Sabtu, 22 Juni 2013

Valley The Holy Maiden (Part 2)


Sebuah meja coklat berbentuk persegi panjang. Tepat di ujung meja ini, Dirvas sedang duduk di kursi paling spesial dan memiliki sandaran kursi yang lebih tinggi dari kursi lain. Aku duduk di samping Leya, dan di depan Leerkon. Ayah Leya terlihat sangat teratur dengan baju kuning gading yang menutupi seluruh tubuhnya. Rambut abu-abu panjangnya terurai tipis. Senyumnya pun tak pernah luput dari pandangan.
Beberapa petinggi istana ikut bergabung bersama kami. Mereka duduk di kursi yang lebih dekat dengan Dirvas. Semua peserta sarapan telah siap. Pakaian santai namun tetap rapi pun dikenakan. Gaun sutra putih kukenakan saat ini. Rambut kuning gadingku kukuncir agar tak mengenai serba-serbi makanan di hadapanku. Leya terlihat sangat gelisah. Ia tak tenang duduk di kursinya. Beberapa kali menggeser posisi duduk sehingga membuat perhatian semua orang teralih padanya. Leerkon sesekali berdehem sambil menatap Leya. Namun Leya tak memperdulikan.
“Gaun ini terlalu panjang untukku, Valley. Boleh kah aku mengganti gaun yang lebih pendek lagi?” Leya berniat membisikku namun suaranya terlalu nyaring untuk sebuah bisikan.
Aku memasang senyum kecut ketika Dirvas dan petinggi istana melihat kami. Leerkon pun hanya bisa tertunduk, mungkin menahan malu.
“Pakai saja dulu. Setelah sarapan ini, kau bebas memakai pakaian yang kau mau.” aku balas membisik. Leya menghela napas dengan kencangnya.
Tak lama kemudian, sebuah lonceng yang berbunyi. Pertanda bahwa kita semua telah diizinkan untuk santap pagi. Di sebuah ruangan luas dengan jendela kaca kristal yang berwarna biru muda. Cahaya mentari menyelinap masuk dan menembusnya. Sehingga cahaya kebiruan nan lembut menemani sarapan hangat kami saat ini. Lampu yang menggantung di seluruh ruangan menambah pencahayaan. Sehingga mata kantuk yang tak ingin hilang seketika membuka lebar. Lantai berwarna kuning keemasan menambah kemegahan istana Dirvas. Lihat di sana, Dirvas dengan sumringahnya makan dan berbincang ringan dengan petinggi istana. Aku tak pernah bosan menatap wajahnya. Dirvas, rajaku yang bijaksana.
****
Jajaran bunga berbagai jenis dan warna terpampang jelas di depan mata. Entah mengapa senyumku tak berhenti terulas ketika menyirami bunga-bunga ini. Kehidupan mereka seakan terasa hingga di dalam dada. Halaman belakang istana menjadi tempatku mengisi hari sebelum matahari berubah terik.
Suara tebasan dan benturan pedang terdengar jelas dari belakang. Itu Leya dan seorang pelayan istana. Aku sempat menoleh melihat kelincahan Leya melawan seorang pasukan yang terlihat lebih kekar darinya. Walaupun Leya memakai gaun hingga atas lututnya, ia sedikitpun tak membiarkan dirinya terkalahkan oleh lawan latihannya kali ini. Itu kebiasaan dia tiap hari, melatih kemampuan bertarungnya.
“Baiklah, latihan selesai. Kita seri. Nanti kutantang kau lagi,” ujar Leya terlihat kewalahan. Pelayan berwajah polos itu membungkukkan badan lalu pamit menjauh dari Leya.
“Kau lelah?” tanyaku juga telah selesai menyiram bunga.
“Tidak,” jawabnya masih mengatur napas.
Aku tertawa kecil, “Ayo kita duduk di sana,” kataku seraya berjalan bersama Leya menuju beranda belakang istana.
Istana Larza tak memiliki benteng atau pagar tinggi pembatas dunia luar. Larza adalah kerajaan yang aman dan tentram. Kami tak perlu repot membangun dinding tebal untuk melindungi kami dari dunia luar.
Beranda dengan atap berbentuk setengah bola. Kursi merah lembut yang memanjang kami duduki bersama, sambil menatap luasnya halaman belakang tanpa penghalang apapun. Aku berbalik ketika mendengar suara obrolan. Mereka beberapa pelayan istana. Salah satunya yang tadi melawan Leya.
“Valley,”
“Ya,”
“Aku mau bertanya, kenapa bisa kamu yang terpilih sebagai Gadis Suci? Apa bedanya aku dengan kamu?”
Aku kembali tertawa kecil mendengar tanya Leya. Kunci di leherku kugenggam sambil kuusap pelan, “Entahlah, Leya. Mungkin ini hanya kebetulan Dirvas memilihku.”
“Aku semakin yakin Dirvas sama sekali tak menyukaiku.”
“Leya,”
“Kenapa? Buktinya dia tak mengangkatku menjadi apa-apa di istana. Apa aku harus terus berlindung di ketiak ayahku sebagai pendeta tertinggi?”
“Leya, kau lupa julukan apa yang diberikan Dirvas untukmu? Kau pembelah angin!”
“Ya, memang. Tapi julukanku itu masih membuatku merasa tak puas. Aku ingin sepertimu. Menjaga sebuah ruangan yang cuma kau, ayahku, dan Dirvas yang tahu. Entah apa isi di dalamnya sehingga Dirvas begitu pelit memberitahunya.”
“Aku kan sudah bilang, Leya. Ruangan itu hanya berisi pusaka penting istana.”
Leya terdiam seperti memikirkan sesuatu, “Valley, aku mau masuk ke dalam ruangan itu,” pintanya serius.
“Apa? Kau serius, Leya?”
“Aku bukan lagi serius! Aku sudah sangat penasaran menahan hasrat untuk melihat isi di dalamnya!”
“Leya, kau tahu kan Dirvas tak akan...”
“Valley, tolong. Sekali saja. Izinkan keinginanku yang satu ini kau penuhi,” potong Leya memakai nada lembut.
Aku menatap mata Leya. Aku melihat keinginan besar dari dalam dirinya. Namun aku takut kalau Dirvas tak mengizinkan.
“Aku tak bisa, Leya.”
“Valley, kau tega melihatku seperti ini? Aku tak pernah mendapat apa yang aku mau. Dirvas tak berhenti menegur sesuatu yang sebenarnya kuniatkan baik.”
Aku dibuat bingung olehnya, “Tapi cuma melihat kan? Tidak lebih?” tanyaku memastikan.
“Aku janji. Setelah melihat sejenak, kita langsung keluar.”
Masih ada resah yang terasa namun mungkin dengan melakukan ini, hati Leya bisa sedikit lebih senang, “Baiklah.”
****
Pintu ruang bawah tanah terletak di bagian dalam istana. Tepatnya di lantai dasar tentunya. Perasaanku campur aduk, antara resah dan gelisah. Aku takut bila Dirvas tahu aku membawa Leya masuk ke dalam sana.
Koridor kosong kami lewati. Koridor yang berujung pada sebuah ruang lapang yang telah terpampang jelas. Ruangan dengan dinding melingkar. Tak ada apapun di sini. Hanya jendela hampa dan lantai putih tanpa corak.
Kugunakan sihir pikiran untuk membuka pintu bawah tanah. Lantai putih di bawahku seketika berubah transparan. Tangga yang melengkung ke bawah mulai terlihat. Itu artinya pintu ruang bawah tanah telah terbuka.
“Baiklah, Leya, waktu kita kurang lebih hanya lima menit. Aku khawatir Dirvas akan memergoki kita bila terlalu lama di bawa sana,” jelasku masih khawatir. Aku mau melakukan ini semua hanya untuk mewujudkan keinginan terbesar Leya.
“Aku mengerti,” jawab Leya seraya menuruni tangga terlebih dahulu. Sebelum kuikuti langkahnya, sempat aku memutar pandangan. Semoga saja sihir Dirvas tidak mendeteksi ruang bawa tanah sedang aktif. Kuberi sihir pelindung di sekitar sini, walaupun tak berlangsung lama. Kamar Dirvas yang berada di puncak istana tak dapat menembus sihir pelindungku ini, mungkin.
Leya terlihat sangat bersemangat. Dia menuruni tangga dengan cepat, tanpa menungguku terlebih dahulu.
“Leya, tunggu sebentar,” kataku ketika Leya telah sampai di dasar tangga. Leya terhenti. Matanya membelalak karena heran.
“Apa ini?”  Leya sedikit terperangah memandang puluhan pintu yang berjajar di depannya. Wajar reaksinya seperti itu. Baru kali ini Leya menginjakkan kaki di ruang bawah tanah.
“Tenang, Leya. Ini salah satu kunci menuju ruang rahasia itu. Semua pintu ini adalah ilusi. Butuh sihir khusus untuk menghilangkannya,” jelasku ikut berdiri di hadapan pintu-pintu ini.
“Apa sihirnya?”
“Cuma Dirvas, Leerkon, dan aku yang tahu,” desahku seraya menutup mata. Beberapa detik kemudian, kubuka mata, dan semua pintu yang berjajar ini mulai terlihat transparan. Semakin transparan lalu menghilang seketika. Di depanku dan Leya terlihat sebuah pintu berbentuk lingkaran. Pintu yang terbuat dari baja dan emas yang sangat kuat.
“Itu.. Itu pintu ruang rahasianya?” Leya terkesima.
“Ya, ayo kita masuk segera,” sahutku berjalan cepat menghampiri pintu itu.
Kunci hitam di leherku, aku pakai di sini. Kumasukkan di lubang yang tak terlalu besar, lalu mendiamkannya.
“Sekarang apa?” Leya kebingungan.
Aku tak menjawab tanyanya. Mataku fokus pada sihir untuk membuka pintu. Tak lama kemudian, kunci itu berputar sangat kencang, entah beberapa kali. Dan, seketika perlahan pintu emas ini terbuka dengan sendirinya.
“Kita sampai,” gumamku.
“Wow,” desah Leya masuk ke ruang rahasia bersamaku. Ada banyak benda-benda langka di sini. Sebuah ruangan gelap. Lampu hanya menerangi masing-masing dari pusaka tersebut. Ruangan yang juga berbentuk lingkaran yang disebut ruang rahasia.
“Aku tak percaya ada kumpulan benda luar biasa seperti ini di istana. Hei, apa itu?” Leya menghampiri sebuah pedang kembar yang berdiri menyilang, tepat di titik tengah ruangan.
“Jangan sentuh apapun, Leya. Itu pedang kebanggaan Dirvas. Pedang yang jauh lebih hebat dari pedangmu. Pedang perak metalik yang bukan hanya kuat dengan tebasannya, namun kekuatan sihir yang ada di dalamnnya sangat dahsyat ibarat tak bisa dibayangkan dengan akal sehat,” lanjutku.
“Dirvas memang sungguh luar biasa. Tunggu dulu, batu apa itu?” Leya berlari ke sebuah batu yang tak jauh dari pedang kembar Dirvas.
“Leya!” cegahku sebelum Leya menyentuhnya. “Jangan terlalu dekat denga batu tengkorak hitam itu. Pergi dari sana,” larangku kembali berjalan menuju sisi ruangan lain. “Batu itu berisi seorang penyihir hitam yang dikurung oleh bangsa Etna. Bangsa Etna mempercayai Larza untuk menjaga dan menyimpan batu itu. Oh iya, Leya kau harus melihat yang satu ini.” aku berbalik, tak ada Leya di belakangku. “Leya?” Aku melihatnya berlari menghampiriku. Dari mana dia? Sepertinya tengkorak hitam tadi sangat menarik buatnya. “Ingat Leya, jangan sentuh apapun, apalagi mengambilnya.”
“Iya, tenang saja,” sahutnya santai.
“Baik. Oh iya, kau harus melihat ini.” aku menunjuk sebuah bunga biru kecil yang berdiri di atas sebuah vas. “Ini adalah.... Oh tidak,”
“Kenapa, Valley?”
“Ada yang mendekat ke pintu ruang bawah tanah. Ayo segera kita naik ke atas. Jangan sampai ada yang tahu kalau pintu di atas kita sedang terbuka.”
Leya mengangguk setuju. “Baik.”
Dengan kemampuan sihir, kami melesat pergi dari sini. Pintu rahasia, otomatis tertutup kembali bila Dirvas, aku ataupun Leerkon beranjak dari sana. Puluhan pintu ilusi pun ikut aktif kembali. Sekejap mata, kami berhasil naik ke permukaan. Pelindungku juga mulai melemah. Hentakan kaki di ujung koridor mulai terdengar jelas.
“Cepat tutup pintunya, Valley.”
“Sedang kucoba.” aku mengumpulkan fokus sambil memejamkan mata.
“Kau berhasil, Valley. Lantainya kembali normal,” ujar Leya.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” Leerkon muncul dan mengagetkan kami. Pose pura-pura santai pun kami tampilkan.
“Tidak, Ayah. Kami hanya berkeliling istana. Valley cuma ingin menghiburku. Apa itu salah, Yah?” Leya menjawab sambil meraih lengan ayahnya. Kami pun beranjak dari sana dengan perasaan resah meskipun telah berujung lega.
****
“Valley, kemarilah,” panggil Leerkon ketika aku tengah berjalan menuju kamar. Dia berdiri di ujung koridor, menungguku dengan tatapan sedikit tajam. Apa yang Leerkon ingin bicarakan di jam tidur seperti ini?
“Ada apa Leerkon?” tanyaku mulai khawatir.
Leerkon membawaku ke sudut yang lebih sepi. Di sebuah ruang luas yang penuh rak buku yang menutupi dinding. Leerkon menatap sekeliling memastikan keadaan aman.
“Apa yang kau lakukan bersama Leya tadi?” tanyanya membuatku terkejut. Aku tidak menyangka Leerkon ternyata masih menyimpan tanyanya hingga saat ini. “Jawab aku, Valley,” bisik lagi Leerkon saat aku diam karena gagap.
“Tolong jangan beritahu Dirvas, aku membawa Leya masuk ke ruang rahasia itu.”
“Apa? Apa yang ada dipikiranmu, Valley?”
“Aku hanya ingin membuat Leya senang. Kasihan dia selalu merasa terkucilkan dengan larangan istana.”
“Tapi bukan itu caranya, Valley. Kalau Dirvas tahu, mungkin gelar Gadis Sucimu akan dicabut.”
“Tidak.”
“Jujur, aku sama sekali tidak merasakan pintu ruang bawah tanah terbuka. Tapi aku merasakan kau menggunakan sihir yang terasa hingga ke tempatku berada, Valley.”
“Oh tidak. Apa Dirvas juga merasakannya?”
“Menurutmu kalau aku sudah bisa merasakannya, Dirvas ikut merasakannya juga?”
Aku menelan ludah. “Apa yang harus aku lakukan, Leerkon?”
“Bersiaplah untuk menghadap ke Dirvas bila ia memanggilmu.”
“Tidak, Leerkon.” aku menggeleng
“Aku tak akan pernah mengadukanmu. Berharaplah kebijaksanaan Dirvas masih ada. Sehingga dia tak memperdulikan apa yang tadi pagi terjadi.”
“Leerkon,”
“Istirahatlah. Yang penting semuanya baik-baik saja kan? Ada ratusan benda pusaka di dalam ruangan itu. Kita berdua diberi amanah untuk menjaganya.”
“Aku sangat mengerti, Leerkon.” aku tertunduk lesuh.
“Baiklah, silahkan pergi. Maaf telah menganggu waktu istirahatmu.”
Aku mengulas senyum tipis dan pergi menuju kamar kembali. “Tunggu, Valley,” cegah Leerkon. Langkahku terhenti. “Bolehkah kunci yang di lehermu biar aku yang pegang?” pinta Leerkon lembut, namun seketika membuat kukecewa bukan main. Leerkon mengambil alih kunci ruang rahasia ini karena tindakanku tadi pagi.
“Tenang, Valley. Kunci ini hanya berpindah tangan. Aku bukannya tak percaya lagi padamu. Suatu saat kunci ini pasti kupercayakan lagi di tanganmu, asal kau meningkatkan lagi kekuatan hatimu.”
“Leerkon, maafkan aku.”
“Sst, istirahatlah,” potong Leerkon mengusap pundakku.
Dengan langkah berat aku meninggalkan Leerkon dengan penyesalan yang cukup tinggi. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku sungguh menyesal. Ibarat aku tak memegang pesan penting buatku. Bujukan Leya mungkin seperti ujian. Tapi aku begitu saja kalah karena tak sampai hati melihat Leya kecewa lagi.
Sekarang apa yang mesti kulakukan? Leerkon memang bilang ia tetap percaya padaku. Tapi aku yakin, dengan diambilnya kunci itu dari leherku, setitik hati Leerkon berbisik aku akan melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya. Memang benar apa yang Leerkon katakan. Aku harus memantapkan kekuatan hatiku. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar