Selasa, 31 Desember 2013

2014 WISH



Berada dalam konflik hati yang kejam. Kebahagiaan yang aku kira telah menghampiriku, terancam berganti dengan rasa yang membuatku tak tenang. Aku bekerja di salah satu bank swasta di Makassar. Baru enam bulan aku bergabung di dunia baruku ini. Dunia yang berkecimpung dengan komputer, uang, dan nasabah.
Profesiku sebagai relationship officer yang sering pulang ketika matahari terbenam, membuatku sibuk dan kurang perhatian. Bahasa kasarnya kurang kasih sayang. Sebenarnya kebahagiaan telah kugenggam saat ini. Kebahagiaan yang berhasil mengisi kekosongan hatiku yang mulai berdebu. Namun semuanya perlahan berubah menjadi sesuatu yang tak kuinginkan. Baiklah, akan kuceritakan siapa aku dan mengapa aku begitu polos mengutarakan derita hatiku.
Sebuah ID card dengan pas foto seorang wanita berambut panjang, serta nama yang bertuliskan Liliana Basri kukenakan. Saatnya beraksi. Setiap hari aku lebih suka memanfaatkan angkutan umum untuk pergi ke tempat kerja. Selain tidak pintar membawa kendaraan sendiri, aku juga belum mampu membeli kendaraan.
Aku ditempatkan di bank swasta pusat, sehingga banyak karyawan-karyawan berkemeja rapih yang kuhadapi. Ruangan kerja sudah diiisi oleh beberapa orang. Setiap kursi juga sudah diduduki karyawan yang siap bekerja.
Entah kenapa sejak dari rumah hatiku terasa ada yang aneh. Aku sedih namun air mataku sangat sulit untuk keluar, semuanya tertahan di dalam dada. Kuperiksa ponselku setelah duduk di kursi tempatku. Senyumku sedikitpun tak terulas. Tidak ada pesan selamat pagi, selamat berakfititas atau apalah dari Agung. Yah, Agunglah orang yang kumaksud sebagai kebahagiaan yang kugenggam.
Aku tidak ingin mengeluh kalau Agung adalah sosok yang cuek dan sepertinya tidak mencintaiku. Aku tidak memerdulikan sikapnya. Yang aku tegaskan adalah, aku menerima ia apa adanya dan hatiku sudah terlanjur ada padanya. Hmm.... satu lagi yang ingin kukatakan tentang Agung. Ada pihak ketika yang tak pernah lepas dari kami berdua. Jarak. Setelah diterima sebagai pegawai negeri sipil, Agung menetap di Yogyakarta. Kami sudah setahun ini menjalani hubungan jarak jauh, dan setahun pula aku menahan rindu. Terus setahun pula aku merasa..... argh! Aku malas mengatakannya! Jujur, aku tidak suka dengan sikap cueknya.
Dia tidak ada di saat aku butuh. Komunikasi kami jarang. Mungkin lebih tepat ia yang jarang merespon pesanku.
“Hayoo!”
“Aa!” aku berteriak kecil. “Hasbi!” aku tertawa sambil menepuk-nepuk pundaknya.
“Masih pagi-pagi sudah melamun. Awas loh rejekinya disambet setan.” Ia berdiri di seberang mejaku. Penampilannya hari ini masih seperti biasanya. Kemeja putih lengan panjang juga dasi garis-garis.
Sekali lagi tawaku melesak. “Siapa juga yang melamun.”
“Terus yang tadi apa namanya kalau bukan melamun? Menghayal?” Hasbi melawan sambil tertawa dan membuat hatiku lega.
“Hasbi gila.” Tawaku tercetus kembali. Ia tersenyum lebar padaku sambil menatap dengan mata hitam dalamnya. Hasbi pergi dan duduk di mejanya yang cukup jauh dari tempatku.
Senyumku terulas lebar. Dan disebabkan oleh orang yang tidak kusangka. Sejenak ia pergi, pikiranku kembali melayang. Hasbi adalah rekan kerjaku yang paling pertama membuatku betah berada di sini. Karakternya yang humoris membuat siapapun akan senang berteman dengannya. Ia juga bisa diajak serius, dewasa, dan pekerja keras. Satu lagi, ia memiliki wajah yang teduh. Alis tebal, rambut yang cukup lebat, bibir tipis, dan sebuah rambut yang tumbuh di bawah bibirnya.
Hasbi benar. Aku menghabiskan sebagian waktu dengan menghayal. Setelah melihat semua kursi telah terisi, aku mulai berkonsentrasi dengan layar komputer di depanku. Waktunya mencari nafkah.
****
Me               : Agung, lagi ngapain? Sibuk ya?
Agung           : Tidak kok. Kenapa?
Me               : Tidak. Cuma mau tanya saja. Bagaimana kerjaanya hari ini? lancar?
Agung           : Iya lancar. Eh bentar ya dilanjutnya. Aku mau makan.
Smsan dengan Agung selalu seperti ini. Dihentikan begitu saja dengan alasan yang tak mungkin aku lawan. Padahal aku ingin berkomunikasi dengannya cukup lama dari biasanya. Apa salahnya kan aku mengharapkan seperti itu? Aku kekasihnya dan dia kekasihku.
Aku merebahkan diri di ranjang kamar. Hanya langit-langit yang aku lihat di depan mata. Perlahan berbagai pikiran menghinggapi kepalaku.
Kenapa aku merasa Agung seperti tidak menyukaiku ya? Aku merasa ia setengah cinta. Tidak sama seperti perasaanku padanya. Tapi kalau ia tidak cinta, kenapa mau menjalani hubungan jarak jauh denganku dan telah berjalan satu tahun? Seandainya Agung itu perhatian dan selalu ada untukku. Paling tidak di setiap pesannya, minimal membuatku tersenyum, atau sekalian tertawa.
Mendadak, wajah lain masuk ke pikiranku. Hasbi. Sudah enam bulan juga aku berinteraksi dengannya. Tak dipungkiri jika di kantor dan ia membuatku tertawa, nyawaku yang awalnya terpecah seperti puzzle, kembali menyatu. Ia sering membuatku tertawa, membuatku bahagia. Apa aku salah jika berharap seandainya Hasbi adalah kekasihku? Ya tuhan, apa yang baru saja aku pikirkan!!
****
Angkutan umum yang kutumpangi berhenti tepat di seberang jalan di depan bank tempatku kerja. Jalanan lebar telah terpajang di depan mata. Kendaraan ikut lalu lalang sangat padat sebab saat ini memang jam sibuk semua orang menuju tempat aktifitas. Sesekali aku berniat menyebrang namun ada kendaraan yang langsung meningkatkan lajunya hingga menciutkan keberanianku melangkah ke tengah jalan.
Satu kali lagi kucoba melambaikan tangan, sepeda motor yang aku kira akan kasihan melihatku, ikut mempercepat laju kendaraannya. Kenapa semua pengendara motor di Indonesia tak pernah iba dan memberi kesempatan untuk penyebrang jalan mendapatkan haknya?
Ini saatnya. Jalan sepi. Aku berlari kecil dengan sepatu berhak sedang. Napasku berhembus lepas. Untunglah pagi ini aku selamat. Tempat kerjaku sudah berada di depan mata. Aku melihat beberapa pengendara sepeda motor memarkirkan motor mereka di area parkir yang telah disediakan. Kuteruskan langkah dengan pijakan yang berbunyi ketukan memasuki area dalam bank.
“Hai, boleh kenalan?” tanya seseorang di belakangku. Aku heran siapa yang begitu kurang kerjaan ingin memperkenalkan diri disaat langkahku sudah terburu-buru seperti ini. aku berbalik dan tawa kecilku menyeruak.
“Hasbi. Aku kira siapa.”
Hasbi cengengesan. Ia membawa helm dan meletakkannya di penitipan helm yang berada setelah pintu masuk. Jaket kulit hitam ia lepas dan memegangnya, lalu berjalan berdampingan denganku.
“Wangi sekali,” pujiku sambil menengadahkan wajahku melihatnya dari samping.
“Jelas. Tidak percuma tiga botol minyak wangi habis.”
“Ada-ada saja kamu.”
Kami kembali bertemu dalam satu suara tawa yang sama.
“Oh iya, untuk acara menyambut tahun baru, katanya akan ada pesta yang diadakan bank kita ya?” aku membangun bahan obrolan.
