Rabu, 22 Januari 2014

Lomba Menulis Surat Cinta Untuk HARDY ZHU (Via Twitter)


Holaaa.... kali ini aku mau bagi-bagi novel lagi. Bagi yang belum baca novel COOKLASS, nah ini kesempatan kalian buat dapat gratis. Hm... sebenarnya lomba ini adalah lomba paling narsis yang pernah aku buat. Menulis surat cinta?? Untukku?
Lomba ini diselenggarakan menyambut ENAM bulan terbitnya novel COOKLASS dan menyambut hari valentine juga ya. Moga setelah diselenggarakannya lomba ini nggak ada yang putus dengan pacarnya karena kepergok ngirim surat cinta ke cowok lain, LOL.
Gimana syaratnya?
-          Lomba ini bekerja sama dengan “Novel 140 Karakter @nove_LL” jadi kalian harus follow akun twitter @nove_LL dan akun twitter Hardy Zhu ya @AmazingHardy
-          Tulis surat cinta yang romantis tapi tidak ALAY ya. Ingat, romantis, tulus, dan tidak berlebihan.
-          Sebelum memposting surat cinta WAJIB me-mention dua teman twittermu ditambah Kalimat Pamungkas untuk dua temen kamu untuk ikut serta.
Contoh: @TemanTwit1 @TemanTwit2 yuk ikutan lomba nulis surat cinta untuk @AmazingHardy berhadiah novel #CooKlass info lomba ada di fav-nya.
-            Tulis surat cinta maksimal 140 karakter ya jangan lupa me-mention @AmazingHardy  dan @Nove_LL juga hastag #To dan #CooKlass
Contoh: #To @AmazingHardy jika pelangi punya delpan warna, mungkin kamu warna ke delapannya @nove_LL #CooKlass

-          Kamu bisa posting lebih dari satu namun sekali posting satu surat cinta, mesti posting lagi kalimat pamungkas untuk mention dua temen kamu ya.

-Tsah!! Lomba ini hanya untuk yang bermental BAJA ya tulis surat cinta.
- Surat cinta HARUS ORISINIL sekalian melatih kemampuan nulis kalian. Terutama genre romance.
Udah ngerti nggak??
Nah sebagai ucapan terima kasih, Hardy kasih DUA novel COOKLASS buat dua surat cinta yang berhasil menggugah Hardy Zhu. Buku pertama diseleksi oleh @AmazingHardy dan buku kedua akan dipilih langsung oleh`@nove_LL
Deadline lomba sampai dengan tanggal 13 Februari 2014 ya.
Pengumuman tepat tanggal 14 FEBRUARI.
Ikutan yaa. Ramein hari lombanya dan Hardy beri novel COOKLASS sebagai kado valentine-ku.
NB: LOMBA INI HANYA UNTUK SERU-SERUAN YA. JANGAN DIANGGAP SERIUS. TAPI NOVEL COOKLASS-NYA SERIUS KOK

SEKILAS TENTANG NOVEL COOKLASS
Judul      : CooKlass 
Penulis   : Hardy Zhu
Harga     : Rp. 34000
Ukuran   : 14x20cm
Terbit     : Juli 2013
Penerbit : PING!!!

Sinopsis:

Di usia yang masih sangat muda, Delia sudah merasakan yang namanya sakit hati. Tepat saat dirinya masih duduk di bangku SMP, kedua orang tuanya bercerai dan kakaknya, Reno, pergi dari rumah. Ia memutuskan untuk tinggal bersama kakeknya karena orang tuanya lepas tangan begitu saja.
Di bangku SMA, meski merasakan kesepian yang teramat dalam, toh ia tetap menjadi siswa yang menonjol, terlebih dalam ekskul memasak atau cooklass. Keahliannya membuat kue-kue dessert mengantarkannya menuju sebuah kompetensi memasak bergengsi. Ia pun selalu mendapat dukungan tiga sahabatnya yang berdarah blasteran, salah satunya Jason.
Tapi tanpa sepengetahuan Delia, seseorang yang selalu memusuhinya berupaya menghentikan langkahnya menjadi seorang juara.



Selasa, 31 Desember 2013

2014 WISH



Berada dalam konflik hati yang kejam. Kebahagiaan yang aku kira telah menghampiriku, terancam berganti dengan rasa yang membuatku tak tenang. Aku bekerja di salah satu bank swasta di Makassar. Baru enam bulan aku bergabung di dunia baruku ini. Dunia yang berkecimpung dengan komputer, uang, dan nasabah.
Profesiku sebagai relationship officer yang sering pulang ketika matahari terbenam, membuatku sibuk dan kurang perhatian. Bahasa kasarnya kurang kasih sayang. Sebenarnya kebahagiaan telah kugenggam saat ini. Kebahagiaan yang berhasil mengisi kekosongan hatiku yang mulai berdebu. Namun semuanya perlahan berubah menjadi sesuatu yang tak kuinginkan. Baiklah, akan kuceritakan siapa aku dan mengapa aku begitu polos mengutarakan derita hatiku.
Sebuah ID card dengan pas foto seorang wanita berambut panjang, serta nama yang bertuliskan Liliana Basri kukenakan. Saatnya beraksi. Setiap hari aku lebih suka memanfaatkan angkutan umum untuk pergi ke tempat kerja. Selain tidak pintar membawa kendaraan sendiri, aku juga belum mampu membeli kendaraan.
Aku ditempatkan di bank swasta pusat, sehingga banyak karyawan-karyawan berkemeja rapih yang kuhadapi. Ruangan kerja sudah diiisi oleh beberapa orang. Setiap kursi juga sudah diduduki karyawan yang siap bekerja.
Entah kenapa sejak dari rumah hatiku terasa ada yang aneh. Aku sedih namun air mataku sangat sulit untuk keluar, semuanya tertahan di dalam dada. Kuperiksa ponselku setelah duduk di kursi tempatku. Senyumku sedikitpun tak terulas. Tidak ada pesan selamat pagi, selamat berakfititas atau apalah dari Agung. Yah, Agunglah orang yang kumaksud sebagai kebahagiaan yang kugenggam.
Aku tidak ingin mengeluh kalau Agung adalah sosok yang cuek dan sepertinya tidak mencintaiku. Aku tidak memerdulikan sikapnya. Yang aku tegaskan adalah, aku menerima ia apa adanya dan hatiku sudah terlanjur ada padanya. Hmm.... satu lagi yang ingin kukatakan tentang Agung. Ada pihak ketika yang tak pernah lepas dari kami berdua. Jarak. Setelah diterima sebagai pegawai negeri sipil, Agung menetap di Yogyakarta. Kami sudah setahun ini menjalani hubungan jarak jauh, dan setahun pula aku menahan rindu. Terus setahun pula aku merasa..... argh! Aku malas mengatakannya! Jujur, aku tidak suka dengan sikap cueknya.
Dia tidak ada di saat aku butuh. Komunikasi kami jarang. Mungkin lebih tepat ia yang jarang merespon pesanku.
“Hayoo!”
“Aa!” aku berteriak kecil. “Hasbi!” aku tertawa sambil menepuk-nepuk pundaknya.
“Masih pagi-pagi sudah melamun. Awas loh rejekinya disambet setan.” Ia berdiri di seberang mejaku. Penampilannya hari ini masih seperti biasanya. Kemeja putih lengan panjang juga dasi garis-garis.
Sekali lagi tawaku melesak. “Siapa juga yang melamun.”
“Terus yang tadi apa namanya kalau bukan melamun? Menghayal?” Hasbi melawan sambil tertawa dan membuat hatiku lega.
“Hasbi gila.” Tawaku tercetus kembali. Ia tersenyum lebar padaku sambil menatap dengan mata hitam dalamnya. Hasbi pergi dan duduk di mejanya yang cukup jauh dari tempatku.
Senyumku terulas lebar. Dan disebabkan oleh orang yang tidak kusangka. Sejenak ia pergi, pikiranku kembali melayang. Hasbi adalah rekan kerjaku yang paling pertama membuatku betah berada di sini. Karakternya yang humoris membuat siapapun akan senang berteman dengannya. Ia juga bisa diajak serius, dewasa, dan pekerja keras. Satu lagi, ia memiliki wajah yang teduh. Alis tebal, rambut yang cukup lebat, bibir tipis, dan sebuah rambut yang tumbuh di bawah bibirnya.
Hasbi benar. Aku menghabiskan sebagian waktu dengan menghayal. Setelah melihat semua kursi telah terisi, aku mulai berkonsentrasi dengan layar komputer di depanku. Waktunya mencari nafkah.
****
Me               : Agung, lagi ngapain? Sibuk ya?
Agung           : Tidak kok. Kenapa?
Me               : Tidak. Cuma mau tanya saja. Bagaimana kerjaanya hari ini? lancar?
Agung           : Iya lancar. Eh bentar ya dilanjutnya. Aku mau makan.
Smsan dengan Agung selalu seperti ini. Dihentikan begitu saja dengan alasan yang tak mungkin aku lawan. Padahal aku ingin berkomunikasi dengannya cukup lama dari biasanya. Apa salahnya kan aku mengharapkan seperti itu? Aku kekasihnya dan dia kekasihku.
Aku merebahkan diri di ranjang kamar. Hanya langit-langit yang aku lihat di depan mata. Perlahan berbagai pikiran menghinggapi kepalaku.
Kenapa aku merasa Agung seperti tidak menyukaiku ya? Aku merasa ia setengah cinta. Tidak sama seperti perasaanku padanya. Tapi kalau ia tidak cinta, kenapa mau menjalani hubungan jarak jauh denganku dan telah berjalan satu tahun? Seandainya Agung itu perhatian dan selalu ada untukku. Paling tidak di setiap pesannya, minimal membuatku tersenyum, atau sekalian tertawa.
Mendadak, wajah lain masuk ke pikiranku. Hasbi. Sudah enam bulan juga aku berinteraksi dengannya. Tak dipungkiri jika di kantor dan ia membuatku tertawa, nyawaku yang awalnya terpecah seperti puzzle, kembali menyatu. Ia sering membuatku tertawa, membuatku bahagia. Apa aku salah jika berharap seandainya Hasbi adalah kekasihku? Ya tuhan, apa yang baru saja aku pikirkan!!
****
Angkutan umum yang kutumpangi berhenti tepat di seberang jalan di depan bank tempatku kerja. Jalanan lebar telah terpajang di depan mata. Kendaraan ikut lalu lalang sangat padat sebab saat ini memang jam sibuk semua orang menuju tempat aktifitas. Sesekali aku berniat menyebrang namun ada kendaraan yang langsung meningkatkan lajunya hingga menciutkan keberanianku melangkah ke tengah jalan.
Satu kali lagi kucoba melambaikan tangan, sepeda motor yang aku kira akan kasihan melihatku, ikut mempercepat laju kendaraannya. Kenapa semua pengendara motor di Indonesia tak pernah iba dan memberi kesempatan untuk penyebrang jalan mendapatkan haknya?
Ini saatnya. Jalan sepi. Aku berlari kecil dengan sepatu berhak sedang. Napasku berhembus lepas. Untunglah pagi ini aku selamat. Tempat kerjaku sudah berada di depan mata. Aku melihat beberapa pengendara sepeda motor memarkirkan motor mereka di area parkir yang telah disediakan. Kuteruskan langkah dengan pijakan yang berbunyi ketukan memasuki area dalam bank.
“Hai, boleh kenalan?” tanya seseorang di belakangku. Aku heran siapa yang begitu kurang kerjaan ingin memperkenalkan diri disaat langkahku sudah terburu-buru seperti ini. aku berbalik dan tawa kecilku menyeruak.
“Hasbi. Aku kira siapa.”
Hasbi cengengesan. Ia membawa helm dan meletakkannya di penitipan helm yang berada setelah pintu masuk. Jaket kulit hitam ia lepas dan memegangnya, lalu berjalan berdampingan denganku.
“Wangi sekali,” pujiku sambil menengadahkan wajahku melihatnya dari samping.
“Jelas. Tidak percuma tiga botol minyak wangi habis.”
“Ada-ada saja kamu.”
Kami kembali bertemu dalam satu suara tawa yang sama.
“Oh iya, untuk acara menyambut tahun baru, katanya akan ada pesta yang diadakan bank kita ya?” aku membangun bahan obrolan.
Dia mengangguk. “Iya. Pasti akan seru. Tahun lalu kita sama-sama menyalakan kembang api. Setiap karyawan memegang kembang api dan mengarahkannya ke angkasa. Sudah tahu kan berapa banyak karyawan di sini. Jadi pikirkan juga akan ada berapa kembang api yang meledak di udara,” jelasnya antusias sambil mempraktekkan gaya meledakkan kembang api ke angkasa.
Pancaran semangat Hasbi tertular padaku. Gaya berceritanya ikut membuatku menjadi pendengar yang tidak bisa beralih ke arah yang lain. Sekali ia membuatku melupakan sepotong luka hati yang kurasakan.
“Kamu belum pernah dapat perayaan tahun baru di bank kita kan?”
“Ini acara tahun baru pertamaku di sini.”
“Aku yakin perayaan tahun baru nanti adalah moment pergantian tahun yang tak pernah kau lupakan. Percayalah,” tambahnya dengan senyum yang sangat aku gemari. Beberapa detik aku menikmati panorama rupa-nya yang menyejukkanku. Perasaan aneh kembali kurasakan. Sepertinya aku mulai nyaman ketika Hasbi menampakkan diri di sekitarku.
****
Jariku mengetik dengan cepat. Mengeksekusi transaksi juga memeriksa kegiatan perbankan selama sebulan ini. Akhir tahun adalah saat dimana kegiatan kerja makin bertambah. Tutup buku dan pengambilan keputusan perusahaan tentang apa terobosan 2014 nanti, salah satunya.
Sesibuk apapun kegiatanku, hati dan pikiran tidak pernah melupakan sosok yang sangat aku butuhkan. Seseorang yang kuharapkan memberiku perhatian lebih dan mendukung aktifitasku. Meskipun dari jauh, aku rasa semuanya lebih dari cukup. Agung, aku membutuhkannya. Seandainya Agung ingin ke Makassar merayakan tahun baru bersamaku. Atau mungkin Agung memberiku sebuah kejutan dengan kehadirannya tiba-tiba di Makassar tepat saat suara terompet 2014 berkumandang. Seketika aku tertawa dalam hati. Justru kalau Agung berubah romantis seperti itu, bukan dia namanya. Agung tidak mungkin melakukan hal itu.
Senyumku terkembang spontan. Ketika ponselku bergetar, nama ‘mine’ tertulis di layar. Ada sms dari Agung. Segera kubuka dengan semangat. Ini kejadian langka ketika ia mengirimkanku pesan duluan.
Agung           : Kamu lagi apa? Baik-baik saja kan? Miss u
Aku girang sendirian namun tidak mengeluarkan suara. Mataku berkaca-kaca. Ini memang bukan yang pertama kali ia mengucapkannya, tapi jika mau dihitung, terbilang sangat jarang. Mood-ku seketika berubah baik, aku yakin bisa melewati hari ini dengan penuh ceria.
Me               : Baru sampai bank, ayy. Iya selalu baik-baik saja. Kamu juga kan?
Aku menunggu balasan smsnya. Sangat lama. Sampai-sampai aku sudah tidak konsentrasi bekerja.
Me               : Kalau begitu jangan lupa istirahat ya. Miss u so much
Itu smsku penutupku padanya. Tidak apalah ia tidak merespon pesanku lagi. Yang penting kata rindu yang langka ia kirimkan menghilangkan khawatir yang selalu menempeliku. Secuek apapun dia, ternyata aku sangat merindukannya.
****
Aku merenggangkan tangan. Memutar-mutar bahu ke depan dan ke belakang. Lelah sekali. Hari ini lembur sampai jam delapan malam. Saatnya pulang dan kembali sayang-sayangan dengan kamar ternyamanku. Kamar sejelek apapun jika kita tidur dalam keadaan sangat lelah, semuanya akan sama nyamannya dengan kamar hotel berbintang lima.
Dengan cepat aku keluar dari bank. Takut angkutan umum di jam begini sudah kurang. Beberapa karyawan yang ikut lembur bersamaku sudah pulang duluan dengan sepeda motornya. Parkiran sudah mulai sepi. Tidak sepadat tadi pagi lagi.
“Lili,” panggil seseorang dari belakang. Itu Hasbi sambil membawa helmnya. Ia juga sudah mau pulang.
“Hai, Hasbi. Sudah mau pulang ya?”
“Iya, kamu naik apa?”
“Biasa. Angkutan umum.” Aku cengengesan.
“Kita sama-sama saja pulangnya.”
“Ah tidak usah. Aku takut bensin kamu habis kalau tiba-tiba aku duduk di atas motormu.”
Dia tertawa. Senyum lebarnya membuatku merasa damai. “Iya sih, aku juga tidak bawa helm lagi. Kalau begitu aku duluan ya. Next time kita pulang bareng.”
Aku membalasnya dengan senyum tipis. Aku akan menunggu waktu itu Hasbi, batinku. Oh tidak! Ada apa dengan dadaku? Jantungku berdegup lebih cepat. sekali lagi ada sensasi nyaman kurasakan. Apakah hatiku sudah mulai terbiasa dengan keberadaan Hasbi?
Jalanan depan bank sudah mulai ikut menyepi. Angkutan umum yang biasa kutumpangi sudah tidak ada yang melintas. Apa malam ini aku bisa pulang?
****
Semalam aku tidak bisa tidur. Padahal aku mengira ketika sampai di rumah, tubuhku langsung terkapar di ranjang dengan pasrahnya. Pikiranku teralihkan pada sesuatu yang lain. Bukan kekhawatiran dan kerinduanku pada Agung. Justru rasa rinduku teralihkan pada seseorang yang selalu bersamaku setiap hari.
Hasbi. Pikiran dan perasaanku seperti terhubung jika mengingat bayang wajahnya. Membayangkan alis tebal, tatapan matanya yang dalam, serta senyum sumringah lucunya, membuat senyumku tak jarang terulas tiba-tiba. Mungkin kali ini aku salah. Benar-benar salah! Aku jatuh cinta pada pria selain Agung. Ini bukan keinginanku. Pikiranku sebenarnya menolak untuk mengikuti perasaanku pada Hasbi. Namun aku tidak bisa melawan perasaanku yang terlalu kuat. Atau mungkin aku yang terlalu lemah untuk mengalahkannya. Jika perasaan sudah mengatakan iya, seluruh anggota tubuh akan mengikutinya. Ternyata seperti itu.
Keinginan hati kecilku pagi ini adalah ingin bertemu dengan Hasbi. Dan memang kami akan bertemu. Tak seperti biasa. Melihat wujudnya saat ini membuatku merasa hidup kembali. Menunggu seseorang yang kau kagumi lalu dirinya melayangkan senyum padamu dari jauh. Maafkan aku Agung, aku menaruh rasa padanya tanpa sepengetahuamu.
“Sudah dapat kabar belum?” tanyanya mendekat ke mejaku. Itu Hasbi.
“Kabar apa?”
“Kabar tentang karyawan yang mengurusi acara pesta pergantian tahun baru nanti.”
“Oh iya? Kau tahu siapa-siapa saja yang terlibat?” tanyaku
“Ya ampun, Lili.” Dia mengelus kepalaku. Tolong lakukan itu sekali lagi, batinku. “Namamu kan masuk. Kamu belum baca daftar nama yang ditempel di pintu masuk?”
“Masa? Ada ya?”
“Iya ada. Makanya jangan sering melamun.” Dia tertawa. Aku bangkit dengan senyum penerimaan telah ditertawakan sambil berjalan menuju pintu masuk ruangan.
Lima laki-laki, dan lima perempuan. Ada namaku dan nama... Sisi, sahabatku, namun dia ditempatkan dicabang. Harapanku sedikit pupus sebab nama yang kuharapkan tidak ada di sana. Deretan nama karyawan laki-laki tidak menampilkan nama Hasbi.
“Bagaimana?” Hasbi datang. Ia berdiri di belakangku. Memang benar, aku terlanjur menyayangi orang yang di belakangku. Aku bisa merasakan perubahan rasaku saat ini. Di dekatnya, aku merasa damai dan.... bahagia.
“Iya ada namaku. Katanya mau rapat besok malam di sini. Di kantor pusat,” sahutku.
“Oh iya? Kebetulan aku lembur. Jadi mungkin bisa ikut nguping bahan pembicaraan rapat.”
“Ada ada saja kamu, Bi.” Aku menepuk pundaknya. Sedetik kami terlihat sangat dekat, namun secepatnya aku menjauh dan kembali ke ruangan sebelum ia tahu, bahwa aku menganggapnya sebagai sosok yang berbeda saat ini.

