke arah kursi taman. Aku hanya bersandari di pohon seraya menunggu aba-aba smsnya.
“Udah!” Smsnya singkat. Perlahan aku berbalik dan mengintip dari sisi pohon. Tak ada lagi siapa-siapa di sana. Hanya ada satu kardus... Tunggu dulu, kardus itu tak asing. Aku pun berjalan mendekatinya. Mataku terbelalak. Ini kan kardusku lagi? Mana Sabrina? Jangan-jangan dia cuma mau mengerjaiku saja. Dia tidak datang rupanya. Sial! Aku ditipu!
Kubuka kardus milikku dan ternyata... Ada secarik kertas yang terbaring di atasnya.
“Hei, gue nggak bisa balikin barang pemberian lo. Boleh kan gue simpen semua barang-barang dari lo? Lo juga simpen aja barang-barang dari gue. Gue minta maaf kalau selama ini suka buat kamu sebel dan kecewa. Gue nggak mau lepasin barang-barang dari lo. Gue mau simpen. Biar gue nggak lupa, kalau lo pernah ada di hati gue.” Spontan air mataku menetes tanpa kuduga.

Valley The Holy Maiden (Part 3)


“Valley! Valley! Bangun!” seruan itu masih terdengar sayup. Namun ketika tubuhku diguncang paksa, kesadaran datang dengan cepat.
“Leya?” tanyaku masih duduk di tempat tidur.
“Bangun, Valley. Apa maksudmu memberitahu ayahku tentang yang kita lakukan kemarin? Kau sengaja kan biar aku kena marah?” terjang langsung Leya membuatku tak percaya, setega itu dia menuduhku.
“Leya, ayahmu yang tahu sendiri. Aku sama sekali tak memberitahunya.” suaraku masih lemas.
“Tapi kenapa kamu tidak bilang saja, kalau kita tidak melakukannya.”
“Aku...”
“Kenapa? Kau kehabisan kata-kata lagi kan? Kau tega, Valley. Ayahku tak berhenti memberi pidato yang membuatku muak.”
Aku terdiam, tak mampu melawan. Tubuhku masih lemas untuk bergerak lepas.
“Apa susahnya untuk berbohong satu kali saja.” Leya beranjak dari kamarku dengan gerutuan yang masih terdengar sampai di luar kamar.
Aku menumpu jidat sambil menggeleng pelan. Kepalaku tiba-tiba terasa pusing. Semalam mendapat teguran dari Leerkon, walaupun secara halus. Sekarang, hujatan tanpa filter membangunkan paksa diriku.
Kubasuh wajahku dengan air yang berasal dari keran kristal di sana, di kamar mandi yang tak terlihat seperti kamar mandi. Mataku masih berwarna oranye terang. Rambutku sedikit basah terkena basuhanku sendiri. Pikiranku masih melayang-lalang memikirkan tindakanku kemarin. Melanggar kepercayaan Dirvas untuk tidak membawa orang lain masuk ke dalam ruang rahasia.
Aku menghadap cermin dan menatap mataku sendiri. Aku harus bagaimana? Leerkon juga mulai ragu padaku. Walaupun dia tak mengatakannya, tapi dengan diambilnya kunci itu dari tanganku, semuanya menjadi jelas. Leerkon sudah tak terlalu mempercayaiku lagi.
Baiklah, aku akan menghampiri Leerkon saat ini juga. Hari memang sudah pagi tapi mentari belum nampak. Hanya cahaya putih bening memasuki jendela. Kurapikan sedikit gaun sutra biru muda yang kukenakan, lalu keluar kamar menghampiri Leerkon.
Kamarku dan Leya berdekatan. Ketika melintasi kamarnya, kamarnya tertutup rapat dan tak ada suara apapun yang terdengar dari dalam. Aku terus berjalan menuju kamar Leerkon yang berada di lantai tepat di bawah kamar Dirvas. Karena tak mau lama-lama, aku memakai sihir menuju kamar Leerkon dengan sangat cepat.
Koridor dan tangga demi tangga terlihat hanya sekilas kulintasi. Meskipun dalam laju yang tak lambat, aku masih bisa melihat suasana dalam istana masih sangat sepi. Dan, tibalah aku di depan pintu kamar Leerkon.
Aku sempat menoleh ke tangga yang ada di samping kananku. Tangga itu berhubungan langsung dengan ruangan pribadi Dirvas. Kuhembuskan napas panjang, dan berusaha mengatur volume suara.
