Berada dalam konflik hati yang kejam. Kebahagiaan
yang aku kira telah menghampiriku, terancam berganti dengan rasa yang membuatku
tak tenang. Aku bekerja di salah satu bank swasta di Makassar. Baru enam bulan
aku bergabung di dunia baruku ini. Dunia yang berkecimpung dengan komputer,
uang, dan nasabah.
Profesiku sebagai relationship officer
yang sering pulang ketika matahari terbenam, membuatku sibuk dan kurang
perhatian. Bahasa kasarnya kurang kasih sayang. Sebenarnya kebahagiaan telah
kugenggam saat ini. Kebahagiaan yang berhasil mengisi kekosongan hatiku yang
mulai berdebu. Namun semuanya perlahan berubah menjadi sesuatu yang tak
kuinginkan. Baiklah, akan kuceritakan siapa aku dan mengapa aku begitu polos
mengutarakan derita hatiku.
Sebuah ID card dengan pas foto seorang
wanita berambut panjang, serta nama yang bertuliskan Liliana Basri kukenakan.
Saatnya beraksi. Setiap hari aku lebih suka memanfaatkan angkutan umum untuk pergi
ke tempat kerja. Selain tidak pintar membawa kendaraan sendiri, aku juga belum
mampu membeli kendaraan.
Aku ditempatkan di bank swasta pusat,
sehingga banyak karyawan-karyawan berkemeja rapih yang kuhadapi. Ruangan kerja
sudah diiisi oleh beberapa orang. Setiap kursi juga sudah diduduki karyawan
yang siap bekerja.
Entah kenapa sejak dari rumah hatiku
terasa ada yang aneh. Aku sedih namun air mataku sangat sulit untuk keluar,
semuanya tertahan di dalam dada. Kuperiksa ponselku setelah duduk di kursi
tempatku. Senyumku sedikitpun tak terulas. Tidak ada pesan selamat pagi,
selamat berakfititas atau apalah dari Agung. Yah, Agunglah orang yang kumaksud
sebagai kebahagiaan yang kugenggam.
Aku tidak ingin mengeluh kalau Agung
adalah sosok yang cuek dan sepertinya tidak mencintaiku. Aku tidak memerdulikan
sikapnya. Yang aku tegaskan adalah, aku menerima ia apa adanya dan hatiku sudah
terlanjur ada padanya. Hmm.... satu lagi yang ingin kukatakan tentang Agung.
Ada pihak ketika yang tak pernah lepas dari kami berdua. Jarak. Setelah
diterima sebagai pegawai negeri sipil, Agung menetap di Yogyakarta. Kami sudah
setahun ini menjalani hubungan jarak jauh, dan setahun pula aku menahan rindu.
Terus setahun pula aku merasa..... argh! Aku malas mengatakannya! Jujur, aku
tidak suka dengan sikap cueknya.
Dia tidak ada di saat aku butuh.
Komunikasi kami jarang. Mungkin lebih tepat ia yang jarang merespon pesanku.
“Hayoo!”
“Aa!” aku berteriak kecil. “Hasbi!” aku
tertawa sambil menepuk-nepuk pundaknya.
“Masih pagi-pagi sudah melamun. Awas
loh rejekinya disambet setan.” Ia berdiri di seberang mejaku. Penampilannya
hari ini masih seperti biasanya. Kemeja putih lengan panjang juga dasi
garis-garis.
Sekali lagi tawaku melesak. “Siapa juga
yang melamun.”
“Terus yang tadi apa namanya kalau
bukan melamun? Menghayal?” Hasbi melawan sambil tertawa dan membuat hatiku
lega.
“Hasbi gila.” Tawaku tercetus kembali.
Ia tersenyum lebar padaku sambil menatap dengan mata hitam dalamnya. Hasbi
pergi dan duduk di mejanya yang cukup jauh dari tempatku.
Senyumku terulas lebar. Dan disebabkan
oleh orang yang tidak kusangka. Sejenak ia pergi, pikiranku kembali melayang.
Hasbi adalah rekan kerjaku yang paling pertama membuatku betah berada di sini.
Karakternya yang humoris membuat siapapun akan senang berteman dengannya. Ia
juga bisa diajak serius, dewasa, dan pekerja keras. Satu lagi, ia memiliki
wajah yang teduh. Alis tebal, rambut yang cukup lebat, bibir tipis, dan sebuah
rambut yang tumbuh di bawah bibirnya.
Hasbi benar. Aku menghabiskan sebagian
waktu dengan menghayal. Setelah melihat semua kursi telah terisi, aku mulai
berkonsentrasi dengan layar komputer di depanku. Waktunya mencari nafkah.
****
Me : Agung, lagi ngapain? Sibuk ya?
Agung : Tidak kok. Kenapa?
Me : Tidak. Cuma mau tanya saja.
Bagaimana kerjaanya hari ini? lancar?
Agung : Iya lancar. Eh bentar ya
dilanjutnya. Aku mau makan.
Smsan dengan Agung selalu seperti ini.
Dihentikan begitu saja dengan alasan yang tak mungkin aku lawan. Padahal aku
ingin berkomunikasi dengannya cukup lama dari biasanya. Apa salahnya kan aku
mengharapkan seperti itu? Aku kekasihnya dan dia kekasihku.
Aku merebahkan diri di ranjang kamar.
Hanya langit-langit yang aku lihat di depan mata. Perlahan berbagai pikiran
menghinggapi kepalaku.
Kenapa aku merasa Agung seperti tidak
menyukaiku ya? Aku merasa ia setengah cinta. Tidak sama seperti perasaanku
padanya. Tapi kalau ia tidak cinta, kenapa mau menjalani hubungan jarak jauh
denganku dan telah berjalan satu tahun? Seandainya Agung itu perhatian dan
selalu ada untukku. Paling tidak di setiap pesannya, minimal membuatku
tersenyum, atau sekalian tertawa.
Mendadak, wajah lain masuk ke
pikiranku. Hasbi. Sudah enam bulan juga aku berinteraksi dengannya. Tak
dipungkiri jika di kantor dan ia membuatku tertawa, nyawaku yang awalnya
terpecah seperti puzzle, kembali menyatu. Ia sering membuatku tertawa,
membuatku bahagia. Apa aku salah jika berharap seandainya Hasbi adalah
kekasihku? Ya tuhan, apa yang baru saja aku pikirkan!!
****
Angkutan umum yang kutumpangi berhenti
tepat di seberang jalan di depan bank tempatku kerja. Jalanan lebar telah
terpajang di depan mata. Kendaraan ikut lalu lalang sangat padat sebab saat ini
memang jam sibuk semua orang menuju tempat aktifitas. Sesekali aku berniat
menyebrang namun ada kendaraan yang langsung meningkatkan lajunya hingga
menciutkan keberanianku melangkah ke tengah jalan.
Satu kali lagi kucoba melambaikan
tangan, sepeda motor yang aku kira akan kasihan melihatku, ikut mempercepat
laju kendaraannya. Kenapa semua pengendara motor di Indonesia tak pernah iba
dan memberi kesempatan untuk penyebrang jalan mendapatkan haknya?
Ini saatnya. Jalan sepi. Aku berlari
kecil dengan sepatu berhak sedang. Napasku berhembus lepas. Untunglah pagi ini
aku selamat. Tempat kerjaku sudah berada di depan mata. Aku melihat beberapa
pengendara sepeda motor memarkirkan motor mereka di area parkir yang telah
disediakan. Kuteruskan langkah dengan pijakan yang berbunyi ketukan memasuki
area dalam bank.
“Hai, boleh kenalan?” tanya seseorang
di belakangku. Aku heran siapa yang begitu kurang kerjaan ingin memperkenalkan
diri disaat langkahku sudah terburu-buru seperti ini. aku berbalik dan tawa
kecilku menyeruak.
“Hasbi. Aku kira siapa.”
Hasbi cengengesan. Ia membawa helm dan
meletakkannya di penitipan helm yang berada setelah pintu masuk. Jaket kulit
hitam ia lepas dan memegangnya, lalu berjalan berdampingan denganku.
“Wangi sekali,” pujiku sambil
menengadahkan wajahku melihatnya dari samping.
“Jelas. Tidak percuma tiga botol minyak
wangi habis.”
“Ada-ada saja kamu.”
Kami kembali bertemu dalam satu suara
tawa yang sama.
“Oh iya, untuk acara menyambut tahun
baru, katanya akan ada pesta yang diadakan bank kita ya?” aku membangun bahan
obrolan.
Dia mengangguk. “Iya. Pasti akan seru.