Pulang kerja. Sekali lagi aku berpapasan pulang dengan Hasbi. Aku berjalan santai keluar dari gedung. Di sana aku melihatnya menyalakan mesin motor.
“Aku duluan ya, Bi,” pamitku.
Dia terdiam sejenak menatapku. Membuatku seketika kaku dan tak tahan memandangnya. “Baiklah. Hati-hati ya di jalan.”
“Iya.” Aku tersenyum sumringah. Mendadak senyumku luntur, rasa sedih itu datang lagi. Motor Hasbi sudah melesat duluan. Meninggalkanku berdiri di tepi jalan. Tak lama, angkot tumpanganku datang. Saatnya pulang.
Selama perjalanan wajahku terus murung. Melihat jalanan keluar jendela sambil diterpa angin senja yang mulai dingin karena malam. Pikiranku melayang. Aku seperti merasa kecolongan, tapi karena apa? Seandainya Hasbi tahu bagaimana besarnya inginku untuk pulang bersamanya. Bibirku terlalu berat untuk bilang iya. Kekhawatiranku juga terlalu besar. Khawatir dia akan tahu, kalau aku menyayanginya.
Hasbi, aku menunggu kata next time itu, selalu
****
Semakin hari kenapa rasa ini semakin besar. Aku selalu takut akan sesuatu. Walaupun aku bisa membagi cinta tulusku pada Agung dan Hasbi. Rasa takut itu juga masih terasa. Tapi entah karena apa.
Semalam sebelum tidur, aku memiliki kebiasaan baru. Menulis diari imajinasi dengan memikirkan dan membayangkan kembali apa yang aku lakukan ketika melihat Hasbi. Bagaimana bahan pembicaraan ringan kami dan terasa sangat berkesan buatku. Serta memvisualisasikan wajahnya, sehingga memicu rasa sayangku. Apa aku harus mengikuti rasa ini lalu membiarkannya tumbuh dan berbuah?
Seminggu lagi menjelang pergantian tahun. Sesuai dengan agenda kantor. Rapat penyusunan acara tahun baru segera di mulai. Di ruang meeting, satu persatu dari sepuluh karyawan yang dipilih dan berasal dari berbagai cabang di seluruh Makassar berkumpul. Aku duduk dan mengambil tempat lebih dahulu. Beberapa ada yang tidak aku kenal wajahnya. Wajar, karena intensitas kami bertemu nyaris tidak ada. Namun sosok gadis di sana berlari kecil dan duduk di sampingku.
“Lili, apa kabar? Sudah lama kita tidak ketemu.” Itu Sisi. dia terlihat sangat antusias, begitu pula denganku. Terakhir kami bertemu sebulan yang lalu itupun secara tidak sengaja di sebuah mall. Lokasi kerja kami yang berjauhan tidak memungkinkan untuk bisa bertemu setiap hari.
“Iya sama. Kamu makin cantik saja sekarang,” sanjungku.
“Kalau aku sudah cantik, kau lebih cantik lagi, Lili. Sejak kuliah kan kau paling banyak ditaksir cowok.”
Kami berdua tertawa ringan. Namun melihat peserta rapat sudah lengkap, kami berdua memasang tampang serius. Ini bukan tempat untuk nge-rumpi.
Rapat di mulai. Meja persegi panjang terdapat di ruangan ini. Lima karyawan duduk di seberang, juga lima karyawan lain duduk sejajar denganku. Aku duduk paling tengah dan samping kananku ada Sisi. Tak lama, seseorang berdiri di ambang pintu. Tersenyum padaku dengan tatapan dalamnya. Itu Hasbi. Apa yang ia lakukan di sini? Oh iya aku baru ingat kalau dia mau nguping apa yang menjadi pembicaraan rapat.
Aku membalas senyumnya namun ia berbicara denganku tanpa suara. Tak jelas kudengar, namun tiba-tiba wanita di sampingku berbicara seperti membisik. Aku sontak berbalik ke arah kiri. Kemudian berbalik lagi ke arah Hasbi. Ternyata Hasbi bukan tersenyum padaku. Melainkan pada wanita ini. Wanita yang seumuran denganku, mungkin. Aku menunduk karena malu, semoga tidak ada yang melihatku, dan semoga Hasbi tidak sempat melihatku yang ikut tersenyum padanya.
Rapat akhirnya benar-benar dimulai. Wanita di samping kiriku berdiri dan beranjak dari kursinya. Ia sangat wangi. Tubuhnya langsing, berkulit putih dan rambut yang diikat. Ia juga memakai kacamata dengan bingkai cukup besar namun terlihat elegan di matanya.
“Sisi, siapa dia?” bisikku ketika melihat wanita itu berdiri di depan kami semua. Seperti siap berbicara.
“Dia itu ketua dari acara tahun baru. Kau tidak kenal ya? Namanya Aya, tunangan pak Hasbi.”
Aku yakin tidak salah dengar. Apa tadi yang Sisi bilang? Pacar pak Hasbi? Iyap! Aku tidak berani lagi melihat wajah Hasbi yang aku tahu dirinya masih berdiri di ambang pintu. Pacar Hasbi. Pacar Hasbi. Pacar Hasbi. Pacar Hasbi. Dua kata itu terus berulang-ulang. Aku langsung tidak fokus mengikuti rapat. Rasa sedih itu terasa kembali. Aku ingin menangis namun tertahan di dalam hati. Sakit sekali. Orang yang sudah terlanjur kusayang ternyata bukan milikku. Dan tidak akan pernah menjadi milikku.
****
Di kamar yang menjadi tempat privasi, aku melampiaskan rasa sedih yang tak kuduga. Apa ini ganjaran buatku? Karena telah mencintai pria selain Agung dan aku diberi balasan dengan pernyataan, aku tidak akan bisa bersama Hasbi. Tunggu dulu, apa yang aku pikirkan? Memang kan aku tidak pernah bisa bersamanya. Meskipun aku mencintainya dan kalau dia juga mencintaiku, Agung mau aku kemanakan? Tapi rasa itu... rasaku... sayangku padanya, terlanjur berbuah dengan sangat cepat.
Aku memeluk bantal dengan mata berkaca-kaca. Kenapa aku harus merasakan semua ini? orang yang cuek padaku, orang yang tidak memerdulikanku, bahkan mungkin tidak menyayangiku, berperan sebagai kekasihku. Sekarang ketika aku bertemu dengan orang yang tepat, dari luar dan dalam membuatku bahagia, tapi sangat tidak mungkin hanya untuk aku menyentuh tangannya. Aku ingin menangis sekencang-kencangnya. Aku ingin merasakan lega ketika air mataku mengalir. Namun deras air mata yang kuharapkan tidak keluar. Malah masih tertahan di dalam dada dan membuatku sangat sakit.
Aku memang belum beruntung untuk menjatuhkan hatimu. Aku terlalu terlambat untuk bertemu denganmu dan terlalu cepat merasakan cinta sebelum aku tahu siapa kamu sebenarnya. Sulit dipungkiri dan memang harus aku akui, ketika bersama Hasbi, aku merasa hidup, bahkan melupakan sikap acuh dari kekasihku yang sebenarnya.
****
Kembali bekerja. Menjalani aktifitas perbankan seperti biasanya. Tapi buatku ada beban baru yang kupikul. Beban perasaan yang tak terbalaskan dan meninggalkan sedih yang masih belum hilang. Aku bertekad untuk melupakan semua tentang Hasbi. Membuangnya dari pikiran dan perasaanku. Melupakan sosoknya. Namun sedetik kemudian usahaku tersebut runtuh seketika. Hasbi telah sampai di kantor dengan sosok yang masih memaksaku memasukkannya di dalam dadaku. Melupakan seseorang yang selalu bertemu denganmu adalah hal yang paling sulit.
Bersikap biasa dan berusaha tidak melibatkan lagi perasaan. Itulah menjadi taktikku saat ini. Hasbi melintas di depan mejaku, namun aku lebih memilih menunduk pura-pura sibuk dengan pekerjaan. Sebiasa mungkin aku harus bersikap biasa denganya. Dan secepatnya perasaanku ini harus hilang!
****
Kembali lembur. Waktu pulang lebih lama dibanding kemarin. Jam sembilan malam! Aku semakin cemas. Sama sekali sopir angkutan umum sudah pulang. Waktu dulu saja aku menunggu hampir 30 menit di pinggir jalan. Tapi mau bagaimana lagi. Cuma itu kendaraanku pulang.
Aku mulai gelisah. Sepuluh menit pertama angkutan umum tetap tidak ada yang melintas.
PIIP!!
 Sebuah klakson mobil berbunyi di belakangku. Aku yang memang berdiri di depan gerbang sedikit menyingkir.
“Lili! Ayo pulang bareng!” itu Hasbi. Ada rasa bahagia dan takut ketika melihat dirinya. Tidak ada alasan lain untuk menolak ajakannya. Tidak usah khawatir untuk tidak memakai helm.
“Tidak apa-apa ya, Hasbi?” aku berdiri di dekat jendela.
“Ya sediakan aja uang 2000 rupiah.”
Sekali lagi dia membuatku tertawa. Kubuka pintu dan duduk di sampingnya. Mobil melesat dengan lambat dan terasa sangat nyaman. Apakah sesuatu yang sangat kau harapkan akan terjadi ketika kau sudah tidak mengharapkannya? Sepertinya itu terjadi padaku. Berada di samping Hasbi sedekat dan selama ini. Hatiku terasa sangat damai. Izinkan aku untuk menikmati kebersamaan dengannya. Iya aku tahu dia tidak akan menjadi milikku, tapi izinkan aku sekali saja, merasakannya.