Dia mengangguk. “Iya. Pasti akan seru. Tahun lalu kita sama-sama menyalakan kembang api. Setiap karyawan memegang kembang api dan mengarahkannya ke angkasa. Sudah tahu kan berapa banyak karyawan di sini. Jadi pikirkan juga akan ada berapa kembang api yang meledak di udara,” jelasnya antusias sambil mempraktekkan gaya meledakkan kembang api ke angkasa.
Pancaran semangat Hasbi tertular padaku. Gaya berceritanya ikut membuatku menjadi pendengar yang tidak bisa beralih ke arah yang lain. Sekali ia membuatku melupakan sepotong luka hati yang kurasakan.
“Kamu belum pernah dapat perayaan tahun baru di bank kita kan?”
“Ini acara tahun baru pertamaku di sini.”
“Aku yakin perayaan tahun baru nanti adalah moment pergantian tahun yang tak pernah kau lupakan. Percayalah,” tambahnya dengan senyum yang sangat aku gemari. Beberapa detik aku menikmati panorama rupa-nya yang menyejukkanku. Perasaan aneh kembali kurasakan. Sepertinya aku mulai nyaman ketika Hasbi menampakkan diri di sekitarku.
****
Jariku mengetik dengan cepat. Mengeksekusi transaksi juga memeriksa kegiatan perbankan selama sebulan ini. Akhir tahun adalah saat dimana kegiatan kerja makin bertambah. Tutup buku dan pengambilan keputusan perusahaan tentang apa terobosan 2014 nanti, salah satunya.
Sesibuk apapun kegiatanku, hati dan pikiran tidak pernah melupakan sosok yang sangat aku butuhkan. Seseorang yang kuharapkan memberiku perhatian lebih dan mendukung aktifitasku. Meskipun dari jauh, aku rasa semuanya lebih dari cukup. Agung, aku membutuhkannya. Seandainya Agung ingin ke Makassar merayakan tahun baru bersamaku. Atau mungkin Agung memberiku sebuah kejutan dengan kehadirannya tiba-tiba di Makassar tepat saat suara terompet 2014 berkumandang. Seketika aku tertawa dalam hati. Justru kalau Agung berubah romantis seperti itu, bukan dia namanya. Agung tidak mungkin melakukan hal itu.
Senyumku terkembang spontan. Ketika ponselku bergetar, nama ‘mine’ tertulis di layar. Ada sms dari Agung. Segera kubuka dengan semangat. Ini kejadian langka ketika ia mengirimkanku pesan duluan.
Agung           : Kamu lagi apa? Baik-baik saja kan? Miss u
Aku girang sendirian namun tidak mengeluarkan suara. Mataku berkaca-kaca. Ini memang bukan yang pertama kali ia mengucapkannya, tapi jika mau dihitung, terbilang sangat jarang. Mood-ku seketika berubah baik, aku yakin bisa melewati hari ini dengan penuh ceria.
Me               : Baru sampai bank, ayy. Iya selalu baik-baik saja. Kamu juga kan?
Aku menunggu balasan smsnya. Sangat lama. Sampai-sampai aku sudah tidak konsentrasi bekerja.
Me               : Kalau begitu jangan lupa istirahat ya. Miss u so much
Itu smsku penutupku padanya. Tidak apalah ia tidak merespon pesanku lagi. Yang penting kata rindu yang langka ia kirimkan menghilangkan khawatir yang selalu menempeliku. Secuek apapun dia, ternyata aku sangat merindukannya.
****
Aku merenggangkan tangan. Memutar-mutar bahu ke depan dan ke belakang. Lelah sekali. Hari ini lembur sampai jam delapan malam. Saatnya pulang dan kembali sayang-sayangan dengan kamar ternyamanku. Kamar sejelek apapun jika kita tidur dalam keadaan sangat lelah, semuanya akan sama nyamannya dengan kamar hotel berbintang lima.
Dengan cepat aku keluar dari bank. Takut angkutan umum di jam begini sudah kurang. Beberapa karyawan yang ikut lembur bersamaku sudah pulang duluan dengan sepeda motornya. Parkiran sudah mulai sepi. Tidak sepadat tadi pagi lagi.
“Lili,” panggil seseorang dari belakang. Itu Hasbi sambil membawa helmnya. Ia juga sudah mau pulang.
“Hai, Hasbi. Sudah mau pulang ya?”
“Iya, kamu naik apa?”