Tahun lalu kita sama-sama menyalakan kembang api. Setiap karyawan memegang
kembang api dan mengarahkannya ke angkasa. Sudah tahu kan berapa banyak
karyawan di sini. Jadi pikirkan juga akan ada berapa kembang api yang meledak
di udara,” jelasnya antusias sambil mempraktekkan gaya meledakkan kembang api
ke angkasa.
Pancaran semangat Hasbi tertular
padaku. Gaya berceritanya ikut membuatku menjadi pendengar yang tidak bisa
beralih ke arah yang lain. Sekali ia membuatku melupakan sepotong luka hati
yang kurasakan.
“Kamu belum pernah dapat perayaan tahun
baru di bank kita kan?”
“Ini acara tahun baru pertamaku di
sini.”
“Aku yakin perayaan tahun baru nanti adalah
moment pergantian tahun yang tak pernah kau lupakan. Percayalah,” tambahnya
dengan senyum yang sangat aku gemari. Beberapa detik aku menikmati panorama
rupa-nya yang menyejukkanku. Perasaan aneh kembali kurasakan. Sepertinya aku
mulai nyaman ketika Hasbi menampakkan diri di sekitarku.
****
Jariku mengetik dengan cepat.
Mengeksekusi transaksi juga memeriksa kegiatan perbankan selama sebulan ini.
Akhir tahun adalah saat dimana kegiatan kerja makin bertambah. Tutup buku dan
pengambilan keputusan perusahaan tentang apa terobosan 2014 nanti, salah
satunya.
Sesibuk apapun kegiatanku, hati dan
pikiran tidak pernah melupakan sosok yang sangat aku butuhkan. Seseorang yang kuharapkan
memberiku perhatian lebih dan mendukung aktifitasku. Meskipun dari jauh, aku
rasa semuanya lebih dari cukup. Agung, aku membutuhkannya. Seandainya Agung
ingin ke Makassar merayakan tahun baru bersamaku. Atau mungkin Agung memberiku
sebuah kejutan dengan kehadirannya tiba-tiba di Makassar tepat saat suara
terompet 2014 berkumandang. Seketika aku tertawa dalam hati. Justru kalau Agung
berubah romantis seperti itu, bukan dia namanya. Agung tidak mungkin melakukan
hal itu.
Senyumku terkembang spontan. Ketika
ponselku bergetar, nama ‘mine’ tertulis di layar. Ada sms dari Agung. Segera
kubuka dengan semangat. Ini kejadian langka ketika ia mengirimkanku pesan
duluan.
Agung : Kamu lagi apa? Baik-baik saja kan?
Miss u
Aku girang sendirian namun tidak
mengeluarkan suara. Mataku berkaca-kaca. Ini memang bukan yang pertama kali ia
mengucapkannya, tapi jika mau dihitung, terbilang sangat jarang. Mood-ku
seketika berubah baik, aku yakin bisa melewati hari ini dengan penuh ceria.
Me : Baru sampai bank, ayy. Iya
selalu baik-baik saja. Kamu juga kan?
Aku menunggu balasan smsnya. Sangat
lama. Sampai-sampai aku sudah tidak konsentrasi bekerja.
Me : Kalau begitu jangan lupa
istirahat ya. Miss u so much
Itu smsku penutupku padanya. Tidak
apalah ia tidak merespon pesanku lagi. Yang penting kata rindu yang langka ia
kirimkan menghilangkan khawatir yang selalu menempeliku. Secuek apapun dia, ternyata
aku sangat merindukannya.
****
Aku merenggangkan tangan. Memutar-mutar
bahu ke depan dan ke belakang. Lelah sekali. Hari ini lembur sampai jam delapan
malam. Saatnya pulang dan kembali sayang-sayangan dengan kamar ternyamanku.
Kamar sejelek apapun jika kita tidur dalam keadaan sangat lelah, semuanya akan sama
nyamannya dengan kamar hotel berbintang lima.
Dengan cepat aku keluar dari bank.
Takut angkutan umum di jam begini sudah kurang. Beberapa karyawan yang ikut
lembur bersamaku sudah pulang duluan dengan sepeda motornya. Parkiran sudah
mulai sepi. Tidak sepadat tadi pagi lagi.
“Lili,” panggil seseorang dari
belakang. Itu Hasbi sambil membawa helmnya. Ia juga sudah mau pulang.
“Hai, Hasbi. Sudah mau pulang ya?”
“Iya, kamu naik apa?”
“Biasa. Angkutan umum.” Aku
cengengesan.
“Kita sama-sama saja pulangnya.”
“Ah tidak usah. Aku takut bensin kamu
habis kalau tiba-tiba aku duduk di atas motormu.”
Dia tertawa. Senyum lebarnya membuatku
merasa damai. “Iya sih, aku juga tidak bawa helm lagi. Kalau begitu aku duluan
ya. Next time kita pulang bareng.”
Aku membalasnya dengan senyum tipis. Aku
akan menunggu waktu itu Hasbi, batinku. Oh tidak! Ada apa dengan dadaku?
Jantungku berdegup lebih cepat. sekali lagi ada sensasi nyaman kurasakan.
Apakah hatiku sudah mulai terbiasa dengan keberadaan Hasbi?
Jalanan depan bank sudah mulai ikut
menyepi. Angkutan umum yang biasa kutumpangi sudah tidak ada yang melintas. Apa
malam ini aku bisa pulang?
****
Semalam aku tidak bisa tidur. Padahal
aku mengira ketika sampai di rumah, tubuhku langsung terkapar di ranjang dengan
pasrahnya. Pikiranku teralihkan pada sesuatu yang lain. Bukan kekhawatiran dan
kerinduanku pada Agung. Justru rasa rinduku teralihkan pada seseorang yang
selalu bersamaku setiap hari.
Hasbi. Pikiran dan perasaanku seperti
terhubung jika mengingat bayang wajahnya. Membayangkan alis tebal, tatapan
matanya yang dalam, serta senyum sumringah lucunya, membuat senyumku tak jarang
terulas tiba-tiba. Mungkin kali ini aku salah. Benar-benar salah! Aku jatuh
cinta pada pria selain Agung. Ini bukan keinginanku. Pikiranku sebenarnya
menolak untuk mengikuti perasaanku pada Hasbi. Namun aku tidak bisa melawan
perasaanku yang terlalu kuat. Atau mungkin aku yang terlalu lemah untuk
mengalahkannya. Jika perasaan sudah mengatakan iya, seluruh anggota tubuh akan
mengikutinya. Ternyata seperti itu.
Keinginan hati kecilku pagi ini adalah
ingin bertemu dengan Hasbi. Dan memang kami akan bertemu. Tak seperti biasa.
Melihat wujudnya saat ini membuatku merasa hidup kembali. Menunggu seseorang
yang kau kagumi lalu dirinya melayangkan senyum padamu dari jauh. Maafkan aku
Agung, aku menaruh rasa padanya tanpa sepengetahuamu.
“Sudah dapat kabar belum?” tanyanya
mendekat ke mejaku. Itu Hasbi.
“Kabar apa?”
“Kabar tentang karyawan yang mengurusi
acara pesta pergantian tahun baru nanti.”
“Oh iya? Kau tahu siapa-siapa saja yang
terlibat?” tanyaku
“Ya ampun, Lili.” Dia mengelus
kepalaku. Tolong lakukan itu sekali lagi, batinku. “Namamu kan masuk. Kamu
belum baca daftar nama yang ditempel di pintu masuk?”
“Masa? Ada ya?”
“Iya ada. Makanya jangan sering
melamun.” Dia tertawa. Aku bangkit dengan senyum penerimaan telah ditertawakan
sambil berjalan menuju pintu masuk ruangan.
Lima laki-laki, dan lima perempuan. Ada
namaku dan nama... Sisi, sahabatku, namun dia ditempatkan dicabang. Harapanku
sedikit pupus sebab nama yang kuharapkan tidak ada di sana. Deretan nama
karyawan laki-laki tidak menampilkan nama Hasbi.
“Bagaimana?” Hasbi datang. Ia berdiri
di belakangku. Memang benar, aku terlanjur menyayangi orang yang di belakangku.
Aku bisa merasakan perubahan rasaku saat ini. Di dekatnya, aku merasa damai
dan.... bahagia.
“Iya ada namaku. Katanya mau rapat besok
malam di sini. Di kantor pusat,” sahutku.
“Oh iya? Kebetulan aku lembur. Jadi
mungkin bisa ikut nguping bahan pembicaraan rapat.”
“Ada ada saja kamu, Bi.” Aku menepuk
pundaknya. Sedetik kami terlihat sangat dekat, namun secepatnya aku menjauh dan
kembali ke ruangan sebelum ia tahu, bahwa aku menganggapnya sebagai sosok yang
berbeda saat ini.
Pulang kerja. Sekali lagi aku
berpapasan pulang dengan Hasbi. Aku berjalan santai keluar dari gedung. Di sana
aku melihatnya menyalakan mesin motor.
“Aku duluan ya, Bi,” pamitku.
Dia terdiam sejenak menatapku.
Membuatku seketika kaku dan tak tahan memandangnya. “Baiklah. Hati-hati ya di
jalan.”
“Iya.” Aku tersenyum sumringah.
Mendadak senyumku luntur, rasa sedih itu datang lagi. Motor Hasbi sudah melesat
duluan. Meninggalkanku berdiri di tepi jalan. Tak lama, angkot tumpanganku
datang. Saatnya pulang.
Selama perjalanan wajahku terus murung.
Melihat jalanan keluar jendela sambil diterpa angin senja yang mulai dingin
karena malam. Pikiranku melayang. Aku seperti merasa kecolongan, tapi karena
apa? Seandainya Hasbi tahu bagaimana besarnya inginku untuk pulang bersamanya.
Bibirku terlalu berat untuk bilang iya. Kekhawatiranku juga terlalu besar.
Khawatir dia akan tahu, kalau aku menyayanginya.
Hasbi, aku menunggu kata next time itu,
selalu
****
Semakin hari kenapa rasa ini semakin
besar. Aku selalu takut akan sesuatu. Walaupun aku bisa membagi cinta tulusku
pada Agung dan Hasbi. Rasa takut itu juga masih terasa. Tapi entah karena apa.
Semalam sebelum tidur, aku memiliki
kebiasaan baru. Menulis diari imajinasi dengan memikirkan dan membayangkan kembali
apa yang aku lakukan ketika melihat Hasbi. Bagaimana bahan pembicaraan ringan
kami dan terasa sangat berkesan buatku. Serta memvisualisasikan wajahnya,
sehingga memicu rasa sayangku. Apa aku harus mengikuti rasa ini lalu
membiarkannya tumbuh dan berbuah?
Seminggu lagi menjelang pergantian
tahun. Sesuai dengan agenda kantor. Rapat penyusunan acara tahun baru segera di
mulai. Di ruang meeting, satu persatu dari sepuluh karyawan yang dipilih dan
berasal dari berbagai cabang di seluruh Makassar berkumpul. Aku duduk dan
mengambil tempat lebih dahulu. Beberapa ada yang tidak aku kenal wajahnya.
Wajar, karena intensitas kami bertemu nyaris tidak ada. Namun sosok gadis di
sana berlari kecil dan duduk di sampingku.
“Lili, apa kabar? Sudah lama kita tidak
ketemu.” Itu Sisi. dia terlihat sangat antusias, begitu pula denganku. Terakhir
kami bertemu sebulan yang lalu itupun secara tidak sengaja di sebuah mall.
Lokasi kerja kami yang berjauhan tidak memungkinkan untuk bisa bertemu setiap
hari.
“Iya sama. Kamu makin cantik saja
sekarang,” sanjungku.
“Kalau aku sudah cantik, kau lebih
cantik lagi, Lili. Sejak kuliah kan kau paling banyak ditaksir cowok.”
Kami berdua tertawa ringan. Namun
melihat peserta rapat sudah lengkap, kami berdua memasang tampang serius. Ini
bukan tempat untuk nge-rumpi.
Rapat di mulai. Meja persegi panjang
terdapat di ruangan ini. Lima karyawan duduk di seberang, juga lima karyawan
lain duduk sejajar denganku. Aku duduk paling tengah dan samping kananku ada
Sisi. Tak lama, seseorang berdiri di ambang pintu. Tersenyum padaku dengan
tatapan dalamnya. Itu Hasbi. Apa yang ia lakukan di sini? Oh iya aku baru ingat
kalau dia mau nguping apa yang menjadi pembicaraan rapat.
Aku membalas senyumnya namun ia
berbicara denganku tanpa suara. Tak jelas kudengar, namun tiba-tiba wanita di
sampingku berbicara seperti membisik. Aku sontak berbalik ke arah kiri.
Kemudian berbalik lagi ke arah Hasbi. Ternyata Hasbi bukan tersenyum padaku.
Melainkan pada wanita ini. Wanita yang seumuran denganku, mungkin. Aku menunduk
karena malu, semoga tidak ada yang melihatku, dan semoga Hasbi tidak sempat
melihatku yang ikut tersenyum padanya.
Rapat akhirnya benar-benar dimulai.
Wanita di samping kiriku berdiri dan beranjak dari kursinya. Ia sangat wangi.
Tubuhnya langsing, berkulit putih dan rambut yang diikat. Ia juga memakai
kacamata dengan bingkai cukup besar namun terlihat elegan di matanya.
“Sisi, siapa dia?” bisikku ketika
melihat wanita itu berdiri di depan kami semua. Seperti siap berbicara.
“Dia itu ketua dari acara tahun baru.
Kau tidak kenal ya? Namanya Aya, tunangan pak Hasbi.”
Aku yakin tidak salah dengar. Apa tadi
yang Sisi bilang? Pacar pak Hasbi? Iyap! Aku tidak berani lagi melihat wajah
Hasbi yang aku tahu dirinya masih berdiri di ambang pintu. Pacar Hasbi. Pacar
Hasbi. Pacar Hasbi. Pacar Hasbi. Dua kata itu terus berulang-ulang. Aku
langsung tidak fokus mengikuti rapat. Rasa sedih itu terasa kembali. Aku ingin
menangis namun tertahan di dalam hati. Sakit sekali. Orang yang sudah terlanjur
kusayang ternyata bukan milikku. Dan tidak akan pernah menjadi milikku.
****
Di kamar yang menjadi tempat privasi,
aku melampiaskan rasa sedih yang tak kuduga. Apa ini ganjaran buatku? Karena
telah mencintai pria selain Agung dan aku diberi balasan dengan pernyataan, aku
tidak akan bisa bersama Hasbi. Tunggu dulu, apa yang aku pikirkan? Memang kan aku
tidak pernah bisa bersamanya. Meskipun aku mencintainya dan kalau dia juga
mencintaiku, Agung mau aku kemanakan? Tapi rasa itu... rasaku... sayangku
padanya, terlanjur berbuah dengan sangat cepat.
Aku memeluk bantal dengan mata
berkaca-kaca. Kenapa aku harus merasakan semua ini? orang yang cuek padaku,
orang yang tidak memerdulikanku, bahkan mungkin tidak menyayangiku, berperan
sebagai kekasihku. Sekarang ketika aku bertemu dengan orang yang tepat, dari
luar dan dalam membuatku bahagia, tapi sangat tidak mungkin hanya untuk aku menyentuh
tangannya. Aku ingin menangis sekencang-kencangnya. Aku ingin merasakan lega
ketika air mataku mengalir. Namun deras air mata yang kuharapkan tidak keluar.
Malah masih tertahan di dalam dada dan membuatku sangat sakit.
Aku memang belum beruntung untuk
menjatuhkan hatimu. Aku terlalu terlambat untuk bertemu denganmu dan terlalu
cepat merasakan cinta sebelum aku tahu siapa kamu sebenarnya. Sulit dipungkiri
dan memang harus aku akui, ketika bersama Hasbi, aku merasa hidup, bahkan
melupakan sikap acuh dari kekasihku yang sebenarnya.
****
Kembali bekerja. Menjalani aktifitas
perbankan seperti biasanya. Tapi buatku ada beban baru yang kupikul. Beban
perasaan yang tak terbalaskan dan meninggalkan sedih yang masih belum hilang.
Aku bertekad untuk melupakan semua tentang Hasbi. Membuangnya dari pikiran dan
perasaanku. Melupakan sosoknya. Namun sedetik kemudian usahaku tersebut runtuh
seketika. Hasbi telah sampai di kantor dengan sosok yang masih memaksaku
memasukkannya di dalam dadaku. Melupakan seseorang yang selalu bertemu denganmu
adalah hal yang paling sulit.
Bersikap biasa dan berusaha tidak
melibatkan lagi perasaan. Itulah menjadi taktikku saat ini. Hasbi melintas di
depan mejaku, namun aku lebih memilih menunduk pura-pura sibuk dengan
pekerjaan. Sebiasa mungkin aku harus bersikap biasa denganya. Dan secepatnya
perasaanku ini harus hilang!
****
Kembali lembur. Waktu pulang lebih lama
dibanding kemarin. Jam sembilan malam! Aku semakin cemas. Sama sekali sopir
angkutan umum sudah pulang. Waktu dulu saja aku menunggu hampir 30 menit di
pinggir jalan. Tapi mau bagaimana lagi. Cuma itu kendaraanku pulang.