“Makasi ya, Hasbi. Nanti ongkosnya aku bayar.” Aku turun dari mobil dan sempat melemparkan sedikit candaan.
Hasbi menurunkanku di depan gang rumah. Langkah yang menjauh dari mobilnya membuat hatiku perlahan sendu kembali. Aku berbalik dan mobilnya sudah melesat pergi. Terima kasih Hasbi. Meskipun hanya sebentar aku merasa dekat denganmu, aku sudah sangat bahagia. Kata next time dari Hasbi sudah berhasil ia tebus.
Malam ini, air mataku berhasil mengalir deras.
****
Halaman kantor pusat yang memang luas dipenuhi seluruh karyawan dari berbagai cabang. Beragam makanan sudah siap di dalam. Namun saat ini kami akan menunggu moment pergantian tahun bersama-sama. Kembang api silinder dengan panjang satu meter pun di bagikan. Kerumunan pasukan berkemeja dan blaser memenuhi tempat ini.
Sahabatku Sisi berhasil mendapat dua. Ia memberiku satu. Aku siap meledakkannya di udara. Sembari menunggu karyawan lain mendapat bagian aku menoleh ke segala arah.
“Hei, sudah dapat ya, Li?” dia datang tepat di hadapanku. Itu Hasbi. Bersama Aya di sampingnya. Mereka berdua telah memegang masing-masing kembang api. Aku dan Hasbi bertemu lagi di acara berkesan ini. Tenang saja, selama seminggu ini aku sudah membangun benteng agar perasaanku sudah tidak melewati batas. Kehadirannya di dekatku aku anggap sebagai ujian buatku. Menahan perasaan yang sebenarnya sangat kuat.
“SIAP SEMUANYA?” seorang pria memberi aba-aba. Semua kembang api di hadapkan di udara. Sisi berdiri di samping kananku. Hasbi berdiri di samping kiriku, berdempet dan menyentuh lenganku. Sedangkan Aya berdiri di samping kiri Hasbi.
Kembang api serentak dinyalakan. Beberapa detik kemudian ledakan diudara menggelegar. Kembang apiku dan kembang api Hasbi sama-sama melesat dan menyatu di angkasa.
Izinkan aku sekali lagi menatap wajahnya. hasratku untuk melihatnya mengalahkan Kembang api yang begitu indah. Aku menunduk dan menutup mata. Aku berharap di tahun 2014 ini, perasaanku kepada Hasbi sirna dengan sempurna. Biarkan dia bahagia dengan kekasihnya. Perasaanku kepada Hasbi menghilang diganti dengan sikap Agung kepadaku yang berubah menjadi seperti yang kuinginkan. Benar kata Hasbi tempo hari, pergantian tahun ini tidak akan pernah aku lupakan. Disaat aku merelakan sebuah cinta tulus untuk jalan yang lebih baik.
Aku membuka mata dan kembali menikmati letusan kembang api. Senyumku terulas lebar. Air mataku berlinang setetes.
Itulah harapanku.