“Biasa. Angkutan umum.” Aku cengengesan.
“Kita sama-sama saja pulangnya.”
“Ah tidak usah. Aku takut bensin kamu habis kalau tiba-tiba aku duduk di atas motormu.”
Dia tertawa. Senyum lebarnya membuatku merasa damai. “Iya sih, aku juga tidak bawa helm lagi. Kalau begitu aku duluan ya. Next time kita pulang bareng.”
Aku membalasnya dengan senyum tipis. Aku akan menunggu waktu itu Hasbi, batinku. Oh tidak! Ada apa dengan dadaku? Jantungku berdegup lebih cepat. sekali lagi ada sensasi nyaman kurasakan. Apakah hatiku sudah mulai terbiasa dengan keberadaan Hasbi?
Jalanan depan bank sudah mulai ikut menyepi. Angkutan umum yang biasa kutumpangi sudah tidak ada yang melintas. Apa malam ini aku bisa pulang?
****
Semalam aku tidak bisa tidur. Padahal aku mengira ketika sampai di rumah, tubuhku langsung terkapar di ranjang dengan pasrahnya. Pikiranku teralihkan pada sesuatu yang lain. Bukan kekhawatiran dan kerinduanku pada Agung. Justru rasa rinduku teralihkan pada seseorang yang selalu bersamaku setiap hari.
Hasbi. Pikiran dan perasaanku seperti terhubung jika mengingat bayang wajahnya. Membayangkan alis tebal, tatapan matanya yang dalam, serta senyum sumringah lucunya, membuat senyumku tak jarang terulas tiba-tiba. Mungkin kali ini aku salah. Benar-benar salah! Aku jatuh cinta pada pria selain Agung. Ini bukan keinginanku. Pikiranku sebenarnya menolak untuk mengikuti perasaanku pada Hasbi. Namun aku tidak bisa melawan perasaanku yang terlalu kuat. Atau mungkin aku yang terlalu lemah untuk mengalahkannya. Jika perasaan sudah mengatakan iya, seluruh anggota tubuh akan mengikutinya. Ternyata seperti itu.
Keinginan hati kecilku pagi ini adalah ingin bertemu dengan Hasbi. Dan memang kami akan bertemu. Tak seperti biasa. Melihat wujudnya saat ini membuatku merasa hidup kembali. Menunggu seseorang yang kau kagumi lalu dirinya melayangkan senyum padamu dari jauh. Maafkan aku Agung, aku menaruh rasa padanya tanpa sepengetahuamu.
“Sudah dapat kabar belum?” tanyanya mendekat ke mejaku. Itu Hasbi.
“Kabar apa?”
“Kabar tentang karyawan yang mengurusi acara pesta pergantian tahun baru nanti.”
“Oh iya? Kau tahu siapa-siapa saja yang terlibat?” tanyaku
“Ya ampun, Lili.” Dia mengelus kepalaku. Tolong lakukan itu sekali lagi, batinku. “Namamu kan masuk. Kamu belum baca daftar nama yang ditempel di pintu masuk?”
“Masa? Ada ya?”
“Iya ada. Makanya jangan sering melamun.” Dia tertawa. Aku bangkit dengan senyum penerimaan telah ditertawakan sambil berjalan menuju pintu masuk ruangan.
Lima laki-laki, dan lima perempuan. Ada namaku dan nama... Sisi, sahabatku, namun dia ditempatkan dicabang. Harapanku sedikit pupus sebab nama yang kuharapkan tidak ada di sana. Deretan nama karyawan laki-laki tidak menampilkan nama Hasbi.
“Bagaimana?” Hasbi datang. Ia berdiri di belakangku. Memang benar, aku terlanjur menyayangi orang yang di belakangku. Aku bisa merasakan perubahan rasaku saat ini. Di dekatnya, aku merasa damai dan.... bahagia.
“Iya ada namaku. Katanya mau rapat besok malam di sini. Di kantor pusat,” sahutku.
“Oh iya? Kebetulan aku lembur. Jadi mungkin bisa ikut nguping bahan pembicaraan rapat.”
“Ada ada saja kamu, Bi.” Aku menepuk pundaknya. Sedetik kami terlihat sangat dekat, namun secepatnya aku menjauh dan kembali ke ruangan sebelum ia tahu, bahwa aku menganggapnya sebagai sosok yang berbeda saat ini.

Pulang kerja. Sekali lagi aku berpapasan pulang dengan Hasbi. Aku berjalan santai keluar dari gedung. Di sana aku melihatnya menyalakan mesin motor.
“Aku duluan ya, Bi,” pamitku.
Dia terdiam sejenak menatapku. Membuatku seketika kaku dan tak tahan memandangnya. “Baiklah. Hati-hati ya di jalan.”
“Iya.” Aku tersenyum sumringah. Mendadak senyumku luntur, rasa sedih itu datang lagi. Motor Hasbi sudah melesat duluan. Meninggalkanku berdiri di tepi jalan. Tak lama, angkot tumpanganku datang. Saatnya pulang.
Selama perjalanan wajahku terus murung. Melihat jalanan keluar jendela sambil diterpa angin senja yang mulai dingin karena malam. Pikiranku melayang. Aku seperti merasa kecolongan, tapi karena apa? Seandainya Hasbi tahu bagaimana besarnya inginku untuk pulang bersamanya. Bibirku terlalu berat untuk bilang iya. Kekhawatiranku juga terlalu besar. Khawatir dia akan tahu, kalau aku menyayanginya.
Hasbi, aku menunggu kata next time itu, selalu
****
Semakin hari kenapa rasa ini semakin besar. Aku selalu takut akan sesuatu. Walaupun aku bisa membagi cinta tulusku pada Agung dan Hasbi. Rasa takut itu juga masih terasa. Tapi entah karena apa.
Semalam sebelum tidur, aku memiliki kebiasaan baru. Menulis diari imajinasi dengan memikirkan dan membayangkan kembali apa yang aku lakukan ketika melihat Hasbi. Bagaimana bahan pembicaraan ringan kami dan terasa sangat berkesan buatku. Serta memvisualisasikan wajahnya, sehingga memicu rasa sayangku. Apa aku harus mengikuti rasa ini lalu membiarkannya tumbuh dan berbuah?
Seminggu lagi menjelang pergantian tahun. Sesuai dengan agenda kantor. Rapat penyusunan acara tahun baru segera di mulai. Di ruang meeting, satu persatu dari sepuluh karyawan yang dipilih dan berasal dari berbagai cabang di seluruh Makassar berkumpul. Aku duduk dan mengambil tempat lebih dahulu. Beberapa ada yang tidak aku kenal wajahnya. Wajar, karena intensitas kami bertemu nyaris tidak ada. Namun sosok gadis di sana berlari kecil dan duduk di sampingku.
“Lili, apa kabar? Sudah lama kita tidak ketemu.” Itu Sisi. dia terlihat sangat antusias, begitu pula denganku. Terakhir kami bertemu sebulan yang lalu itupun secara tidak sengaja di sebuah mall. Lokasi kerja kami yang berjauhan tidak memungkinkan untuk bisa bertemu setiap hari.
“Iya sama. Kamu makin cantik saja sekarang,” sanjungku.
“Kalau aku sudah cantik, kau lebih cantik lagi, Lili. Sejak kuliah kan kau paling banyak ditaksir cowok.”
Kami berdua tertawa ringan. Namun melihat peserta rapat sudah lengkap, kami berdua memasang tampang serius. Ini bukan tempat untuk nge-rumpi.
Rapat di mulai. Meja persegi panjang terdapat di ruangan ini. Lima karyawan duduk di seberang, juga lima karyawan lain duduk sejajar denganku. Aku duduk paling tengah dan samping kananku ada Sisi. Tak lama, seseorang berdiri di ambang pintu. Tersenyum padaku dengan tatapan dalamnya. Itu Hasbi. Apa yang ia lakukan di sini? Oh iya aku baru ingat kalau dia mau nguping apa yang menjadi pembicaraan rapat.
Aku membalas senyumnya namun ia berbicara denganku tanpa suara. Tak jelas kudengar, namun tiba-tiba wanita di sampingku berbicara seperti membisik. Aku sontak berbalik ke arah kiri. Kemudian berbalik lagi ke arah Hasbi. Ternyata Hasbi bukan tersenyum padaku. Melainkan pada wanita ini. Wanita yang seumuran denganku, mungkin. Aku menunduk karena malu, semoga tidak ada yang melihatku, dan semoga Hasbi tidak sempat melihatku yang ikut tersenyum padanya.
Rapat akhirnya benar-benar dimulai. Wanita di samping kiriku berdiri dan beranjak dari kursinya. Ia sangat wangi. Tubuhnya langsing, berkulit putih dan rambut yang diikat. Ia juga memakai kacamata dengan bingkai cukup besar namun terlihat elegan di matanya.
“Sisi, siapa dia?” bisikku ketika melihat wanita itu berdiri di depan kami semua. Seperti siap berbicara.
“Dia itu ketua dari acara tahun baru. Kau tidak kenal ya? Namanya Aya, tunangan pak Hasbi.”
Aku yakin tidak salah dengar. Apa tadi yang Sisi bilang? Pacar pak Hasbi? Iyap! Aku tidak berani lagi melihat wajah Hasbi yang aku tahu dirinya masih berdiri di ambang pintu. Pacar Hasbi. Pacar Hasbi. Pacar Hasbi. Pacar Hasbi. Dua kata itu terus berulang-ulang. Aku langsung tidak fokus mengikuti rapat. Rasa sedih itu terasa kembali. Aku ingin menangis namun tertahan di dalam hati. Sakit sekali. Orang yang sudah terlanjur kusayang ternyata bukan milikku. Dan tidak akan pernah menjadi milikku.
****
Di kamar yang menjadi tempat privasi, aku melampiaskan rasa sedih yang tak kuduga. Apa ini ganjaran buatku? Karena telah mencintai pria selain Agung dan aku diberi balasan dengan pernyataan, aku tidak akan bisa bersama Hasbi. Tunggu dulu, apa yang aku pikirkan? Memang kan aku tidak pernah bisa bersamanya. Meskipun aku mencintainya dan kalau dia juga mencintaiku, Agung mau aku kemanakan? Tapi rasa itu... rasaku... sayangku padanya, terlanjur berbuah dengan sangat cepat.
Aku memeluk bantal dengan mata berkaca-kaca. Kenapa aku harus merasakan semua ini? orang yang cuek padaku, orang yang tidak memerdulikanku, bahkan mungkin tidak menyayangiku, berperan sebagai kekasihku. Sekarang ketika aku bertemu dengan orang yang tepat, dari luar dan dalam membuatku bahagia, tapi sangat tidak mungkin hanya untuk aku menyentuh tangannya. Aku ingin menangis sekencang-kencangnya. Aku ingin merasakan lega ketika air mataku mengalir. Namun deras air mata yang kuharapkan tidak keluar. Malah masih tertahan di dalam dada dan membuatku sangat sakit.
Aku memang belum beruntung untuk menjatuhkan hatimu. Aku terlalu terlambat untuk bertemu denganmu dan terlalu cepat merasakan cinta sebelum aku tahu siapa kamu sebenarnya. Sulit dipungkiri dan memang harus aku akui, ketika bersama Hasbi, aku merasa hidup, bahkan melupakan sikap acuh dari kekasihku yang sebenarnya.
****
Kembali bekerja. Menjalani aktifitas perbankan seperti biasanya. Tapi buatku ada beban baru yang kupikul. Beban perasaan yang tak terbalaskan dan meninggalkan sedih yang masih belum hilang. Aku bertekad untuk melupakan semua tentang Hasbi. Membuangnya dari pikiran dan perasaanku. Melupakan sosoknya. Namun sedetik kemudian usahaku tersebut runtuh seketika. Hasbi telah sampai di kantor dengan sosok yang masih memaksaku memasukkannya di dalam dadaku. Melupakan seseorang yang selalu bertemu denganmu adalah hal yang paling sulit.
Bersikap biasa dan berusaha tidak melibatkan lagi perasaan. Itulah menjadi taktikku saat ini. Hasbi melintas di depan mejaku, namun aku lebih memilih menunduk pura-pura sibuk dengan pekerjaan. Sebiasa mungkin aku harus bersikap biasa denganya. Dan secepatnya perasaanku ini harus hilang!
****
Kembali lembur. Waktu pulang lebih lama dibanding kemarin. Jam sembilan malam! Aku semakin cemas. Sama sekali sopir angkutan umum sudah pulang. Waktu dulu saja aku menunggu hampir 30 menit di pinggir jalan. Tapi mau bagaimana lagi. Cuma itu kendaraanku pulang.
Aku mulai gelisah. Sepuluh menit pertama angkutan umum tetap tidak ada yang melintas.
PIIP!!
 Sebuah klakson mobil berbunyi di belakangku. Aku yang memang berdiri di depan gerbang sedikit menyingkir.
“Lili! Ayo pulang bareng!” itu Hasbi. Ada rasa bahagia dan takut ketika melihat dirinya. Tidak ada alasan lain untuk menolak ajakannya. Tidak usah khawatir untuk tidak memakai helm.
“Tidak apa-apa ya, Hasbi?” aku berdiri di dekat jendela.
“Ya sediakan aja uang 2000 rupiah.”
Sekali lagi dia membuatku tertawa. Kubuka pintu dan duduk di sampingnya. Mobil melesat dengan lambat dan terasa sangat nyaman. Apakah sesuatu yang sangat kau harapkan akan terjadi ketika kau sudah tidak mengharapkannya? Sepertinya itu terjadi padaku. Berada di samping Hasbi sedekat dan selama ini. Hatiku terasa sangat damai. Izinkan aku untuk menikmati kebersamaan dengannya. Iya aku tahu dia tidak akan menjadi milikku, tapi izinkan aku sekali saja, merasakannya.

“Makasi ya, Hasbi. Nanti ongkosnya aku bayar.” Aku turun dari mobil dan sempat melemparkan sedikit candaan.
Hasbi menurunkanku di depan gang rumah. Langkah yang menjauh dari mobilnya membuat hatiku perlahan sendu kembali. Aku berbalik dan mobilnya sudah melesat pergi. Terima kasih Hasbi. Meskipun hanya sebentar aku merasa dekat denganmu, aku sudah sangat bahagia. Kata next time dari Hasbi sudah berhasil ia tebus.
Malam ini, air mataku berhasil mengalir deras.
****
Halaman kantor pusat yang memang luas dipenuhi seluruh karyawan dari berbagai cabang. Beragam makanan sudah siap di dalam. Namun saat ini kami akan menunggu moment pergantian tahun bersama-sama. Kembang api silinder dengan panjang satu meter pun di bagikan. Kerumunan pasukan berkemeja dan blaser memenuhi tempat ini.
Sahabatku Sisi berhasil mendapat dua. Ia memberiku satu. Aku siap meledakkannya di udara. Sembari menunggu karyawan lain mendapat bagian aku menoleh ke segala arah.
“Hei, sudah dapat ya, Li?” dia datang tepat di hadapanku. Itu Hasbi. Bersama Aya di sampingnya. Mereka berdua telah memegang masing-masing kembang api. Aku dan Hasbi bertemu lagi di acara berkesan ini. Tenang saja, selama seminggu ini aku sudah membangun benteng agar perasaanku sudah tidak melewati batas. Kehadirannya di dekatku aku anggap sebagai ujian buatku. Menahan perasaan yang sebenarnya sangat kuat.
“SIAP SEMUANYA?” seorang pria memberi aba-aba. Semua kembang api di hadapkan di udara. Sisi berdiri di samping kananku. Hasbi berdiri di samping kiriku, berdempet dan menyentuh lenganku. Sedangkan Aya berdiri di samping kiri Hasbi.
Kembang api serentak dinyalakan. Beberapa detik kemudian ledakan diudara menggelegar. Kembang apiku dan kembang api Hasbi sama-sama melesat dan menyatu di angkasa.
Izinkan aku sekali lagi menatap wajahnya. hasratku untuk melihatnya mengalahkan Kembang api yang begitu indah. Aku menunduk dan menutup mata. Aku berharap di tahun 2014 ini, perasaanku kepada Hasbi sirna dengan sempurna. Biarkan dia bahagia dengan kekasihnya. Perasaanku kepada Hasbi menghilang diganti dengan sikap Agung kepadaku yang berubah menjadi seperti yang kuinginkan. Benar kata Hasbi tempo hari, pergantian tahun ini tidak akan pernah aku lupakan. Disaat aku merelakan sebuah cinta tulus untuk jalan yang lebih baik.
Aku membuka mata dan kembali menikmati letusan kembang api. Senyumku terulas lebar. Air mataku berlinang setetes.
Itulah harapanku.

SELESAI