Aku mulai gelisah. Sepuluh menit
pertama angkutan umum tetap tidak ada yang melintas.
PIIP!!
Sebuah
klakson mobil berbunyi di belakangku. Aku yang memang berdiri di depan gerbang
sedikit menyingkir.
“Lili! Ayo pulang bareng!” itu Hasbi.
Ada rasa bahagia dan takut ketika melihat dirinya. Tidak ada alasan lain untuk
menolak ajakannya. Tidak usah khawatir untuk tidak memakai helm.
“Tidak apa-apa ya, Hasbi?” aku berdiri
di dekat jendela.
“Ya sediakan aja uang 2000 rupiah.”
Sekali lagi dia membuatku tertawa.
Kubuka pintu dan duduk di sampingnya. Mobil melesat dengan lambat dan terasa
sangat nyaman. Apakah sesuatu yang sangat kau harapkan akan terjadi ketika kau
sudah tidak mengharapkannya? Sepertinya itu terjadi padaku. Berada di samping
Hasbi sedekat dan selama ini. Hatiku terasa sangat damai. Izinkan aku untuk menikmati
kebersamaan dengannya. Iya aku tahu dia tidak akan menjadi milikku, tapi
izinkan aku sekali saja, merasakannya.
“Makasi ya, Hasbi. Nanti ongkosnya aku
bayar.” Aku turun dari mobil dan sempat melemparkan sedikit candaan.
Hasbi menurunkanku di depan gang rumah.
Langkah yang menjauh dari mobilnya membuat hatiku perlahan sendu kembali. Aku
berbalik dan mobilnya sudah melesat pergi. Terima kasih Hasbi. Meskipun hanya
sebentar aku merasa dekat denganmu, aku sudah sangat bahagia. Kata next time
dari Hasbi sudah berhasil ia tebus.
Malam ini, air mataku berhasil mengalir
deras.
****
Halaman kantor pusat yang memang luas
dipenuhi seluruh karyawan dari berbagai cabang. Beragam makanan sudah siap di
dalam. Namun saat ini kami akan menunggu moment pergantian tahun bersama-sama.
Kembang api silinder dengan panjang satu meter pun di bagikan. Kerumunan
pasukan berkemeja dan blaser memenuhi tempat ini.
Sahabatku Sisi berhasil mendapat dua.
Ia memberiku satu. Aku siap meledakkannya di udara. Sembari menunggu karyawan
lain mendapat bagian aku menoleh ke segala arah.
“Hei, sudah dapat ya, Li?” dia datang
tepat di hadapanku. Itu Hasbi. Bersama Aya di sampingnya. Mereka berdua telah
memegang masing-masing kembang api. Aku dan Hasbi bertemu lagi di acara
berkesan ini. Tenang saja, selama seminggu ini aku sudah membangun benteng agar
perasaanku sudah tidak melewati batas. Kehadirannya di dekatku aku anggap
sebagai ujian buatku. Menahan perasaan yang sebenarnya sangat kuat.
“SIAP
SEMUANYA?” seorang
pria memberi aba-aba. Semua kembang api di hadapkan di udara. Sisi berdiri di
samping kananku. Hasbi berdiri di samping kiriku, berdempet dan menyentuh
lenganku. Sedangkan Aya berdiri di samping kiri Hasbi.
Kembang api serentak dinyalakan.
Beberapa detik kemudian ledakan diudara menggelegar. Kembang apiku dan kembang
api Hasbi sama-sama melesat dan menyatu di angkasa.
Izinkan aku sekali lagi menatap
wajahnya. hasratku untuk melihatnya mengalahkan Kembang api yang begitu indah.
Aku menunduk dan menutup mata. Aku berharap di tahun 2014 ini, perasaanku
kepada Hasbi sirna dengan sempurna. Biarkan dia bahagia dengan kekasihnya.
Perasaanku kepada Hasbi menghilang diganti dengan sikap Agung kepadaku yang
berubah menjadi seperti yang kuinginkan. Benar kata Hasbi tempo hari,
pergantian tahun ini tidak akan pernah aku lupakan. Disaat aku merelakan sebuah
cinta tulus untuk jalan yang lebih baik.
Aku membuka mata dan kembali menikmati
letusan kembang api. Senyumku terulas lebar. Air mataku berlinang setetes.
Itulah harapanku.
SELESAI