SELESAI


Minggu, 11 Agustus 2013

Tatacara ikutan Giveaway Novel CooKlass Via TWITTER


Judul      : CooKlass
Penulis   : Hardy Zhu
Harga     : Rp. 34000
Ukuran   : 14x20cm
Terbit     : Juli 2013
Penerbit : PING!!!

Sinopsis:

Di usia yang masih sangat muda, Delia sudah merasakan yang namanya sakit hati. Tepat saat dirinya masih duduk di bangku SMP, kedua orang tuanya bercerai dan kakaknya, Reno, pergi dari rumah. Ia memutuskan untuk tinggal bersama kakeknya karena orang tuanya lepas tangan begitu saja.
Di bangku SMA, meski merasakan kesepian yang teramat dalam, toh ia tetap menjadi siswa yang menonjol, terlebih dalam ekskul memasak atau cooklass. Keahliannya membuat kue-kue dessert mengantarkannya menuju sebuah kompetensi memasak bergengsi. Ia pun selalu mendapat dukungan tiga sahabatnya yang berdarah blasteran, salah satunya Jason.
Tapi tanpa sepengetahuan Delia, seseorang yang selalu memusuhinya berupaya menghentikan langkahnya menjadi seorang juara.

Hai semua. mau Novel CooKlass gratis? ini ada satu novel CooKlass gratis buat kamu yang sering nge-twit. cara ikutanya gimana? yuk lihat:

  1. Follow akun twitter Hardy Zhu: @AmazingHardy
  2. ganti ava akun twitter kamu dengan sampul novel cooklass selama giveaway berlangsung
  3. Mention teman kamu sebanyak-banyaknya buat ikutan giveaway ini. saat mention teman-teman kamu, jangan lupa mention @AmazingHardy juga ya.
  4. Jawab pertanyaan ini dengan mention @AmazingHardy dan hastag #GACooKlass. Pertanyaannya,"Kenapa kamu pengen baca novel CooKlass"

Pemenang bakal dilihat dari banyaknya mention dan jawaban yang paling menarik
Kalau ada pertanyaan, gimana kalau jawabannya menarik tapi mentionnya dikit? kalau gitu kita kembali ke penilaian awal, dimana kita melihat mention terbanyak. soalnya siapa yang paling banyak mention, berarti paling gigih usahanya kan? dan siapa yang gigih dialah yang menang.

DL sampai tanggal 1 September 2013, pukul 24.00 WIB

ayo buruan ikutan,, ajak teman-teman kamu dan ramaikan Giveaway ini


Hardy Zhu

Sabtu, 22 Juni 2013

Benci Dalam Kardus

"Tulisan ini untuk ikut kompetisi @_PlotPoint: buku Catatan si Anak Magang Film “Cinta Dalam Kardus” yang tayang di bioskop mulai 13 Juni 2013."





Terserah kalian mau percaya atau tidak. Ini ceritaku. Yah, memang ceritaku. Tentang cinta dan benci yang terngiang kembali karena beberapa benda yang ternyata masih aku simpan. Benda-benda yang aku simpan di dalam sebuah kotak kardus persegi panjang. Kalian mau tahu dari mana asal semua benda ini? Dan mengapa benda ini masih ada sampai sekarang? Mari kita mulai.
Namanya Sabrina. Dia yang menjadi pelaku tunggal atas kehadiran benda-benda ini. Dua minggu lalu kami memutuskan untuk mengakhiri jalinan cinta yang kita jalani selama hampir setahun. Selama dua minggu itu aku dan dia benar-benar lost contact. Walaupun nomor ponselnya masih bertengger cantik di kontak ponselku.
Saat itu aku berniat beberes kamar. Tak sengaja kutemukan kotak itu di salah satu sudut kamar. Kubuka dan jreng!! Momen-momen itu kembali teringat. Momen di mana satu persatu Sabrina memberikan barang-barang ini padaku. Awalnya air mataku hampir menetes, namun seketika semuanya berganti menjadi benci mengingat hubungan kami yang gagal karena sifat menyebalkannya. Karena saking bencinya, aku nekat meraih ponsel dan melayangkan sms padanya.
“Lo nggak mau ambil barang-barang pemberian lo di sini? Bikin sumpek kamarku tahu nggak.” Aku tidak memikirkan lagi sehalus atau sekasar apapun aku mengatakan itu padanya. Benciku masih berbekas. Dan untunglah, pesan itu dia balas tanpa harus kutunggu berabad-abad lamanya.
“Untung aja lo sms. Gue hampir aja buang semua barang pemberian lo juga. Oke gue mau balikin.”
Sms-an dadakan itu akhirnya membuahkan hasil. Nanti sore di taman kota, kami janjian untuk mengembalikan masing-masing kotak berisi barang pemberian kita. Namun ada syarat yang ia tawarkan. Kami tidak boleh saling bertemu, apalagi bertatap muka. Yang jelas, kardus ini aku dan dia taruh di kursi taman, dan satu persatu dari kami mengambil kardus masing-masing tanpa bertemu sama sekali. Benci kuakui, idenya memang cemerlang.
Sore itu. Sesuai perjanjian, di taman kota. Aku bersembunyi di belakang pohon sambil menerawang jauh ke kursi taman. Masih kosong. Aku pun berlari ke arah kursi itu sambil membawa kota penuh barang pembawa kebencian ini. Kutaruh di kursi taman lalu kembali bersembunyi di belakang pohon. Kulayangkan sms ke Sabrina, melaporkan aku telah menaruhnya di tempat yang sudah menjadi kesepatakan. Sabrina membalas pesanku, ia mengatakan dia segera menaruh kardus punyanya juga. Aku tidak berani berbalik ke arah kursi taman. Aku hanya bersandari di pohon seraya menunggu aba-aba smsnya.
“Udah!” Smsnya singkat. Perlahan aku berbalik dan mengintip dari sisi pohon. Tak ada lagi siapa-siapa di sana. Hanya ada satu kardus... Tunggu dulu, kardus itu tak asing. Aku pun berjalan mendekatinya. Mataku terbelalak. Ini kan kardusku lagi? Mana Sabrina? Jangan-jangan dia cuma mau mengerjaiku saja. Dia tidak datang rupanya. Sial! Aku ditipu!
Kubuka kardus milikku dan ternyata... Ada secarik kertas yang terbaring di atasnya.
“Hei, gue nggak bisa balikin barang pemberian lo. Boleh kan gue simpen semua barang-barang dari lo? Lo juga simpen aja barang-barang dari gue. Gue minta maaf kalau selama ini suka buat kamu sebel dan kecewa. Gue nggak mau lepasin barang-barang dari lo. Gue mau simpen. Biar gue nggak lupa, kalau lo pernah ada di hati gue.” Spontan air mataku menetes tanpa kuduga.

Valley The Holy Maiden (Part 3)


“Valley! Valley! Bangun!” seruan itu masih terdengar sayup. Namun ketika tubuhku diguncang paksa, kesadaran datang dengan cepat.
“Leya?” tanyaku masih duduk di tempat tidur.
“Bangun, Valley. Apa maksudmu memberitahu ayahku tentang yang kita lakukan kemarin? Kau sengaja kan biar aku kena marah?” terjang langsung Leya membuatku tak percaya, setega itu dia menuduhku.
“Leya, ayahmu yang tahu sendiri. Aku sama sekali tak memberitahunya.” suaraku masih lemas.
“Tapi kenapa kamu tidak bilang saja, kalau kita tidak melakukannya.”
“Aku...”
“Kenapa? Kau kehabisan kata-kata lagi kan? Kau tega, Valley. Ayahku tak berhenti memberi pidato yang membuatku muak.”
Aku terdiam, tak mampu melawan. Tubuhku masih lemas untuk bergerak lepas.
“Apa susahnya untuk berbohong satu kali saja.” Leya beranjak dari kamarku dengan gerutuan yang masih terdengar sampai di luar kamar.
Aku menumpu jidat sambil menggeleng pelan. Kepalaku tiba-tiba terasa pusing. Semalam mendapat teguran dari Leerkon, walaupun secara halus. Sekarang, hujatan tanpa filter membangunkan paksa diriku.
Kubasuh wajahku dengan air yang berasal dari keran kristal di sana, di kamar mandi yang tak terlihat seperti kamar mandi. Mataku masih berwarna oranye terang. Rambutku sedikit basah terkena basuhanku sendiri. Pikiranku masih melayang-lalang memikirkan tindakanku kemarin. Melanggar kepercayaan Dirvas untuk tidak membawa orang lain masuk ke dalam ruang rahasia.
Aku menghadap cermin dan menatap mataku sendiri. Aku harus bagaimana? Leerkon juga mulai ragu padaku. Walaupun dia tak mengatakannya, tapi dengan diambilnya kunci itu dari tanganku, semuanya menjadi jelas. Leerkon sudah tak terlalu mempercayaiku lagi.
Baiklah, aku akan menghampiri Leerkon saat ini juga. Hari memang sudah pagi tapi mentari belum nampak. Hanya cahaya putih bening memasuki jendela. Kurapikan sedikit gaun sutra biru muda yang kukenakan, lalu keluar kamar menghampiri Leerkon.
Kamarku dan Leya berdekatan. Ketika melintasi kamarnya, kamarnya tertutup rapat dan tak ada suara apapun yang terdengar dari dalam. Aku terus berjalan menuju kamar Leerkon yang berada di lantai tepat di bawah kamar Dirvas. Karena tak mau lama-lama, aku memakai sihir menuju kamar Leerkon dengan sangat cepat.
Koridor dan tangga demi tangga terlihat hanya sekilas kulintasi. Meskipun dalam laju yang tak lambat, aku masih bisa melihat suasana dalam istana masih sangat sepi. Dan, tibalah aku di depan pintu kamar Leerkon.
Aku sempat menoleh ke tangga yang ada di samping kananku. Tangga itu berhubungan langsung dengan ruangan pribadi Dirvas. Kuhembuskan napas panjang, dan berusaha mengatur volume suara.
“Leerkon,” panggilku sambil mengetuk pintu. Jumlah ketukanku lebih banyak dibanding panggilanku padanya. “Leerkon,” panggilku tapi Leerkon yang menjawab.
“Tuan Leerkon sedang ada di ruang kerjanya, Valley.” seorang pelayan istana berbaju kemeja putih yang tertutup rompi coklat melintas di belakangku. Aku sedikit terkejut.
“Oh Leerkon ada di ruangannya. Baiklah, terima kasih, Uno,” jawabku sambil memamerkan senyum. Uno yang salah satu pelayan istana ternyata naik menuju ruangan Dirvas. Setelah dia menghilang dari balik tembok, secepat mungkin aku berlari dan turun ke ruang kerja pribadi Leerkon. Tepat di sekitar pintu ruang bawah tanah.