“Leerkon,” panggilku sambil mengetuk pintu. Jumlah ketukanku lebih banyak dibanding panggilanku padanya. “Leerkon,” panggilku tapi Leerkon yang menjawab.
“Tuan Leerkon sedang ada di ruang kerjanya, Valley.” seorang pelayan istana berbaju kemeja putih yang tertutup rompi coklat melintas di belakangku. Aku sedikit terkejut.
“Oh Leerkon ada di ruangannya. Baiklah, terima kasih, Uno,” jawabku sambil memamerkan senyum. Uno yang salah satu pelayan istana ternyata naik menuju ruangan Dirvas. Setelah dia menghilang dari balik tembok, secepat mungkin aku berlari dan turun ke ruang kerja pribadi Leerkon. Tepat di sekitar pintu ruang bawah tanah.


Dua sisi pintu lebar terbuka. Aku melihat Leerkon dengan baju kuning gading yang menutupi seluruh tubuhnya. Dia duduk di kursi besar di belakang meja kotak yang berjajar beberapa buku. Leerkon menerawang keberandaanku yang masih berdiri di depan pintu. Sontak kulihat lehernya dengan tatapan elang, ia memakai kunci ruang rahasia. Aku melangkah pelan, tak secepat tadi lagi menghampiri Leerkon.
“Ada apa, Valley?” Leerkon berdiri dari kursinya.
Beberapa langkah lagi aku sampai tepat di depannya. “Leerkon, aku ingin meminta satu hal. Tolong dengarkan,” pintaku lembut
“Silahkan, Gadis Suci.”
“Leerkon, tolong. Izinkan aku untuk memegang kembali kuncit itu.” aku menujuk tengah dada Leerkon dari jauh. “Aku janji tidak akan lagi membawa siapapun masuk ke dalam sana.” tiba-tiba suaraku sedikit parau.
Leerkon mengembungkan dada lalu mengempiskannya. Dia menunduk lalu memandangku tajam. “Apa kau yakin bisa memegang kata-katamu sendiri, Valley?”
“Aku janji, Leerkon. Aku janji. Julukan Gadis Suci akan kupertanggung jawabkan dengan tindakanku sendiri,” jawabku tegas. Leerkon memandangku cukup lama dengan tatapan sayunya. “Mestinya kau tak usah memarahi Leya, Leerkon. Dia hanya meminta, sedangkan aku yang mengabulkannya,” sambungku di tengah diam kami berdua.
“Apa maksudmu? Memarahi Leya? Aku hanya menasehati dia. Itupun dengan kalimat yang halus dan tak berkesan menegur.”
“Tapi tadi Leya...” ucapanku terhenti. Aku berpikir, apa gunanya aku memberitahu Leerkon terhadap sikap Leya tadi padaku. Tidak ada gunanya, hanya memperburuk keadaan saja.
“Jangan pikirkan tentang Leya, Valley. Memang sifatnya seperti itu. Ini, ambillah kembali. Aku percaya dengan janjimu barusan," kata Leerkon membuatku haru. Kalung dengan liontin kunci itu dipakaikan lagi di leherku. Dengan senyum sumringah kami berdua, aku diizinkan kembali untuk menjaga kunci ruang rahasia.


Kini saatnya aku menemui Leya di kamarnya. Meluruskan semuanya. Aku sedikit tidak terima Leya mengejutkanku dengan makian tak mengenakkan.
“Leya,” panggilku seraya membuka pintu. Sontak Leya  bergerak cepat seperti menyembunyikan sesuatu di belakangnya. “Apa yang kau sembunyikan?” tanyaku curiga.
“Apa urusanmu? Hei, kau sangat tidak sopan masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu dulu.” Leya melawan.
“Leya? Ini aku Valley. Sejak kapan kau marah ketika aku masuk ke kamarmu?” aku terkejut melihat reaksi Leya.
“Sejak saat ini.” Leya memajukan dagunya, “Apa yang kau mau dariku?”
“Leya? Kenapa cara berbicaramu terdengar tak sopan? Maaf kalau aku menganggumu. Aku ke mari untuk mengatakan kalau ayahmu sama sekali tidak marah padamu. Kau tenang saja.”
“Cuma itu kan? Baiklah, silahkan keluar dari Kamarku,” ketus Leya.
“Leya?”
“Kenapa?”
Sejenak aku memandangnya kecewa, lalu berlari cepat meninggalkan kamarnya. Kenapa Leya semakin tak beretika padaku? Apa dia masih sakit hati Leerkon tahu tentang dia yang masuk di ruang rahasia.
****
Dibantu beberapa koki istana, aku membuat sebuah eksperimen di sini. Eksperimen berbahan tepung terigu dan di sulap menjadi kue manis yang sangat legit. Aku, Viola, dan Ladyna yang membuatnya. Cupcake berbagai warna. Cantik sekali. Aku taruh di sebuah baki aluminium lebar. Dan tada! Aku siap membagikannya di seluruh penjuru istana. Masing-masing dari kami memegang satu baki. Dengan antusias yang tak tertahan lagi, kami pun berpencar menyebarkan kemanisan cupcake ini.
Senyumku semakin lama semakin lebar, melewati koridor istana dengan penuh ceria. Seorang pelayan yang membawa rak penuh alat pembersih pun kubiarkan memilih satu cupcake. Kulanjutkan perjalanan menuju lantai bawah. Di sana ada Leerkon. Kukejutkan dia yang sedang berkonstrasi membaca buku. Lagi dan lagi, kubagikan cupcake manis ini padanya.
Nah, tiba saatnya aku keluar istana. Halaman depan yang luas dan sinar mentari yang tak menyengat. Beberapa pelayan sepertinya telah mengetahui apa yang aku bawa. Mereka semua berjalan cepat menghampiriku sambil berbondong-bondong memilih cupcake.
Aku pun ikut menikmati satu cupcake karena mendapat suapan dari Orlando, salah satu pelayan juga. Tawa kami pun menggelegar seantero istana. Walaupun hanya satu cupcake yang mereka cicipi, ekpresi sangat puas terpampang nyata di wajah mereka.
Kesenangan kami tiba-tiba rontok saat sebuah guntur menggelegar di tengah cuaca cerah siang ini.
Aku menengadah ke atas langit. Awan hitam hanya mengelebat di atas istana. Gunturpun tak mau kalah ikut memicu kepanikan. Aku merasakan sebuah kekuatan sihir yang dahsyat, dan berasal dari.... Secepatnya aku berlari menuju kamar Leya. Orlando dan Benedict yang juga pelayan istana mengikutiku dari belakang.
Kekuatan sihir apa ini? Jantungku langsung berdebar kencang dan bulu kudukku menari tak karuan. Aku terhenti di ujung koridor ketika melihat Leerkon telah berdiri di depan pintu kamar Leya.
“Leerkon,” panggilku seraya berjalan cepat yang diikuti oleh Orlando dan Benedict.
“Kau juga merasakannya?” Leerkon menyambutku.
“Tentu saja. Energinya sungguh dahsyat. Aku mulai takut terjadi apa-apa dengan Leya.”
“Izinkan kami berdua,” kata Orlando bersiap mendobrak pintu bersama Benedict. Mereka menghempas bahu masing-masing beberapa kali. Suara gaduh pun tak dapat dihindari. Aku mulai khawatir kalau Dirvas merasa terganggu dengan hal ini. Dirvas?
“Leerkon, bila kita merasakan energi itu, Dirvas juga bisa merasakannya bukan?” ujarku cepat.
“Benar, mungkin Dirvas sebentar lagi akan...” ucapan Leerkon terhenti, “Menuju ke mari,” desahnya melihat Dirvas yang melesat berlari dan telah muncul di belakang kami.
“Yang mulia,” tuturku sedikit menunduk. Orlando dan Benedict menghentikan dobrakannya dan mengganti pose sama sepertiku.
“Izinkan aku.” Dirvas berdiri Di depan pintu. Tanpa tersentuh dan tanpa didobrak sedikit pun, pintu kamar Leya tiba-tiba terbuka. Aku sedikit terperangah melihat keahliannya. Dirvas mengambil langkah lebih dulu menyentuh isi kamar Leya. Setelah itu, barulah kami mengikutinya dari belakang.
Dirvas tampak tenang sambil menerawang seisi kamar Leya. Sedangkan aku hanya bisa dikelilingi kebingungan. Leya ternyata sedang terlelap di tempat tidurnya. Menutupi dirinya dengan selimut yang cuma menampakkan kepalanya. Dirvas melanjutkan langkahnya mengelilingi kamar Leya. Leerkon sigap mengguncang tubuh Leya. Menyuruhnya bangun dan berhenti membuat ayahnya malu.
“Biarkan dia istirahat, Leerkon.” Dirvas bersuara sambil menatap jendela di depannya. “Baru kali ini Leya tidur siang. Pasti dia sangat kelelahan,” sambungnya masih membelakangi kami.
