Dengan
kecepatan yang tak biasa aku bersama Leya menelusuri hutan. Di kiri dan kananku
hanya ada pepohonan yang tinggi menjulang. Laju lariku kini tak secepat manusia
biasa. Semua ini dapat kulakukan berkat kemampuan sihirku.
Aku
harus keluar dari hutan dan segera menemukan kupu-kupu Arca. Jubah putih yang
kukenakan tak menghalangi lincahnya kakiku untuk berlari. Rambut kuning
gadingku yang terurai hanya berkibar kencang. Nyaris aku tak dapat melihat
pohon yang kulewati. Ujung hutan ini sudah mulai terlihat. Jauh di sana ada
sebuah sungai kecil pembatas sekaligus penghubung dengan hutan di sebelahnya.
Hutan tempat kemunculan kupu-kupu Arca.
“Percepat
larimu, Valley. Sebentar lagi gelap!” seru Leya yang berada sedikit di depanku.
Leya terlihat lebih gesit dari pada aku. Dengan jubah coklat yang hanya
berujung di atas lututnya. Sepatu boot hitam kuat yang menutupi kaki hingga
betisnya. Dia jauh lebih kuat dariku. Dia jago bertarung dan jago semua sihir. Rambut
hitamnya yang ikut berkibar tak menghilangkan sisi feminim dari Leya.
Aku
Valley. Orang-orang di sini mengenalku dengan julukan Valley Sang Gadis Suci.
Aku tinggal di sebuah kerajaan yang bernama Larza. Larza yang terletak di tanah
Lemuira, dipimpin oleh Dirvas yang bijaksana. Dirvas adalah sosok Raja yang
juga petarung elit dan unggul dalam segala hal, termasuk kemampuan sihirnya
merupakan yang paling kuat di Larza. Sihir yang digunakan di Larza hanya
melalui pikiran. Kadang dengan mantra ataupun tongkat. Namun di sini tongkat
dan mantra hanya berfungsi untuk melipat gandakan sihir.
Dirvas
terbilang berhasil memimpin Larza selama ini. Tak ada perang yang berkecamuk
seperti yang dilakukan Bangsa Atlantis. Kami hidup damai dan tentram. Dirvas
menganggkatku sebagai Gadis Suci pendamping pendeta tertinggi bernama Larkon,
ayah Leya. Sebelumnya aku tak menyangka kenapa bukan Leya yang dipilih sebagai
gadis suci tersebut.
Sebenarnya
aku tak terlalu suka membanggakan diriku. Membanggakan diri seperti mengatakan
aku mengusai sihir bertempur. Selain itu, melindungi, menyembuhkan serta
melipat gandakan kemampuan sihir orang lain. Ada satu tugas dari Dirvas yang
membuatku bangga sekaligus takut. Aku dan Leerkon diminta untuk menjaga ruang
rahasia tepat di bawah tanah istana Larza. Sebenarnya bukan ruangannya yang
rahasia. Melainkan apa yang ada di dalamnya. Di dalamnya banyak benda pusaka
koleksi Dirvas yang sangat sensitif. Hanya aku, Leerkon, dan Dirvas lah yang
boleh ke sana.
Aku
yang ditunjuk untuk memegang kunci dari ruangan itu. Sebuah kunci baja bercampur
berlian hitam. Kubawa setiap saat kunci tersebut, dan kulingkarkan di leherku
sebagai kalung.
Kembali
ke sahabatku Leya. Walaupun kini ia tak diangkat sebagai gadis suci, kehebatan
sihir dan bertarungnya, membuat ia mendapat julukan pembelah angin. Ia dapat membela
angin dengan satu tebasan pedang baja yang dimilikinya. Aku juga memberinya sebuah
tongkat sihir yang ujungnya berhias kristal merah.
Sebuah
sungai dangkal telah terpampang di depan mata. Aku dan Leya melakukan lompatan
hingga sungai yang cukup lebar itu dapat terseberangi. Dengan pijakan kokoh,
aku dan Leya dapat mendarat dengan mulus.
“Apa
kau yakin kupu-kupu Arca dapat menangkal seseorang dari penyakit selama lima
tahun ke depan?” tanya Leya sebelum memasuki hutan.
“Aku
yakin, Leya. Arca adalah hadiah yang pas untuk Dirvas di malam perayaan nanti,”
jawabku sumringah
“Baiklah,
kita mulai!” ujar Leya langsung melesat berlari ke dalam hutan. Aku ikut
berlari dan memilih arah yang berlainan dengan Leya. Kami berpencar guna
memudahkan pencarian.
Malam
nanti adalah malam perayaan untuk Dirvas. Sebuah tradisi rutin yang dilakukan
seluruh rakyat Larza setahun sekali. Sebuah perayaan untuk memperingati bahwa
Dirvas telah berhasil memimpin dan memberi kemakmuran dalam setahun terakhir.
Rakyat Larza memiliki kebiasaan, memberikan sesuatu pada Dirvas di perayaan
tersebut. Rakyat berbondong-bondong mencari hadiah hanya untuk membuat Dirvas
terkesan.
Aku
dan Leya sangat terlambat. Baru kami sadar malam nanti perayaan itu akan
dilaksanakan. Karena sibuk dengan urusan istana, membuat kami tak memikirkan
jauh hari tentang perayaan tersebut. Ketika Leerkon menanyai anaknya, akan
memberikan hadiah apa untuk Dirvas, barulah kami berubah panik untuk mencari
sesuatu yang pas.
Untung
aku tahu hadiah apa yang sangat pas untuk Dirvas. Seekor kupu-kupu Arca yang
hanya muncul sepuluh tahun sekali. Kupu-kupu langkah yang sebenarnya sangat
diinginkan semua orang. Hanya saja cara mendapatkannya susah, karena berada di
tengah hutan, dan ukuran Arca hanya selebar telapak tangan.
Aku
menggelengkan paksa kepalaku. Kembali fokus untuk tujuan utama. Senja sebentar lagi
menghilang. Tepat saat matahari terbenam sempurna, di situlah pesta perayaan dimulai.
Dan, tentunya kami tak ingin terlambat menghadirinya.
Kupakai
sihirku untuk melihat benda dari kejauhan sehingga lebih jelas. Semuanya Terlihat
lebih dekat dari biasanya. Sesekali aku berlari, dan sesekali terdiam memutar
pandangan. Aku belum menemukan Arca. Di mana serangga itu? Hanya ada batang
pohon dan dedaunan yang gugur satu persatu.
Walaupun
penglihatanku jauh lebih tajam dari seekor elang, aku tetap tak bisa melihat
satu benda bila terhalang benda padat. Aku melihat sebuah kupu-kupu tapi hanya
berwarna putih polos. Kupu-kupu Arca adalah kupu-kupu yang memiliki tujuh warna
berbeda di sayapnya. Kadang mengeluarkan cahaya hingga mudah ditemukan.
Tak
ada apapun di sini. Leya pun tak kuketahui keberadaannya di mana. Mataku menangkap setitik cahaya. Jauh di
sana. Aku spontan berbalik dan mengumpulkan fokus. Itu Leya! Ada sesuatu di
tangan Leya yang bersinar. Sinarnya berganti-ganti sesuai jumlah warna yang ada
di sayap Arca. Aku mengulas senyum lega. Aku lega Leya lebih telah
menemukannya.
Tunggu
dulu, di mana Leya? Dia tiba-tiba menghilang di balik pepohonan. Aku berlari
sekencang mungkin ke tempat ia berada. Namun nihil. Ia menghilang. Apa dia
sudah lebih dulu keluar dari hutan ini ya? Baiklah, segera kuberlari dan
melesat kencang keluar dari hutan. Tatapanku masih fokus ke depan. Hanya ada
pepohonan tanpa Leya. Tak memakan waktu yang lama, kakiku sudah mendarat di
tepi sungai tempatku tadi.
Leya?
Itu Leya? Dia berlari masuk ke arah hutan menuju istana Larza. Kenapa dia tak
menungguku? Untung tatapan elangku masih aktif sehingga kutangkap dia dengan
penglihatanku. Aku segera menyusulnya. Semakin kutingkatkan kecepatan, tapi
Leya jauh lebih cepat. Apa yang ada di pikiran Leya? Jangan katakan dia ingin
mengambil Arca untuk kepentingannya sendiri? Ah tidak mungkin Leya seperti itu.
Namun kenapa Leya tak menunggu atau mencariku? Kita kan bisa pulang sama-sama.
Di
tengah laju lariku aku terhenti karena melihat sesuatu. Itu bunga Edeska. Bunga
dengan kembang mirip tulip namun berwarna merah mudah transparan. Tangkainya
berwarna putih nan halus. Senyumku terkembang.
“Setidaknya
Dirvas bisa tersenyum bila menerima ini,” desahku memetik Edeska. Tak apalah
kalau Leya mengambil Arca untuk dirinya sendiri. Lagi pula Edeska tak kalah
luar biasa dari Arca. Edeska adalah bunga yang berkhasiat membuat suasana hati
siapa saja yang menjadi lebih tenang.
Namun
tiba-tiba aku teringat akan sesuatu. Sesuatu yang sangat penting tentang Arca.
“Oh
tidak,” ujarku seketika melesat pergi menyusul Leya. Matahari telah terbenam
namun langit masih berwarna jingga. Beberapa menit lagi matahari akan terbenam
sempurna. Aku harus segera mencegah Leya memberikan Arca itu kepada Dirvas.
Lajuku
berhenti ketika mendapati halaman istana telah penuh dengan manusia. Di depanku
telah terpampang jelas istana tempat tinggal Dirvas, tempat tinggalku juga
bersama Leya dan ayahnya. Sebuah istana yang seluruh bangunan berwarna kuning
gading. Aku menyebar pandangan guna menemukan Leya. Aku melihat dua menara
dengan jendela yang terlihat kecil dari tempatku sekarang. Beranda luas di
lantai atas yang telah dipenuhi manusia dan halaman depan istana yang tak
lapang lagi seperti biasa.
Semua
tamu yang adalah penduduk Larza sendiri telah siap dengan pakaian resmi khas
Larza. Untuk perempuan, sebuah gaun panjang yang menggantung hingga menutupi
kedua kaki kecuali bahu dan lengan mereka. Dan untuk laki-laki, baju kain tebal
yang menutup seluruh tubuh kecuali leher, kepala dan telapak tangan, ditambah
sebuah mantel tipis yang menempel di punggung mereka masing-masing.
Ada
beberapa yang datang dengan tangan kosong, ada pula membawa sesuatu yang tak
kutahu barang apa itu. Tidak ada waktu untuk berdiam diri. Pesta telah dimulai.
Berarti penyerahan hadiah sedang berlangsung. Dirvas ada di bagian dalam
istana. Selalu seperti itu bila dilakukan perayaan khusus. Aku ingin berlari
dengan kemampuan sihir, tapi sayang menurut tradisi Larza, berlari di tengah
kerumunan apalagi di saat pesta seperti ini dinilai tak sopan.
Jadi,
aku hanya bisa berjalan cepat sambil
menghindari papasan orang-orang. Tangga lebar yang melengkung di depanku
menjadi jalan penghubung menuju istana bagian atas. Kusingsing gaun agar
langkahku mulus ketika menaiki tangga. Semakin mendekat menuju aula istana,
semakin padat orang-orang yang kulihat.
Langkahku
tak selancar tadi. Aku terhenti di depan pintu utama aula. Di depan sana sebuah
singgasana super megah telah terisi oleh seorang pria paruh baya. Pria tampan
dengan kulit cerah, wibawa yang terpancar nyata. Pakaian resmi berwarna merah
gelap menutupi seluruh tubuhnya. Rambut panjang kuning gadingnya makin
memancarkan aura pemiliknya. Dialah, Dirvas yang bijaksana.
Beberapa
rakyat dengan percaya dirinya menghampiri Dirvas sambil memberi pemberian
mereka. Dan di sanalah kulihat Leya. Dia menunggu tepat di belakang seorang
pria yang juga memberi sesuatu untuk Dirvas.
“Tidak,
Leya,” tatapan elang kuaktifkan. Arca di tangan Leya telah layu. Arca itu sudah
mati. Aku lupa mengatakan pada Leya kalau Arca itu sangatlah lemah. Leya pasti
terlalu keras memegangnya hingga Arca itu meregang nyawa. Aku harus mencegah
Leya memberi Arca itu pada Dirvas.
Tak
peduli kerumunan orang di depanku. Aku berlari sekencang mungkin dengan
kemampuan sihirku. Namun baru setengah jalan, aku terhenti karena ujaran Dirvas
yang terdengar sangat lantang. Kami semua terdiam. Perhatian kami tertuju pada
Dirvas dan Leya.
“Leya!”
seru Dirvas. Oh tidak, kenapa aku bisa lupa mengatakan pada Leya bagian yang
terpenting dari Arca. “Kau ingin membunuhku?” tanya Dirvas dengan tatapan
tajam. Aku berada di tengah aula sedangkan Leya masih jauh di depan sana.
“Maksudnya,
Yang Mulia?” Leya gagap. Jelas Leya tak tahu kalau fungsi Arca akan berbalik
jika Arca sudah tak bernyawa. Fungsinya untuk menangkal segala penyakit berubah
menjadi racun yang dapat mematikan siapa saja kurang dari tiga puluh detik.
Aku
terperangah dibuatnya. “Yang mulia, Leya tak tahu sama sekali tentang Arca.”
Tanpa memikirkan resiko lagi, aku menghampiri Dirvas. Kini perhatian semua
orang tertuju padaku.
“Apa
maksudmu, Valley? Kenapa Leya dengan berani memberikan Arca untukku sedangkan
dia tak tahu banyak tentang Arca yang akan diberikan padaku?” tanya Dirvas
dengan nada teratur. Dirvas memang raja yang bijaksana, namun ia dapat berubah
tegas pada siapapun yang dianggap menganggu.
“Semua
ini salahku. Yang Mulia,” sambungku. Leya menatapku dengan tatapan marah.
Dirvas terdiam beberapa detik memandangku. Bunga Edeska masih kugenggam, semoga
dengan jarakku sejauh ini, Edeska sudah mulai bekerja.
Dirvas
tersenyum kecil, “Kau tahu aku tak bisa dibohongi kan?” tanya singkat Dirvas
memandangku lalu memandang Leya. Yah benar sekali, kemampuan sihir Dirvas yang
tak tertandingi membuatnya bisa mendeteksi kebohongan seseorang. Aku tak
bersuara sedikitpun. Kini tatapan Dirvas hanya terpaku pada Leya.
“Leya,
sudah berapa kali kau membuatku tak nyaman dengan ulahmu?” Dirvas masih memakai
nada pelan. Leya hanya bisa menunduk. “Baiklah, malam ini kau tidur di
Florukh,” sambung singkat Dirvas Mengejutkanku. Apalagi Leya yang seketika
memandang Dirvas dengan hentakan kepalanya. “Kenapa Leya? Apa kau punya
pembelaan?” Dirvas mempersilahkan.
Namun
sayang, mulut Leya terkunci rapat. Aku ingin sekali berteriak dan memaksa Leya
untuk membuka mulut. Dirvas menghela napas panjang, “Baiklah, aku maafkan kamu
untuk kesekian kalinya,” tutup Dirvas. Senyumku terulas meski tak begitu lega.
Aku yakin Dirvas sudah sangat bersabar menghadapi Leya.
Satu
yang sangat kusesali dari Leya. Setelah Dirvas memutuskan untuk memaafkannya,
Leya langsung melesat pergi dengan kemampuan sihirnya. Dirvas hanya bisa
menggeleng melihat ketidaksopanan Leya. Tak mau membuat suasana hati Dirvas
makin memburuk, aku segera menghampiri dan memberi bunga Edeska langsung
padanya.
“Terima
kasih, Valley,” tutur Dirvas dengan ulasan senyumnya. Dia menerima Edeska tanpa
ragu.
“Sama-sama,
Yang mulia. Tolong maafkan Leya. Aku akan berusaha menenangkan dirinya,”
sambungku.
Dirvas
terdiam menatap Edeska, “Sepertinya Leya lebih membutuhkan ini dari padaku.
Berikanlah padanya.” Dirvas memberiku Edeska di tangannya.
“Tapi,
Yang mulia...”
“Aku
tidak apa-apa,” sahutnya dengan tatapan teduh.
Aku
meninggalkan pesta. Keluar dari area istana untuk mencari Leya. Aku tahu di
mana ia berada. Bila suasana hatinya sedang kacau seperti ini, di sanalah ia
memilih menenangkan diri. Aku melesat cepat, berlari ke tebing bulan. Jaraknya
cukup jauh dari istana, tapi dengan kemampuan sihir rakyat Larza, tak akan
pernah ada kata jauh.
Aku
berhenti tepat di bawah tebing. Kupalingkan tatapanku ke atas. Aku melihat
jelas ada Leya di sana. Dia duduk tepat di tepi tebing. Kakinya di ayun ke
bawah sambil menatap bulan yang terlihat sangat dekat. Kuberlari sangat kencang
dan seketika aku berada tepat di belakang Leya.
Di
atas sini angin terbilang cukup kencang. Gaun putihku berkibar dan rambutku pun
demikian. Aku memutar pandangan, hampir wilayah Larza terlihat dari sini. Namun
tinggi menara istana ternyata lebih tinggi dari tebing tempatku berada
sekarang.
“Leya,”
panggilku pelan. Aku melangkah hati-hati menghampirinya. Pedang bajanya masih
menempel di pinggang kiri Leya. Tongkat sihirnya masih menggantung di pinggang
kanannya.
“Apa
yang kau lakukan di sini? Kamu mau menertawaiku kan?” terjang Leya tanpa
berbalik.
“Tidak,
Leya. Aku kemari ingin memberimu ini,” aku langsung mendarat di samping Leya. Duduk
berdampingan dengannya sambil menyodorkan bunga Edeska.
Tatapan
tajam Leya berubah sayu ketika melihat Edeska di tanganku. Senyumku pun terulas
melihat wajah marahnya kini berubah lega. Seketika Leya memelukku. Isak
tangisnya mulai terdengar.
“Leya,”
aku terkejut.
“Maafkan
aku, Valley. Ini semua salahku. Aku mau memberi Arca seorang diri pada Dirvas.
Dan sekarang, Dirvas pasti makin membenciku. Sudah berapa kali aku ingin
membuatnya senang namun berakhir seperti ini.” Leya mengadu padaku dengan
tangis yang ia lampiaskan.
Kulepas
dekapannya, “Leya, Dirvas tidak benci padamu. Kamu mau tahu, Edeska ini adalah
pemberian darinya. Ia tak mau melihat suasana hatimu hancur di saat perayaan
penting seperti ini. Jangan menangis, Leya.” kuusap air matanya.
“Tapi,
kapan aku bisa membuatnya senang?”
“Kapan
saja. Cobalah membuat Dirvas terkesan dimulai dari hal yang sangat kecil.”
“Apa
contohnya, Valley?” tangis Leya sudah reda, namun suaranya masih terdengar
sembab.
“Mungkin
dengan kembali ke pesta dan meminta maaf padanya. Oh iya, jangan lupa berikan
sebuah pelukan. Leya, Dirvas itu bijaksana. Kau tak usah takut, dia tak akan
pernah membenci rakyatnya,” jelasku berharap Leya mau mendengarku.
“Kau
tidak marah padaku?”
“Marah
kenapa?” aku tertawa kecil
“Marah
karena mengambil...”
“Husst,
sudahlah. Aku tidak memikirkan itu lagi. Ayo Leya, hapus air matamu, rapihkan
gaun indahmu. Kita kembali ke pesta sekarang,” kataku meraih tangannya.
“Terima
kasih, Valley.” Leya menyambut tanganku dengan senyum sumringah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar