Sabtu, 22 Juni 2013

Valley The Holly Maiden (Part 1)



Dengan kecepatan yang tak biasa aku bersama Leya menelusuri hutan. Di kiri dan kananku hanya ada pepohonan yang tinggi menjulang. Laju lariku kini tak secepat manusia biasa. Semua ini dapat kulakukan berkat kemampuan sihirku.
Aku harus keluar dari hutan dan segera menemukan kupu-kupu Arca. Jubah putih yang kukenakan tak menghalangi lincahnya kakiku untuk berlari. Rambut kuning gadingku yang terurai hanya berkibar kencang. Nyaris aku tak dapat melihat pohon yang kulewati. Ujung hutan ini sudah mulai terlihat. Jauh di sana ada sebuah sungai kecil pembatas sekaligus penghubung dengan hutan di sebelahnya. Hutan tempat kemunculan kupu-kupu Arca.
“Percepat larimu, Valley. Sebentar lagi gelap!” seru Leya yang berada sedikit di depanku. Leya terlihat lebih gesit dari pada aku. Dengan jubah coklat yang hanya berujung di atas lututnya. Sepatu boot hitam kuat yang menutupi kaki hingga betisnya. Dia jauh lebih kuat dariku. Dia jago bertarung dan jago semua sihir. Rambut hitamnya yang ikut berkibar tak menghilangkan sisi feminim dari Leya.
Aku Valley. Orang-orang di sini mengenalku dengan julukan Valley Sang Gadis Suci. Aku tinggal di sebuah kerajaan yang bernama Larza. Larza yang terletak di tanah Lemuira, dipimpin oleh Dirvas yang bijaksana. Dirvas adalah sosok Raja yang juga petarung elit dan unggul dalam segala hal, termasuk kemampuan sihirnya merupakan yang paling kuat di Larza. Sihir yang digunakan di Larza hanya melalui pikiran. Kadang dengan mantra ataupun tongkat. Namun di sini tongkat dan mantra hanya berfungsi untuk melipat gandakan sihir.  
Dirvas terbilang berhasil memimpin Larza selama ini. Tak ada perang yang berkecamuk seperti yang dilakukan Bangsa Atlantis. Kami hidup damai dan tentram. Dirvas menganggkatku sebagai Gadis Suci pendamping pendeta tertinggi bernama Larkon, ayah Leya. Sebelumnya aku tak menyangka kenapa bukan Leya yang dipilih sebagai gadis suci tersebut.
Sebenarnya aku tak terlalu suka membanggakan diriku. Membanggakan diri seperti mengatakan aku mengusai sihir bertempur. Selain itu, melindungi, menyembuhkan serta melipat gandakan kemampuan sihir orang lain. Ada satu tugas dari Dirvas yang membuatku bangga sekaligus takut. Aku dan Leerkon diminta untuk menjaga ruang rahasia tepat di bawah tanah istana Larza. Sebenarnya bukan ruangannya yang rahasia. Melainkan apa yang ada di dalamnya. Di dalamnya banyak benda pusaka koleksi Dirvas yang sangat sensitif. Hanya aku, Leerkon, dan Dirvas lah yang boleh ke sana.
Aku yang ditunjuk untuk memegang kunci dari ruangan itu. Sebuah kunci baja bercampur berlian hitam. Kubawa setiap saat kunci tersebut, dan kulingkarkan di leherku sebagai kalung.
Kembali ke sahabatku Leya. Walaupun kini ia tak diangkat sebagai gadis suci, kehebatan sihir dan bertarungnya, membuat ia mendapat julukan pembelah angin. Ia dapat membela angin dengan satu tebasan pedang baja yang dimilikinya. Aku juga memberinya sebuah tongkat sihir yang ujungnya berhias kristal merah.
Sebuah sungai dangkal telah terpampang di depan mata. Aku dan Leya melakukan lompatan hingga sungai yang cukup lebar itu dapat terseberangi. Dengan pijakan kokoh, aku dan Leya dapat mendarat dengan mulus.
“Apa kau yakin kupu-kupu Arca dapat menangkal seseorang dari penyakit selama lima tahun ke depan?” tanya Leya sebelum memasuki hutan.
“Aku yakin, Leya. Arca adalah hadiah yang pas untuk Dirvas di malam perayaan nanti,” jawabku sumringah
“Baiklah, kita mulai!” ujar Leya langsung melesat berlari ke dalam hutan. Aku ikut berlari dan memilih arah yang berlainan dengan Leya. Kami berpencar guna memudahkan pencarian.
Malam nanti adalah malam perayaan untuk Dirvas. Sebuah tradisi rutin yang dilakukan seluruh rakyat Larza setahun sekali. Sebuah perayaan untuk memperingati bahwa Dirvas telah berhasil memimpin dan memberi kemakmuran dalam setahun terakhir. Rakyat Larza memiliki kebiasaan, memberikan sesuatu pada Dirvas di perayaan tersebut. Rakyat berbondong-bondong mencari hadiah hanya untuk membuat Dirvas terkesan.
Aku dan Leya sangat terlambat. Baru kami sadar malam nanti perayaan itu akan dilaksanakan. Karena sibuk dengan urusan istana, membuat kami tak memikirkan jauh hari tentang perayaan tersebut. Ketika Leerkon menanyai anaknya, akan memberikan hadiah apa untuk Dirvas, barulah kami berubah panik untuk mencari sesuatu yang pas.
Untung aku tahu hadiah apa yang sangat pas untuk Dirvas. Seekor kupu-kupu Arca yang hanya muncul sepuluh tahun sekali. Kupu-kupu langkah yang sebenarnya sangat diinginkan semua orang. Hanya saja cara mendapatkannya susah, karena berada di tengah hutan, dan ukuran Arca hanya selebar telapak tangan.
Aku menggelengkan paksa kepalaku. Kembali fokus untuk tujuan utama. Senja sebentar lagi menghilang. Tepat saat matahari terbenam sempurna, di situlah pesta perayaan dimulai. Dan, tentunya kami tak ingin terlambat menghadirinya.
Kupakai sihirku untuk melihat benda dari kejauhan sehingga lebih jelas. Semuanya Terlihat lebih dekat dari biasanya. Sesekali aku berlari, dan sesekali terdiam memutar pandangan. Aku belum menemukan Arca. Di mana serangga itu? Hanya ada batang pohon dan dedaunan yang gugur satu persatu.
Walaupun penglihatanku jauh lebih tajam dari seekor elang, aku tetap tak bisa melihat satu benda bila terhalang benda padat. Aku melihat sebuah kupu-kupu tapi hanya berwarna putih polos. Kupu-kupu Arca adalah kupu-kupu yang memiliki tujuh warna berbeda di sayapnya. Kadang mengeluarkan cahaya hingga mudah ditemukan.
Tak ada apapun di sini. Leya pun tak kuketahui keberadaannya di mana.  Mataku menangkap setitik cahaya. Jauh di sana. Aku spontan berbalik dan mengumpulkan fokus. Itu Leya! Ada sesuatu di tangan Leya yang bersinar. Sinarnya berganti-ganti sesuai jumlah warna yang ada di sayap Arca. Aku mengulas senyum lega. Aku lega Leya lebih telah menemukannya.
Tunggu dulu, di mana Leya? Dia tiba-tiba menghilang di balik pepohonan. Aku berlari sekencang mungkin ke tempat ia berada. Namun nihil. Ia menghilang. Apa dia sudah lebih dulu keluar dari hutan ini ya? Baiklah, segera kuberlari dan melesat kencang keluar dari hutan. Tatapanku masih fokus ke depan. Hanya ada pepohonan tanpa Leya. Tak memakan waktu yang lama, kakiku sudah mendarat di tepi sungai tempatku tadi.
Leya? Itu Leya? Dia berlari masuk ke arah hutan menuju istana Larza. Kenapa dia tak menungguku? Untung tatapan elangku masih aktif sehingga kutangkap dia dengan penglihatanku. Aku segera menyusulnya. Semakin kutingkatkan kecepatan, tapi Leya jauh lebih cepat. Apa yang ada di pikiran Leya? Jangan katakan dia ingin mengambil Arca untuk kepentingannya sendiri? Ah tidak mungkin Leya seperti itu. Namun kenapa Leya tak menunggu atau mencariku? Kita kan bisa pulang sama-sama.
Di tengah laju lariku aku terhenti karena melihat sesuatu. Itu bunga Edeska. Bunga dengan kembang mirip tulip namun berwarna merah mudah transparan. Tangkainya berwarna putih nan halus. Senyumku terkembang.
“Setidaknya Dirvas bisa tersenyum bila menerima ini,” desahku memetik Edeska. Tak apalah kalau Leya mengambil Arca untuk dirinya sendiri. Lagi pula Edeska tak kalah luar biasa dari Arca. Edeska adalah bunga yang berkhasiat membuat suasana hati siapa saja yang menjadi lebih tenang.
Namun tiba-tiba aku teringat akan sesuatu. Sesuatu yang sangat penting tentang Arca.
“Oh tidak,” ujarku seketika melesat pergi menyusul Leya. Matahari telah terbenam namun langit masih berwarna jingga. Beberapa menit lagi matahari akan terbenam sempurna. Aku harus segera mencegah Leya memberikan Arca itu kepada Dirvas.


Lajuku berhenti ketika mendapati halaman istana telah penuh dengan manusia. Di depanku telah terpampang jelas istana tempat tinggal Dirvas, tempat tinggalku juga bersama Leya dan ayahnya. Sebuah istana yang seluruh bangunan berwarna kuning gading. Aku menyebar pandangan guna menemukan Leya. Aku melihat dua menara dengan jendela yang terlihat kecil dari tempatku sekarang. Beranda luas di lantai atas yang telah dipenuhi manusia dan halaman depan istana yang tak lapang lagi seperti biasa.
Semua tamu yang adalah penduduk Larza sendiri telah siap dengan pakaian resmi khas Larza. Untuk perempuan, sebuah gaun panjang yang menggantung hingga menutupi kedua kaki kecuali bahu dan lengan mereka. Dan untuk laki-laki, baju kain tebal yang menutup seluruh tubuh kecuali leher, kepala dan telapak tangan, ditambah sebuah mantel tipis yang menempel di punggung mereka masing-masing.
Ada beberapa yang datang dengan tangan kosong, ada pula membawa sesuatu yang tak kutahu barang apa itu. Tidak ada waktu untuk berdiam diri. Pesta telah dimulai. Berarti penyerahan hadiah sedang berlangsung. Dirvas ada di bagian dalam istana. Selalu seperti itu bila dilakukan perayaan khusus. Aku ingin berlari dengan kemampuan sihir, tapi sayang menurut tradisi Larza, berlari di tengah kerumunan apalagi di saat pesta seperti ini dinilai tak sopan.
Jadi, aku hanya bisa  berjalan cepat sambil menghindari papasan orang-orang. Tangga lebar yang melengkung di depanku menjadi jalan penghubung menuju istana bagian atas. Kusingsing gaun agar langkahku mulus ketika menaiki tangga. Semakin mendekat menuju aula istana, semakin padat orang-orang yang kulihat.
Langkahku tak selancar tadi. Aku terhenti di depan pintu utama aula. Di depan sana sebuah singgasana super megah telah terisi oleh seorang pria paruh baya. Pria tampan dengan kulit cerah, wibawa yang terpancar nyata. Pakaian resmi berwarna merah gelap menutupi seluruh tubuhnya. Rambut panjang kuning gadingnya makin memancarkan aura pemiliknya. Dialah, Dirvas yang bijaksana.
Beberapa rakyat dengan percaya dirinya menghampiri Dirvas sambil memberi pemberian mereka. Dan di sanalah kulihat Leya. Dia menunggu tepat di belakang seorang pria yang juga memberi sesuatu untuk Dirvas.
“Tidak, Leya,” tatapan elang kuaktifkan. Arca di tangan Leya telah layu. Arca itu sudah mati. Aku lupa mengatakan pada Leya kalau Arca itu sangatlah lemah. Leya pasti terlalu keras memegangnya hingga Arca itu meregang nyawa. Aku harus mencegah Leya memberi Arca itu pada Dirvas.
Tak peduli kerumunan orang di depanku. Aku berlari sekencang mungkin dengan kemampuan sihirku. Namun baru setengah jalan, aku terhenti karena ujaran Dirvas yang terdengar sangat lantang. Kami semua terdiam. Perhatian kami tertuju pada Dirvas dan Leya.
“Leya!” seru Dirvas. Oh tidak, kenapa aku bisa lupa mengatakan pada Leya bagian yang terpenting dari Arca. “Kau ingin membunuhku?” tanya Dirvas dengan tatapan tajam. Aku berada di tengah aula sedangkan Leya masih jauh di depan sana.
“Maksudnya, Yang Mulia?” Leya gagap. Jelas Leya tak tahu kalau fungsi Arca akan berbalik jika Arca sudah tak bernyawa. Fungsinya untuk menangkal segala penyakit berubah menjadi racun yang dapat mematikan siapa saja kurang dari tiga puluh detik.
Aku terperangah dibuatnya. “Yang mulia, Leya tak tahu sama sekali tentang Arca.” Tanpa memikirkan resiko lagi, aku menghampiri Dirvas. Kini perhatian semua orang tertuju padaku.
“Apa maksudmu, Valley? Kenapa Leya dengan berani memberikan Arca untukku sedangkan dia tak tahu banyak tentang Arca yang akan diberikan padaku?” tanya Dirvas dengan nada teratur. Dirvas memang raja yang bijaksana, namun ia dapat berubah tegas pada siapapun yang dianggap menganggu.
“Semua ini salahku. Yang Mulia,” sambungku. Leya menatapku dengan tatapan marah. Dirvas terdiam beberapa detik memandangku. Bunga Edeska masih kugenggam, semoga dengan jarakku sejauh ini, Edeska sudah mulai bekerja.
Dirvas tersenyum kecil, “Kau tahu aku tak bisa dibohongi kan?” tanya singkat Dirvas memandangku lalu memandang Leya. Yah benar sekali, kemampuan sihir Dirvas yang tak tertandingi membuatnya bisa mendeteksi kebohongan seseorang. Aku tak bersuara sedikitpun. Kini tatapan Dirvas hanya terpaku pada Leya.
“Leya, sudah berapa kali kau membuatku tak nyaman dengan ulahmu?” Dirvas masih memakai nada pelan. Leya hanya bisa menunduk. “Baiklah, malam ini kau tidur di Florukh,” sambung singkat Dirvas Mengejutkanku. Apalagi Leya yang seketika memandang Dirvas dengan hentakan kepalanya. “Kenapa Leya? Apa kau punya pembelaan?” Dirvas mempersilahkan.
Namun sayang, mulut Leya terkunci rapat. Aku ingin sekali berteriak dan memaksa Leya untuk membuka mulut. Dirvas menghela napas panjang, “Baiklah, aku maafkan kamu untuk kesekian kalinya,” tutup Dirvas. Senyumku terulas meski tak begitu lega. Aku yakin Dirvas sudah sangat bersabar menghadapi Leya.
Satu yang sangat kusesali dari Leya. Setelah Dirvas memutuskan untuk memaafkannya, Leya langsung melesat pergi dengan kemampuan sihirnya. Dirvas hanya bisa menggeleng melihat ketidaksopanan Leya. Tak mau membuat suasana hati Dirvas makin memburuk, aku segera menghampiri dan memberi bunga Edeska langsung padanya.