Aku mengangguk melihat Leerkon. Leya hanya merubah posisi tidurnya tanpa terbangun sama sekali. Aku semakin tak tahu apa yang terjadi. Dari mana asal energi besar itu? Di kamar Leya tak Ada apapun yang mencurigakan. Energi itu juga telah hilang dan tak terasa lagi. Awan hitam menakutkan di luar sana juga telah tersapu oleh angin cerah. Semuanya baik-baik saja.
“Maafkan kami telah menganggumu, Yang Mulia.” Leerkon menunduk ketika Dirvas mulai berjalan keluar kamar.
Tawa Dirvas melesak pelan. Senyumnya terukir di wajah tampannya. “Kau tak perlu meminta maaf, Leerkon. Aku senang tak terjadi apa-apa di sini,” balas Dirvas seketika berlari meninggalkan kami. Secepat kilat Dirvas berpindah dari satu tempat ke tempat sebelumnya ia berada.
****
Aku berdiam diri di beranda halaman belakang istana. Menikmati angin senja yang sedang memainkan gaunku. Tawa kecil di ujung sana mulai terdengar, berasal dari beberapa pelayan yang asyik bercengkrama. Aku menoleh ke belakang dan menghadap ke jendela kamar Dirvas. Jendela hitam yang tak terlihat area dalamnya. Walaupun dengan tatapan elang, aku tak dapat menembus jendela itu.
Mataku menerawang jauh di depan. Jauh di belakang istana ada sebuah hutan yang dihuni beberapa penduduk Larza. Penglihatan elangku seakan tak terbatas bila tak ada penghalang benda padat. Aku bisa menangkap burung pipit kuning yang terbang pelan di penglihatanku. Tupai yang berlari kencang mencari makanan. Dan, beberapa rumah penduduk yang terbuat dari kayu.
Tak lama kemudian, di tengah tatapan elangku, aku melihat seorang pria yang menatapku tajam. Karena terkejut dengan tatapan seramnya, kupatahkan tatapan elangku dan kembali seperti semula. Siapa itu tadi? Aku yakin dia seorang pria tapi wujudnya sulit kuingat lagi. Hanya sedetik aku melihatnya. Kucoba mengaktifkan lagi pandangan jauhku. Pria itu sudah menghilang. Aku menoleh ke sisi yang lain, pria yang tadi menangkapku sedang menatapnya tak terlihat lagi.
“Valley,” panggil seseorang dari sisi kiriku.
“Leya?” aku sedikit tak percaya dia Leya, sedang berdiri di luar beranda sambil menatapku sayu. “Kau mau kemana Leya?” tanyaku melihat pakaiannya tak seperti biasa. Apalagi tongkat sihir dan pedang bajanya ikut serta ia bawa.
“Aku ingin ke suatu tempat, Valley. Hanya untuk menenangkan diri,” ujarnya lembut kemudian duduk di sampingku. Leya memakai gaun yang sama seperti persta Dirvas waktu itu.
“Menenangkan diri? Ke mana? Aku ikut,” sambungku.
“Tidak usah, Valley. Kau mengerti kan arti menenangkan diri? Aku menemuimu hanya ingin meminta maaf. Maaf aku telah menuduhmu macam-macam. Aku telah memarahimu tanpa tahu sebab yang jelas.”
“Aku...”
“Aku tahu kau tidak mempermasalahkannya tapi menurutku, aku sudah sangat keterlaluan. Maafkan aku, Valley,” Leya memelukku sejenak lalu melepaskannya.
Hatiku terasa lebih tenang dari sebelumnya. Sangat jarang Leya memelukku dan mengatakan kata maaf, “Berapa lama kau pergi, Leya?” tanyaku
“Tidak lama, mungkin cuma beberapa hari. Oh iya, kalau ayah menanyai keberadaanku, bilang saja yang tadi aku katakan. Pergi ke suatu tempat untuk menenangkan diri.”
“Kau tidak memberitahu ayahmu?” aku melotot, “Katakan kau mau ke mana, Leya. Jadi kami semua tidak khawatir.”
“Valley, kalau ayahku tahu, dia tidak akan mau mengizinkanku pergi. Tenang saja, aku tahu jalan pulang. Kau tahu sendiri kan aku Pembelah Angin? Jadi aku bisa melindungi diriku sendiri. Lagipula aku hanya berkeliling Larza. Tempat yang paling aman di Lemuira.” Leya membela diri dan membuatku bungkam tak bisa lagi melarangnya.
Sebenarnya berat melepas Leya sendirian. Tapi biarlah, mungkin Leya memang sangat butuh ketenangan. “Jaga dirimu, Valley. Cepat kembali,” desahku.
Leya bangkit dengan ulasan senyum tipisnya. Angin menyambarku seiring laju lari Leya meninggalkan istana. Aku masih memandangnya berlari di padang rumput luas di depanku. Dan tak lama, dia menghilang di balik pepohonan di tengah hutan.  

Valley The Holy Maiden (Part 2)


Sebuah meja coklat berbentuk persegi panjang. Tepat di ujung meja ini, Dirvas sedang duduk di kursi paling spesial dan memiliki sandaran kursi yang lebih tinggi dari kursi lain. Aku duduk di samping Leya, dan di depan Leerkon. Ayah Leya terlihat sangat teratur dengan baju kuning gading yang menutupi seluruh tubuhnya. Rambut abu-abu panjangnya terurai tipis. Senyumnya pun tak pernah luput dari pandangan.
Beberapa petinggi istana ikut bergabung bersama kami. Mereka duduk di kursi yang lebih dekat dengan Dirvas. Semua peserta sarapan telah siap. Pakaian santai namun tetap rapi pun dikenakan. Gaun sutra putih kukenakan saat ini. Rambut kuning gadingku kukuncir agar tak mengenai serba-serbi makanan di hadapanku. Leya terlihat sangat gelisah. Ia tak tenang duduk di kursinya. Beberapa kali menggeser posisi duduk sehingga membuat perhatian semua orang teralih padanya. Leerkon sesekali berdehem sambil menatap Leya. Namun Leya tak memperdulikan.
“Gaun ini terlalu panjang untukku, Valley. Boleh kah aku mengganti gaun yang lebih pendek lagi?” Leya berniat membisikku namun suaranya terlalu nyaring untuk sebuah bisikan.
Aku memasang senyum kecut ketika Dirvas dan petinggi istana melihat kami. Leerkon pun hanya bisa tertunduk, mungkin menahan malu.
“Pakai saja dulu. Setelah sarapan ini, kau bebas memakai pakaian yang kau mau.” aku balas membisik. Leya menghela napas dengan kencangnya.
Tak lama kemudian, sebuah lonceng yang berbunyi. Pertanda bahwa kita semua telah diizinkan untuk santap pagi. Di sebuah ruangan luas dengan jendela kaca kristal yang berwarna biru muda. Cahaya mentari menyelinap masuk dan menembusnya. Sehingga cahaya kebiruan nan lembut menemani sarapan hangat kami saat ini. Lampu yang menggantung di seluruh ruangan menambah pencahayaan. Sehingga mata kantuk yang tak ingin hilang seketika membuka lebar. Lantai berwarna kuning keemasan menambah kemegahan istana Dirvas. Lihat di sana, Dirvas dengan sumringahnya makan dan berbincang ringan dengan petinggi istana. Aku tak pernah bosan menatap wajahnya. Dirvas, rajaku yang bijaksana.
****
Jajaran bunga berbagai jenis dan warna terpampang jelas di depan mata. Entah mengapa senyumku tak berhenti terulas ketika menyirami bunga-bunga ini. Kehidupan mereka seakan terasa hingga di dalam dada. Halaman belakang istana menjadi tempatku mengisi hari sebelum matahari berubah terik.
Suara tebasan dan benturan pedang terdengar jelas dari belakang. Itu Leya dan seorang pelayan istana. Aku sempat menoleh melihat kelincahan Leya melawan seorang pasukan yang terlihat lebih kekar darinya. Walaupun Leya memakai gaun hingga atas lututnya, ia sedikitpun tak membiarkan dirinya terkalahkan oleh lawan latihannya kali ini. Itu kebiasaan dia tiap hari, melatih kemampuan bertarungnya.
“Baiklah, latihan selesai. Kita seri. Nanti kutantang kau lagi,” ujar Leya terlihat kewalahan. Pelayan berwajah polos itu membungkukkan badan lalu pamit menjauh dari Leya.
“Kau lelah?” tanyaku juga telah selesai menyiram bunga.
“Tidak,” jawabnya masih mengatur napas.
Aku tertawa kecil, “Ayo kita duduk di sana,” kataku seraya berjalan bersama Leya menuju beranda belakang istana.
Istana Larza tak memiliki benteng atau pagar tinggi pembatas dunia luar. Larza adalah kerajaan yang aman dan tentram. Kami tak perlu repot membangun dinding tebal untuk melindungi kami dari dunia luar.
Beranda dengan atap berbentuk setengah bola. Kursi merah lembut yang memanjang kami duduki bersama, sambil menatap luasnya halaman belakang tanpa penghalang apapun. Aku berbalik ketika mendengar suara obrolan. Mereka beberapa pelayan istana. Salah satunya yang tadi melawan Leya.
“Valley,”
“Ya,”
“Aku mau bertanya, kenapa bisa kamu yang terpilih sebagai Gadis Suci? Apa bedanya aku dengan kamu?”
Aku kembali tertawa kecil mendengar tanya Leya. Kunci di leherku kugenggam sambil kuusap pelan, “Entahlah, Leya. Mungkin ini hanya kebetulan Dirvas memilihku.”
“Aku semakin yakin Dirvas sama sekali tak menyukaiku.”
“Leya,”
“Kenapa? Buktinya dia tak mengangkatku menjadi apa-apa di istana. Apa aku harus terus berlindung di ketiak ayahku sebagai pendeta tertinggi?”
“Leya, kau lupa julukan apa yang diberikan Dirvas untukmu? Kau pembelah angin!”
“Ya, memang. Tapi julukanku itu masih membuatku merasa tak puas. Aku ingin sepertimu. Menjaga sebuah ruangan yang cuma kau, ayahku, dan Dirvas yang tahu. Entah apa isi di dalamnya sehingga Dirvas begitu pelit memberitahunya.”
“Aku kan sudah bilang, Leya. Ruangan itu hanya berisi pusaka penting istana.”
Leya terdiam seperti memikirkan sesuatu, “Valley, aku mau masuk ke dalam ruangan itu,” pintanya serius.
“Apa? Kau serius, Leya?”
“Aku bukan lagi serius! Aku sudah sangat penasaran menahan hasrat untuk melihat isi di dalamnya!”
“Leya, kau tahu kan Dirvas tak akan...”
“Valley, tolong. Sekali saja. Izinkan keinginanku yang satu ini kau penuhi,” potong Leya memakai nada lembut.
Aku menatap mata Leya. Aku melihat keinginan besar dari dalam dirinya. Namun aku takut kalau Dirvas tak mengizinkan.
“Aku tak bisa, Leya.”
“Valley, kau tega melihatku seperti ini? Aku tak pernah mendapat apa yang aku mau. Dirvas tak berhenti menegur sesuatu yang sebenarnya kuniatkan baik.”
Aku dibuat bingung olehnya, “Tapi cuma melihat kan? Tidak lebih?” tanyaku memastikan.
“Aku janji. Setelah melihat sejenak, kita langsung keluar.”
Masih ada resah yang terasa namun mungkin dengan melakukan ini, hati Leya bisa sedikit lebih senang, “Baiklah.”
****
Pintu ruang bawah tanah terletak di bagian dalam istana. Tepatnya di lantai dasar tentunya. Perasaanku campur aduk, antara resah dan gelisah. Aku takut bila Dirvas tahu aku membawa Leya masuk ke dalam sana.
Koridor kosong kami lewati. Koridor yang berujung pada sebuah ruang lapang yang telah terpampang jelas. Ruangan dengan dinding melingkar. Tak ada apapun di sini. Hanya jendela hampa dan lantai putih tanpa corak.
Kugunakan sihir pikiran untuk membuka pintu bawah tanah. Lantai putih di bawahku seketika berubah transparan. Tangga yang melengkung ke bawah mulai terlihat. Itu artinya pintu ruang bawah tanah telah terbuka.
“Baiklah, Leya, waktu kita kurang lebih hanya lima menit. Aku khawatir Dirvas akan memergoki kita bila terlalu lama di bawa sana,” jelasku masih khawatir. Aku mau melakukan ini semua hanya untuk mewujudkan keinginan terbesar Leya.
“Aku mengerti,” jawab Leya seraya menuruni tangga terlebih dahulu. Sebelum kuikuti langkahnya, sempat aku memutar pandangan. Semoga saja sihir Dirvas tidak mendeteksi ruang bawa tanah sedang aktif. Kuberi sihir pelindung di sekitar sini, walaupun tak berlangsung lama. Kamar Dirvas yang berada di puncak istana tak dapat menembus sihir pelindungku ini, mungkin.
Leya terlihat sangat bersemangat. Dia menuruni tangga dengan cepat, tanpa menungguku terlebih dahulu.
“Leya, tunggu sebentar,” kataku ketika Leya telah sampai di dasar tangga. Leya terhenti. Matanya membelalak karena heran.
“Apa ini?”  Leya sedikit terperangah memandang puluhan pintu yang berjajar di depannya. Wajar reaksinya seperti itu. Baru kali ini Leya menginjakkan kaki di ruang bawah tanah.
“Tenang, Leya. Ini salah satu kunci menuju ruang rahasia itu. Semua pintu ini adalah ilusi. Butuh sihir khusus untuk menghilangkannya,” jelasku ikut berdiri di hadapan pintu-pintu ini.
“Apa sihirnya?”
“Cuma Dirvas, Leerkon, dan aku yang tahu,” desahku seraya menutup mata. Beberapa detik kemudian, kubuka mata, dan semua pintu yang berjajar ini mulai terlihat transparan. Semakin transparan lalu menghilang seketika. Di depanku dan Leya terlihat sebuah pintu berbentuk lingkaran. Pintu yang terbuat dari baja dan emas yang sangat kuat.
“Itu.. Itu pintu ruang rahasianya?” Leya terkesima.
“Ya, ayo kita masuk segera,” sahutku berjalan cepat menghampiri pintu itu.
Kunci hitam di leherku, aku pakai di sini. Kumasukkan di lubang yang tak terlalu besar, lalu mendiamkannya.
“Sekarang apa?” Leya kebingungan.
Aku tak menjawab tanyanya. Mataku fokus pada sihir untuk membuka pintu. Tak lama kemudian, kunci itu berputar sangat kencang, entah beberapa kali. Dan, seketika perlahan pintu emas ini terbuka dengan sendirinya.
“Kita sampai,” gumamku.
“Wow,” desah Leya masuk ke ruang rahasia bersamaku. Ada banyak benda-benda langka di sini. Sebuah ruangan gelap. Lampu hanya menerangi masing-masing dari pusaka tersebut. Ruangan yang juga berbentuk lingkaran yang disebut ruang rahasia.
“Aku tak percaya ada kumpulan benda luar biasa seperti ini di istana. Hei, apa itu?” Leya menghampiri sebuah pedang kembar yang berdiri menyilang, tepat di titik tengah ruangan.
“Jangan sentuh apapun, Leya. Itu pedang kebanggaan Dirvas. Pedang yang jauh lebih hebat dari pedangmu. Pedang perak metalik yang bukan hanya kuat dengan tebasannya, namun kekuatan sihir yang ada di dalamnnya sangat dahsyat ibarat tak bisa dibayangkan dengan akal sehat,” lanjutku.
“Dirvas memang sungguh luar biasa. Tunggu dulu, batu apa itu?” Leya berlari ke sebuah batu yang tak jauh dari pedang kembar Dirvas.
“Leya!” cegahku sebelum Leya menyentuhnya. “Jangan terlalu dekat denga batu tengkorak hitam itu. Pergi dari sana,” larangku kembali berjalan menuju sisi ruangan lain. “Batu itu berisi seorang penyihir hitam yang dikurung oleh bangsa Etna. Bangsa Etna mempercayai Larza untuk menjaga dan menyimpan batu itu. Oh iya, Leya kau harus melihat yang satu ini.” aku berbalik, tak ada Leya di belakangku. “Leya?” Aku melihatnya berlari menghampiriku. Dari mana dia? Sepertinya tengkorak hitam tadi sangat menarik buatnya. “Ingat Leya, jangan sentuh apapun, apalagi mengambilnya.”
“Iya, tenang saja,” sahutnya santai.
“Baik. Oh iya, kau harus melihat ini.” aku menunjuk sebuah bunga biru kecil yang berdiri di atas sebuah vas. “Ini adalah.... Oh tidak,”
“Kenapa, Valley?”
“Ada yang mendekat ke pintu ruang bawah tanah. Ayo segera kita naik ke atas. Jangan sampai ada yang tahu kalau pintu di atas kita sedang terbuka.”
Leya mengangguk setuju. “Baik.”
Dengan kemampuan sihir, kami melesat pergi dari sini. Pintu rahasia, otomatis tertutup kembali bila Dirvas, aku ataupun Leerkon beranjak dari sana. Puluhan pintu ilusi pun ikut aktif kembali. Sekejap mata, kami berhasil naik ke permukaan. Pelindungku juga mulai melemah. Hentakan kaki di ujung koridor mulai terdengar jelas.
“Cepat tutup pintunya, Valley.”
“Sedang kucoba.” aku mengumpulkan fokus sambil memejamkan mata.
“Kau berhasil, Valley. Lantainya kembali normal,” ujar Leya.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” Leerkon muncul dan mengagetkan kami. Pose pura-pura santai pun kami tampilkan.
“Tidak, Ayah. Kami hanya berkeliling istana. Valley cuma ingin menghiburku. Apa itu salah, Yah?” Leya menjawab sambil meraih lengan ayahnya. Kami pun beranjak dari sana dengan perasaan resah meskipun telah berujung lega.
****
“Valley, kemarilah,” panggil Leerkon ketika aku tengah berjalan menuju kamar. Dia berdiri di ujung koridor, menungguku dengan tatapan sedikit tajam. Apa yang Leerkon ingin bicarakan di jam tidur seperti ini?
“Ada apa Leerkon?” tanyaku mulai khawatir.
Leerkon membawaku ke sudut yang lebih sepi. Di sebuah ruang luas yang penuh rak buku yang menutupi dinding. Leerkon menatap sekeliling memastikan keadaan aman.
“Apa yang kau lakukan bersama Leya tadi?” tanyanya membuatku terkejut. Aku tidak menyangka Leerkon ternyata masih menyimpan tanyanya hingga saat ini. “Jawab aku, Valley,” bisik lagi Leerkon saat aku diam karena gagap.
“Tolong jangan beritahu Dirvas, aku membawa Leya masuk ke ruang rahasia itu.”
“Apa? Apa yang ada dipikiranmu, Valley?”
“Aku hanya ingin membuat Leya senang. Kasihan dia selalu merasa terkucilkan dengan larangan istana.”
“Tapi bukan itu caranya, Valley. Kalau Dirvas tahu, mungkin gelar Gadis Sucimu akan dicabut.”
“Tidak.”
“Jujur, aku sama sekali tidak merasakan pintu ruang bawah tanah terbuka. Tapi aku merasakan kau menggunakan sihir yang terasa hingga ke tempatku berada, Valley.”
“Oh tidak. Apa Dirvas juga merasakannya?”
“Menurutmu kalau aku sudah bisa merasakannya, Dirvas ikut merasakannya juga?”
Aku menelan ludah. “Apa yang harus aku lakukan, Leerkon?”
“Bersiaplah untuk menghadap ke Dirvas bila ia memanggilmu.”
“Tidak, Leerkon.” aku menggeleng
“Aku tak akan pernah mengadukanmu. Berharaplah kebijaksanaan Dirvas masih ada. Sehingga dia tak memperdulikan apa yang tadi pagi terjadi.”
“Leerkon,”
“Istirahatlah. Yang penting semuanya baik-baik saja kan? Ada ratusan benda pusaka di dalam ruangan itu. Kita berdua diberi amanah untuk menjaganya.”
“Aku sangat mengerti, Leerkon.” aku tertunduk lesuh.
“Baiklah, silahkan pergi. Maaf telah menganggu waktu istirahatmu.”
Aku mengulas senyum tipis dan pergi menuju kamar kembali. “Tunggu, Valley,” cegah Leerkon. Langkahku terhenti. “Bolehkah kunci yang di lehermu biar aku yang pegang?” pinta Leerkon lembut, namun seketika membuat kukecewa bukan main. Leerkon mengambil alih kunci ruang rahasia ini karena tindakanku tadi pagi.
“Tenang, Valley. Kunci ini hanya berpindah tangan. Aku bukannya tak percaya lagi padamu. Suatu saat kunci ini pasti kupercayakan lagi di tanganmu, asal kau meningkatkan lagi kekuatan hatimu.”
“Leerkon, maafkan aku.”
“Sst, istirahatlah,” potong Leerkon mengusap pundakku.
Dengan langkah berat aku meninggalkan Leerkon dengan penyesalan yang cukup tinggi. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku sungguh menyesal. Ibarat aku tak memegang pesan penting buatku. Bujukan Leya mungkin seperti ujian. Tapi aku begitu saja kalah karena tak sampai hati melihat Leya kecewa lagi.
Sekarang apa yang mesti kulakukan? Leerkon memang bilang ia tetap percaya padaku. Tapi aku yakin, dengan diambilnya kunci itu dari leherku, setitik hati Leerkon berbisik aku akan melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya. Memang benar apa yang Leerkon katakan. Aku harus memantapkan kekuatan hatiku.