Dua sisi pintu lebar terbuka. Aku melihat Leerkon dengan baju kuning gading yang menutupi seluruh tubuhnya. Dia duduk di kursi besar di belakang meja kotak yang berjajar beberapa buku. Leerkon menerawang keberandaanku yang masih berdiri di depan pintu. Sontak kulihat lehernya dengan tatapan elang, ia memakai kunci ruang rahasia. Aku melangkah pelan, tak secepat tadi lagi menghampiri Leerkon.
“Ada apa, Valley?” Leerkon berdiri dari kursinya.
Beberapa langkah lagi aku sampai tepat di depannya. “Leerkon, aku ingin meminta satu hal. Tolong dengarkan,” pintaku lembut
“Silahkan, Gadis Suci.”
“Leerkon, tolong. Izinkan aku untuk memegang kembali kuncit itu.” aku menujuk tengah dada Leerkon dari jauh. “Aku janji tidak akan lagi membawa siapapun masuk ke dalam sana.” tiba-tiba suaraku sedikit parau.
Leerkon mengembungkan dada lalu mengempiskannya. Dia menunduk lalu memandangku tajam. “Apa kau yakin bisa memegang kata-katamu sendiri, Valley?”
“Aku janji, Leerkon. Aku janji. Julukan Gadis Suci akan kupertanggung jawabkan dengan tindakanku sendiri,” jawabku tegas. Leerkon memandangku cukup lama dengan tatapan sayunya. “Mestinya kau tak usah memarahi Leya, Leerkon. Dia hanya meminta, sedangkan aku yang mengabulkannya,” sambungku di tengah diam kami berdua.
“Apa maksudmu? Memarahi Leya? Aku hanya menasehati dia. Itupun dengan kalimat yang halus dan tak berkesan menegur.”
“Tapi tadi Leya...” ucapanku terhenti. Aku berpikir, apa gunanya aku memberitahu Leerkon terhadap sikap Leya tadi padaku. Tidak ada gunanya, hanya memperburuk keadaan saja.
“Jangan pikirkan tentang Leya, Valley. Memang sifatnya seperti itu. Ini, ambillah kembali. Aku percaya dengan janjimu barusan," kata Leerkon membuatku haru. Kalung dengan liontin kunci itu dipakaikan lagi di leherku. Dengan senyum sumringah kami berdua, aku diizinkan kembali untuk menjaga kunci ruang rahasia.


Kini saatnya aku menemui Leya di kamarnya. Meluruskan semuanya. Aku sedikit tidak terima Leya mengejutkanku dengan makian tak mengenakkan.
“Leya,” panggilku seraya membuka pintu. Sontak Leya  bergerak cepat seperti menyembunyikan sesuatu di belakangnya. “Apa yang kau sembunyikan?” tanyaku curiga.
“Apa urusanmu? Hei, kau sangat tidak sopan masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu dulu.” Leya melawan.
“Leya? Ini aku Valley. Sejak kapan kau marah ketika aku masuk ke kamarmu?” aku terkejut melihat reaksi Leya.
“Sejak saat ini.” Leya memajukan dagunya, “Apa yang kau mau dariku?”
“Leya? Kenapa cara berbicaramu terdengar tak sopan? Maaf kalau aku menganggumu. Aku ke mari untuk mengatakan kalau ayahmu sama sekali tidak marah padamu. Kau tenang saja.”
“Cuma itu kan? Baiklah, silahkan keluar dari Kamarku,” ketus Leya.
“Leya?”
“Kenapa?”
Sejenak aku memandangnya kecewa, lalu berlari cepat meninggalkan kamarnya. Kenapa Leya semakin tak beretika padaku? Apa dia masih sakit hati Leerkon tahu tentang dia yang masuk di ruang rahasia.
****
Dibantu beberapa koki istana, aku membuat sebuah eksperimen di sini. Eksperimen berbahan tepung terigu dan di sulap menjadi kue manis yang sangat legit. Aku, Viola, dan Ladyna yang membuatnya. Cupcake berbagai warna. Cantik sekali. Aku taruh di sebuah baki aluminium lebar. Dan tada! Aku siap membagikannya di seluruh penjuru istana. Masing-masing dari kami memegang satu baki. Dengan antusias yang tak tertahan lagi, kami pun berpencar menyebarkan kemanisan cupcake ini.
Senyumku semakin lama semakin lebar, melewati koridor istana dengan penuh ceria. Seorang pelayan yang membawa rak penuh alat pembersih pun kubiarkan memilih satu cupcake. Kulanjutkan perjalanan menuju lantai bawah. Di sana ada Leerkon. Kukejutkan dia yang sedang berkonstrasi membaca buku. Lagi dan lagi, kubagikan cupcake manis ini padanya.
Nah, tiba saatnya aku keluar istana. Halaman depan yang luas dan sinar mentari yang tak menyengat. Beberapa pelayan sepertinya telah mengetahui apa yang aku bawa. Mereka semua berjalan cepat menghampiriku sambil berbondong-bondong memilih cupcake.
Aku pun ikut menikmati satu cupcake karena mendapat suapan dari Orlando, salah satu pelayan juga. Tawa kami pun menggelegar seantero istana. Walaupun hanya satu cupcake yang mereka cicipi, ekpresi sangat puas terpampang nyata di wajah mereka.
Kesenangan kami tiba-tiba rontok saat sebuah guntur menggelegar di tengah cuaca cerah siang ini.
Aku menengadah ke atas langit. Awan hitam hanya mengelebat di atas istana. Gunturpun tak mau kalah ikut memicu kepanikan. Aku merasakan sebuah kekuatan sihir yang dahsyat, dan berasal dari.... Secepatnya aku berlari menuju kamar Leya. Orlando dan Benedict yang juga pelayan istana mengikutiku dari belakang.
Kekuatan sihir apa ini? Jantungku langsung berdebar kencang dan bulu kudukku menari tak karuan. Aku terhenti di ujung koridor ketika melihat Leerkon telah berdiri di depan pintu kamar Leya.
“Leerkon,” panggilku seraya berjalan cepat yang diikuti oleh Orlando dan Benedict.
“Kau juga merasakannya?” Leerkon menyambutku.
“Tentu saja. Energinya sungguh dahsyat. Aku mulai takut terjadi apa-apa dengan Leya.”
“Izinkan kami berdua,” kata Orlando bersiap mendobrak pintu bersama Benedict. Mereka menghempas bahu masing-masing beberapa kali. Suara gaduh pun tak dapat dihindari. Aku mulai khawatir kalau Dirvas merasa terganggu dengan hal ini. Dirvas?
“Leerkon, bila kita merasakan energi itu, Dirvas juga bisa merasakannya bukan?” ujarku cepat.
“Benar, mungkin Dirvas sebentar lagi akan...” ucapan Leerkon terhenti, “Menuju ke mari,” desahnya melihat Dirvas yang melesat berlari dan telah muncul di belakang kami.
“Yang mulia,” tuturku sedikit menunduk. Orlando dan Benedict menghentikan dobrakannya dan mengganti pose sama sepertiku.
“Izinkan aku.” Dirvas berdiri Di depan pintu. Tanpa tersentuh dan tanpa didobrak sedikit pun, pintu kamar Leya tiba-tiba terbuka. Aku sedikit terperangah melihat keahliannya. Dirvas mengambil langkah lebih dulu menyentuh isi kamar Leya. Setelah itu, barulah kami mengikutinya dari belakang.
Dirvas tampak tenang sambil menerawang seisi kamar Leya. Sedangkan aku hanya bisa dikelilingi kebingungan. Leya ternyata sedang terlelap di tempat tidurnya. Menutupi dirinya dengan selimut yang cuma menampakkan kepalanya. Dirvas melanjutkan langkahnya mengelilingi kamar Leya. Leerkon sigap mengguncang tubuh Leya. Menyuruhnya bangun dan berhenti membuat ayahnya malu.
“Biarkan dia istirahat, Leerkon.” Dirvas bersuara sambil menatap jendela di depannya. “Baru kali ini Leya tidur siang. Pasti dia sangat kelelahan,” sambungnya masih membelakangi kami.
Aku mengangguk melihat Leerkon. Leya hanya merubah posisi tidurnya tanpa terbangun sama sekali. Aku semakin tak tahu apa yang terjadi. Dari mana asal energi besar itu? Di kamar Leya tak Ada apapun yang mencurigakan. Energi itu juga telah hilang dan tak terasa lagi. Awan hitam menakutkan di luar sana juga telah tersapu oleh angin cerah. Semuanya baik-baik saja.
“Maafkan kami telah menganggumu, Yang Mulia.” Leerkon menunduk ketika Dirvas mulai berjalan keluar kamar.
Tawa Dirvas melesak pelan. Senyumnya terukir di wajah tampannya. “Kau tak perlu meminta maaf, Leerkon. Aku senang tak terjadi apa-apa di sini,” balas Dirvas seketika berlari meninggalkan kami. Secepat kilat Dirvas berpindah dari satu tempat ke tempat sebelumnya ia berada.
****
Aku berdiam diri di beranda halaman belakang istana. Menikmati angin senja yang sedang memainkan gaunku. Tawa kecil di ujung sana mulai terdengar, berasal dari beberapa pelayan yang asyik bercengkrama. Aku menoleh ke belakang dan menghadap ke jendela kamar Dirvas. Jendela hitam yang tak terlihat area dalamnya. Walaupun dengan tatapan elang, aku tak dapat menembus jendela itu.
Mataku menerawang jauh di depan. Jauh di belakang istana ada sebuah hutan yang dihuni beberapa penduduk Larza. Penglihatan elangku seakan tak terbatas bila tak ada penghalang benda padat. Aku bisa menangkap burung pipit kuning yang terbang pelan di penglihatanku. Tupai yang berlari kencang mencari makanan. Dan, beberapa rumah penduduk yang terbuat dari kayu.
Tak lama kemudian, di tengah tatapan elangku, aku melihat seorang pria yang menatapku tajam. Karena terkejut dengan tatapan seramnya, kupatahkan tatapan elangku dan kembali seperti semula. Siapa itu tadi? Aku yakin dia seorang pria tapi wujudnya sulit kuingat lagi. Hanya sedetik aku melihatnya. Kucoba mengaktifkan lagi pandangan jauhku. Pria itu sudah menghilang. Aku menoleh ke sisi yang lain, pria yang tadi menangkapku sedang menatapnya tak terlihat lagi.
“Valley,” panggil seseorang dari sisi kiriku.
“Leya?” aku sedikit tak percaya dia Leya, sedang berdiri di luar beranda sambil menatapku sayu. “Kau mau kemana Leya?” tanyaku melihat pakaiannya tak seperti biasa. Apalagi tongkat sihir dan pedang bajanya ikut serta ia bawa.
“Aku ingin ke suatu tempat, Valley. Hanya untuk menenangkan diri,” ujarnya lembut kemudian duduk di sampingku. Leya memakai gaun yang sama seperti persta Dirvas waktu itu.
“Menenangkan diri? Ke mana? Aku ikut,” sambungku.
“Tidak usah, Valley. Kau mengerti kan arti menenangkan diri? Aku menemuimu hanya ingin meminta maaf. Maaf aku telah menuduhmu macam-macam. Aku telah memarahimu tanpa tahu sebab yang jelas.”
“Aku...”
“Aku tahu kau tidak mempermasalahkannya tapi menurutku, aku sudah sangat keterlaluan. Maafkan aku, Valley,” Leya memelukku sejenak lalu melepaskannya.
Hatiku terasa lebih tenang dari sebelumnya. Sangat jarang Leya memelukku dan mengatakan kata maaf, “Berapa lama kau pergi, Leya?” tanyaku
“Tidak lama, mungkin cuma beberapa hari. Oh iya, kalau ayah menanyai keberadaanku, bilang saja yang tadi aku katakan. Pergi ke suatu tempat untuk menenangkan diri.”
“Kau tidak memberitahu ayahmu?” aku melotot, “Katakan kau mau ke mana, Leya. Jadi kami semua tidak khawatir.”
“Valley, kalau ayahku tahu, dia tidak akan mau mengizinkanku pergi. Tenang saja, aku tahu jalan pulang. Kau tahu sendiri kan aku Pembelah Angin? Jadi aku bisa melindungi diriku sendiri. Lagipula aku hanya berkeliling Larza. Tempat yang paling aman di Lemuira.” Leya membela diri dan membuatku bungkam tak bisa lagi melarangnya.
Sebenarnya berat melepas Leya sendirian. Tapi biarlah, mungkin Leya memang sangat butuh ketenangan. “Jaga dirimu, Valley. Cepat kembali,” desahku.
Leya bangkit dengan ulasan senyum tipisnya. Angin menyambarku seiring laju lari Leya meninggalkan istana. Aku masih memandangnya berlari di padang rumput luas di depanku. Dan tak lama, dia menghilang di balik pepohonan di tengah hutan.