“Terima kasih, Valley,” tutur Dirvas dengan ulasan senyumnya. Dia menerima Edeska tanpa ragu.
“Sama-sama, Yang mulia. Tolong maafkan Leya. Aku akan berusaha menenangkan dirinya,” sambungku.
Dirvas terdiam menatap Edeska, “Sepertinya Leya lebih membutuhkan ini dari padaku. Berikanlah padanya.” Dirvas memberiku Edeska di tangannya.
“Tapi, Yang mulia...”
“Aku tidak apa-apa,” sahutnya dengan tatapan teduh.


Aku meninggalkan pesta. Keluar dari area istana untuk mencari Leya. Aku tahu di mana ia berada. Bila suasana hatinya sedang kacau seperti ini, di sanalah ia memilih menenangkan diri. Aku melesat cepat, berlari ke tebing bulan. Jaraknya cukup jauh dari istana, tapi dengan kemampuan sihir rakyat Larza, tak akan pernah ada kata jauh.
Aku berhenti tepat di bawah tebing. Kupalingkan tatapanku ke atas. Aku melihat jelas ada Leya di sana. Dia duduk tepat di tepi tebing. Kakinya di ayun ke bawah sambil menatap bulan yang terlihat sangat dekat. Kuberlari sangat kencang dan seketika aku berada tepat di belakang Leya.
Di atas sini angin terbilang cukup kencang. Gaun putihku berkibar dan rambutku pun demikian. Aku memutar pandangan, hampir wilayah Larza terlihat dari sini. Namun tinggi menara istana ternyata lebih tinggi dari tebing tempatku berada sekarang.
“Leya,” panggilku pelan. Aku melangkah hati-hati menghampirinya. Pedang bajanya masih menempel di pinggang kiri Leya. Tongkat sihirnya masih menggantung di pinggang kanannya.
“Apa yang kau lakukan di sini? Kamu mau menertawaiku kan?” terjang Leya tanpa berbalik.
“Tidak, Leya. Aku kemari ingin memberimu ini,” aku langsung mendarat di samping Leya. Duduk berdampingan dengannya sambil menyodorkan bunga Edeska.
Tatapan tajam Leya berubah sayu ketika melihat Edeska di tanganku. Senyumku pun terulas melihat wajah marahnya kini berubah lega. Seketika Leya memelukku. Isak tangisnya mulai terdengar.
“Leya,” aku terkejut.
“Maafkan aku, Valley. Ini semua salahku. Aku mau memberi Arca seorang diri pada Dirvas. Dan sekarang, Dirvas pasti makin membenciku. Sudah berapa kali aku ingin membuatnya senang namun berakhir seperti ini.” Leya mengadu padaku dengan tangis yang ia lampiaskan.
Kulepas dekapannya, “Leya, Dirvas tidak benci padamu. Kamu mau tahu, Edeska ini adalah pemberian darinya. Ia tak mau melihat suasana hatimu hancur di saat perayaan penting seperti ini. Jangan menangis, Leya.” kuusap air matanya.
“Tapi, kapan aku bisa membuatnya senang?”
“Kapan saja. Cobalah membuat Dirvas terkesan dimulai dari hal yang sangat kecil.”
“Apa contohnya, Valley?” tangis Leya sudah reda, namun suaranya masih terdengar sembab.
“Mungkin dengan kembali ke pesta dan meminta maaf padanya. Oh iya, jangan lupa berikan sebuah pelukan. Leya, Dirvas itu bijaksana. Kau tak usah takut, dia tak akan pernah membenci rakyatnya,” jelasku berharap Leya mau mendengarku.
“Kau tidak marah padaku?”
“Marah kenapa?” aku tertawa kecil
“Marah karena mengambil...”
“Husst, sudahlah. Aku tidak memikirkan itu lagi. Ayo Leya, hapus air matamu, rapihkan gaun indahmu. Kita kembali ke pesta sekarang,” kataku meraih tangannya.
“Terima kasih, Valley.” Leya menyambut tanganku dengan senyum sumringah.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar