Sebuah
meja coklat berbentuk persegi panjang. Tepat di ujung meja ini, Dirvas sedang
duduk di kursi paling spesial dan memiliki sandaran kursi yang lebih tinggi
dari kursi lain. Aku duduk di samping Leya, dan di depan Leerkon. Ayah Leya
terlihat sangat teratur dengan baju kuning gading yang menutupi seluruh
tubuhnya. Rambut abu-abu panjangnya terurai tipis. Senyumnya pun tak pernah
luput dari pandangan.
Beberapa
petinggi istana ikut bergabung bersama kami. Mereka duduk di kursi yang lebih
dekat dengan Dirvas. Semua peserta sarapan telah siap. Pakaian santai namun
tetap rapi pun dikenakan. Gaun sutra putih kukenakan saat ini. Rambut kuning
gadingku kukuncir agar tak mengenai serba-serbi makanan di hadapanku. Leya
terlihat sangat gelisah. Ia tak tenang duduk di kursinya. Beberapa kali
menggeser posisi duduk sehingga membuat perhatian semua orang teralih padanya. Leerkon
sesekali berdehem sambil menatap Leya. Namun Leya tak memperdulikan.
“Gaun
ini terlalu panjang untukku, Valley. Boleh kah aku mengganti gaun yang lebih
pendek lagi?” Leya berniat membisikku namun suaranya terlalu nyaring untuk
sebuah bisikan.
Aku
memasang senyum kecut ketika Dirvas dan petinggi istana melihat kami. Leerkon
pun hanya bisa tertunduk, mungkin menahan malu.
“Pakai
saja dulu. Setelah sarapan ini, kau bebas memakai pakaian yang kau mau.” aku
balas membisik. Leya menghela napas dengan kencangnya.
Tak
lama kemudian, sebuah lonceng yang berbunyi. Pertanda bahwa kita semua telah
diizinkan untuk santap pagi. Di sebuah ruangan luas dengan jendela kaca kristal
yang berwarna biru muda. Cahaya mentari menyelinap masuk dan menembusnya.
Sehingga cahaya kebiruan nan lembut menemani sarapan hangat kami saat ini.
Lampu yang menggantung di seluruh ruangan menambah pencahayaan. Sehingga mata
kantuk yang tak ingin hilang seketika membuka lebar. Lantai berwarna kuning
keemasan menambah kemegahan istana Dirvas. Lihat di sana, Dirvas dengan
sumringahnya makan dan berbincang ringan dengan petinggi istana. Aku tak pernah
bosan menatap wajahnya. Dirvas, rajaku yang bijaksana.
****
Jajaran
bunga berbagai jenis dan warna terpampang jelas di depan mata. Entah mengapa
senyumku tak berhenti terulas ketika menyirami bunga-bunga ini. Kehidupan
mereka seakan terasa hingga di dalam dada. Halaman belakang istana menjadi tempatku
mengisi hari sebelum matahari berubah terik.
Suara
tebasan dan benturan pedang terdengar jelas dari belakang. Itu Leya dan seorang
pelayan istana. Aku sempat menoleh melihat kelincahan Leya melawan seorang
pasukan yang terlihat lebih kekar darinya. Walaupun Leya memakai gaun hingga
atas lututnya, ia sedikitpun tak membiarkan dirinya terkalahkan oleh lawan
latihannya kali ini. Itu kebiasaan dia tiap hari, melatih kemampuan
bertarungnya.
“Baiklah,
latihan selesai. Kita seri. Nanti kutantang kau lagi,” ujar Leya terlihat
kewalahan. Pelayan berwajah polos itu membungkukkan badan lalu pamit menjauh
dari Leya.
“Kau
lelah?” tanyaku juga telah selesai menyiram bunga.
“Tidak,”
jawabnya masih mengatur napas.
Aku
tertawa kecil, “Ayo kita duduk di sana,” kataku seraya berjalan bersama Leya
menuju beranda belakang istana.
Istana
Larza tak memiliki benteng atau pagar tinggi pembatas dunia luar. Larza adalah
kerajaan yang aman dan tentram. Kami tak perlu repot membangun dinding tebal
untuk melindungi kami dari dunia luar.
Beranda
dengan atap berbentuk setengah bola. Kursi merah lembut yang memanjang kami
duduki bersama, sambil menatap luasnya halaman belakang tanpa penghalang
apapun. Aku berbalik ketika mendengar suara obrolan. Mereka beberapa pelayan
istana. Salah satunya yang tadi melawan Leya.
“Valley,”
“Ya,”
“Aku
mau bertanya, kenapa bisa kamu yang terpilih sebagai Gadis Suci? Apa bedanya
aku dengan kamu?”
Aku
kembali tertawa kecil mendengar tanya Leya. Kunci di leherku kugenggam sambil
kuusap pelan, “Entahlah, Leya. Mungkin ini hanya kebetulan Dirvas memilihku.”
“Aku
semakin yakin Dirvas sama sekali tak menyukaiku.”
“Leya,”
“Kenapa?
Buktinya dia tak mengangkatku menjadi apa-apa di istana. Apa aku harus terus
berlindung di ketiak ayahku sebagai pendeta tertinggi?”
“Leya,
kau lupa julukan apa yang diberikan Dirvas untukmu? Kau pembelah angin!”
“Ya,
memang. Tapi julukanku itu masih membuatku merasa tak puas. Aku ingin sepertimu.
Menjaga sebuah ruangan yang cuma kau, ayahku, dan Dirvas yang tahu. Entah apa
isi di dalamnya sehingga Dirvas begitu pelit memberitahunya.”
“Aku
kan sudah bilang, Leya. Ruangan itu hanya berisi pusaka penting istana.”
Leya
terdiam seperti memikirkan sesuatu, “Valley, aku mau masuk ke dalam ruangan
itu,” pintanya serius.
“Apa?
Kau serius, Leya?”
“Aku
bukan lagi serius! Aku sudah sangat penasaran menahan hasrat untuk melihat isi
di dalamnya!”
“Leya,
kau tahu kan Dirvas tak akan...”
“Valley,
tolong. Sekali saja. Izinkan keinginanku yang satu ini kau penuhi,” potong Leya
memakai nada lembut.
Aku
menatap mata Leya. Aku melihat keinginan besar dari dalam dirinya. Namun aku
takut kalau Dirvas tak mengizinkan.
“Aku
tak bisa, Leya.”
“Valley,
kau tega melihatku seperti ini? Aku tak pernah mendapat apa yang aku mau. Dirvas
tak berhenti menegur sesuatu yang sebenarnya kuniatkan baik.”
Aku
dibuat bingung olehnya, “Tapi cuma melihat kan? Tidak lebih?” tanyaku
memastikan.
“Aku
janji. Setelah melihat sejenak, kita langsung keluar.”
Masih
ada resah yang terasa namun mungkin dengan melakukan ini, hati Leya bisa
sedikit lebih senang, “Baiklah.”
****
Pintu
ruang bawah tanah terletak di bagian dalam istana. Tepatnya di lantai dasar
tentunya. Perasaanku campur aduk, antara resah dan gelisah. Aku takut bila
Dirvas tahu aku membawa Leya masuk ke dalam sana.
Koridor
kosong kami lewati. Koridor yang berujung pada sebuah ruang lapang yang telah
terpampang jelas. Ruangan dengan dinding melingkar. Tak ada apapun di sini.
Hanya jendela hampa dan lantai putih tanpa corak.
Kugunakan
sihir pikiran untuk membuka pintu bawah tanah. Lantai putih di bawahku seketika
berubah transparan. Tangga yang melengkung ke bawah mulai terlihat. Itu artinya
pintu ruang bawah tanah telah terbuka.
“Baiklah,
Leya, waktu kita kurang lebih hanya lima menit. Aku khawatir Dirvas akan
memergoki kita bila terlalu lama di bawa sana,” jelasku masih khawatir. Aku mau
melakukan ini semua hanya untuk mewujudkan keinginan terbesar Leya.
“Aku
mengerti,” jawab Leya seraya menuruni tangga terlebih dahulu. Sebelum kuikuti
langkahnya, sempat aku memutar pandangan. Semoga saja sihir Dirvas tidak
mendeteksi ruang bawa tanah sedang aktif. Kuberi sihir pelindung di sekitar
sini, walaupun tak berlangsung lama. Kamar Dirvas yang berada di puncak istana tak
dapat menembus sihir pelindungku ini, mungkin.
Leya
terlihat sangat bersemangat. Dia menuruni tangga dengan cepat, tanpa menungguku
terlebih dahulu.
“Leya,
tunggu sebentar,” kataku ketika Leya telah sampai di dasar tangga. Leya
terhenti. Matanya membelalak karena heran.
“Apa
ini?” Leya sedikit terperangah memandang
puluhan pintu yang berjajar di depannya. Wajar reaksinya seperti itu. Baru kali
ini Leya menginjakkan kaki di ruang bawah tanah.
“Tenang,
Leya. Ini salah satu kunci menuju ruang rahasia itu. Semua pintu ini adalah
ilusi. Butuh sihir khusus untuk menghilangkannya,” jelasku ikut berdiri di
hadapan pintu-pintu ini.
“Apa
sihirnya?”
“Cuma
Dirvas, Leerkon, dan aku yang tahu,” desahku seraya menutup mata. Beberapa
detik kemudian, kubuka mata, dan semua pintu yang berjajar ini mulai terlihat
transparan. Semakin transparan lalu menghilang seketika. Di depanku dan Leya
terlihat sebuah pintu berbentuk lingkaran. Pintu yang terbuat dari baja dan
emas yang sangat kuat.
“Itu..
Itu pintu ruang rahasianya?” Leya terkesima.
“Ya,
ayo kita masuk segera,” sahutku berjalan cepat menghampiri pintu itu.
Kunci
hitam di leherku, aku pakai di sini. Kumasukkan di lubang yang tak terlalu
besar, lalu mendiamkannya.
“Sekarang
apa?” Leya kebingungan.
Aku
tak menjawab tanyanya. Mataku fokus pada sihir untuk membuka pintu. Tak lama
kemudian, kunci itu berputar sangat kencang, entah beberapa kali. Dan, seketika
perlahan pintu emas ini terbuka dengan sendirinya.
“Kita
sampai,” gumamku.
“Wow,”
desah Leya masuk ke ruang rahasia bersamaku. Ada banyak benda-benda langka di
sini. Sebuah ruangan gelap. Lampu hanya menerangi masing-masing dari pusaka tersebut.
Ruangan yang juga berbentuk lingkaran yang disebut ruang rahasia.
“Aku
tak percaya ada kumpulan benda luar biasa seperti ini di istana. Hei, apa itu?”
Leya menghampiri sebuah pedang kembar yang berdiri menyilang, tepat di titik
tengah ruangan.
“Jangan
sentuh apapun, Leya. Itu pedang kebanggaan Dirvas. Pedang yang jauh lebih hebat
dari pedangmu. Pedang perak metalik yang bukan hanya kuat dengan tebasannya,
namun kekuatan sihir yang ada di dalamnnya sangat dahsyat ibarat tak bisa
dibayangkan dengan akal sehat,” lanjutku.
“Dirvas
memang sungguh luar biasa. Tunggu dulu, batu apa itu?” Leya berlari ke sebuah batu
yang tak jauh dari pedang kembar Dirvas.
“Leya!”
cegahku sebelum Leya menyentuhnya. “Jangan terlalu dekat denga batu tengkorak
hitam itu. Pergi dari sana,” larangku kembali berjalan menuju sisi ruangan
lain. “Batu itu berisi seorang penyihir hitam yang dikurung oleh bangsa Etna.
Bangsa Etna mempercayai Larza untuk menjaga dan menyimpan batu itu. Oh iya,
Leya kau harus melihat yang satu ini.” aku berbalik, tak ada Leya di
belakangku. “Leya?” Aku melihatnya berlari menghampiriku. Dari mana dia?
Sepertinya tengkorak hitam tadi sangat menarik buatnya. “Ingat Leya, jangan
sentuh apapun, apalagi mengambilnya.”
“Iya,
tenang saja,” sahutnya santai.
“Baik.
Oh iya, kau harus melihat ini.” aku menunjuk sebuah bunga biru kecil yang
berdiri di atas sebuah vas. “Ini adalah.... Oh tidak,”
“Kenapa,
Valley?”
“Ada
yang mendekat ke pintu ruang bawah tanah. Ayo segera kita naik ke atas. Jangan
sampai ada yang tahu kalau pintu di atas kita sedang terbuka.”
Leya
mengangguk setuju. “Baik.”
Dengan
kemampuan sihir, kami melesat pergi dari sini. Pintu rahasia, otomatis tertutup
kembali bila Dirvas, aku ataupun Leerkon beranjak dari sana. Puluhan pintu
ilusi pun ikut aktif kembali. Sekejap mata, kami berhasil naik ke permukaan.
Pelindungku juga mulai melemah. Hentakan kaki di ujung koridor mulai terdengar
jelas.
“Cepat
tutup pintunya, Valley.”
“Sedang
kucoba.” aku mengumpulkan fokus sambil memejamkan mata.
“Kau
berhasil, Valley. Lantainya kembali normal,” ujar Leya.
“Apa
yang kalian lakukan di sini?” Leerkon muncul dan mengagetkan kami. Pose
pura-pura santai pun kami tampilkan.
“Tidak,
Ayah. Kami hanya berkeliling istana. Valley cuma ingin menghiburku. Apa itu
salah, Yah?” Leya menjawab sambil meraih lengan ayahnya. Kami pun beranjak dari
sana dengan perasaan resah meskipun telah berujung lega.
****
“Valley,
kemarilah,” panggil Leerkon ketika aku tengah berjalan menuju kamar. Dia
berdiri di ujung koridor, menungguku dengan tatapan sedikit tajam. Apa yang Leerkon
ingin bicarakan di jam tidur seperti ini?
“Ada
apa Leerkon?” tanyaku mulai khawatir.
Leerkon
membawaku ke sudut yang lebih sepi. Di sebuah ruang luas yang penuh rak buku
yang menutupi dinding. Leerkon menatap sekeliling memastikan keadaan aman.
“Apa
yang kau lakukan bersama Leya tadi?” tanyanya membuatku terkejut. Aku tidak
menyangka Leerkon ternyata masih menyimpan tanyanya hingga saat ini. “Jawab
aku, Valley,” bisik lagi Leerkon saat aku diam karena gagap.
“Tolong
jangan beritahu Dirvas, aku membawa Leya masuk ke ruang rahasia itu.”
“Apa?
Apa yang ada dipikiranmu, Valley?”
“Aku
hanya ingin membuat Leya senang. Kasihan dia selalu merasa terkucilkan dengan
larangan istana.”
“Tapi
bukan itu caranya, Valley. Kalau Dirvas tahu, mungkin gelar Gadis Sucimu akan
dicabut.”
“Tidak.”
“Jujur,
aku sama sekali tidak merasakan pintu ruang bawah tanah terbuka. Tapi aku
merasakan kau menggunakan sihir yang terasa hingga ke tempatku berada, Valley.”
“Oh
tidak. Apa Dirvas juga merasakannya?”
“Menurutmu
kalau aku sudah bisa merasakannya, Dirvas ikut merasakannya juga?”
Aku
menelan ludah. “Apa yang harus aku lakukan, Leerkon?”
“Bersiaplah
untuk menghadap ke Dirvas bila ia memanggilmu.”
“Tidak,
Leerkon.” aku menggeleng
“Aku
tak akan pernah mengadukanmu. Berharaplah kebijaksanaan Dirvas masih ada.
Sehingga dia tak memperdulikan apa yang tadi pagi terjadi.”
“Leerkon,”
“Istirahatlah.
Yang penting semuanya baik-baik saja kan? Ada ratusan benda pusaka di dalam
ruangan itu. Kita berdua diberi amanah untuk menjaganya.”
“Aku
sangat mengerti, Leerkon.” aku tertunduk lesuh.
“Baiklah,
silahkan pergi. Maaf telah menganggu waktu istirahatmu.”
Aku
mengulas senyum tipis dan pergi menuju kamar kembali. “Tunggu, Valley,” cegah Leerkon.
Langkahku terhenti. “Bolehkah kunci yang di lehermu biar aku yang pegang?”
pinta Leerkon lembut, namun seketika membuat kukecewa bukan main. Leerkon
mengambil alih kunci ruang rahasia ini karena tindakanku tadi pagi.
“Tenang,
Valley. Kunci ini hanya berpindah tangan. Aku bukannya tak percaya lagi padamu.
Suatu saat kunci ini pasti kupercayakan lagi di tanganmu, asal kau meningkatkan
lagi kekuatan hatimu.”
“Leerkon,
maafkan aku.”
“Sst,
istirahatlah,” potong Leerkon mengusap pundakku.
Dengan
langkah berat aku meninggalkan Leerkon dengan penyesalan yang cukup tinggi.
Mataku mulai berkaca-kaca. Aku sungguh menyesal. Ibarat aku tak memegang pesan
penting buatku. Bujukan Leya mungkin seperti ujian. Tapi aku begitu saja kalah
karena tak sampai hati melihat Leya kecewa lagi.
Sekarang
apa yang mesti kulakukan? Leerkon memang bilang ia tetap percaya padaku. Tapi
aku yakin, dengan diambilnya kunci itu dari leherku, setitik hati Leerkon
berbisik aku akan melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya. Memang benar apa
yang Leerkon katakan. Aku harus memantapkan kekuatan hatiku.